, SERANG – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (PMII FH UNTIRTA) melakukan diskusi mengenai RUU KUHP, yg Sejalan dgn Tim Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yg mau mengesahkan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) pada 24 September 2019 mendatang, di Halaman Untirta, pada Jum’at, (13/09/2019).
Syafrijal Mughni Madda Pemantik diskusi mengatakan bahwa, “Dalam diskusi kali ini kita mau mengkaji terkait RUU KUHP yg tengah menjadi pembicaraan kalangan masyarakat, kita berbicara hal yg paling fundamental dalam hukum pidana, apakah RUU KUHP merupakan progresivitas hukum atau sebuah kemunduran,†kata madda.
“Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bahwa tak ada satu perbuatan pun yg dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yg telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Kemudian dalam ayat 2 mengatakan dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi,†lanjutnya
Madda memaparkan lebih lanjut, “Yang selanjutnya diperjelas dalam Pasal 2 ayat (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tak mengurangi berlakunya hukum yg hidup dalam masyarakat yg menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun pebuatan tersebut tak diatur dalam undang-undang ini,†paparnya
“Hukum yg hidup dalam Masyarakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dgn nilai-nilai yg terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yg diakui masyarakat beradab,†lebih lanjut
ia menambahkan “Menurut beberapa ahli rumusan Pasal tersebut merupakan perluasan dari Asas Legalitas yg selama ini Kita kenal dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) atau KUHP Belanda (saat ini berlaku di Indonesia) dan Adegium Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali, tetapi tak sedikit ahli yg berpendapat bahwa rumusan Pasal tersebut merupakan kemunduran dalam Asas Legalitas yg memuat empat unsur utama,â€tambahnya
“Pertama Lex Scripta yaitu semua aturan pidana harus dituangkan dalam bentuk tertulis (perundang-undangan). Kedua Lex Certa yaitu setiap tindak pidana harus dijelaskan unsur-unsurnya, Ketiga Non-Retroactive yaitu tak berlaku surut yg maknanya dalam keadaan apapun (tanpa pengecualian) tak ada seorangpun yg dapat dituntut berdasarkan suatu ketentuan hukum pidana yg berlaku pada ketika perbuatan itu dilakukan, Keempat Non Analogy yaitu dalam perkara pidana para penegak hukum tak boleh melakukan salah satu jenis metode konstruksi hukum yg dinamakan analogi atau argumentum peranalogian,†tuturnya
Kajian yg dihadiri oleh Mahasiswa Fakultas Hukum dari berbagai angkatan, menyepakati bahwasanya pada Pasal 2 ayat (1) terjadi inkonsistensi dalam makna asas legalitas itu sendiri, yakni pada frasa “…hukum yg hidup dalam Masyarakatâ€.
“Hukum yg hidup di Masyarakat dapat diartikan sebagai hukum kebiasaan atau hukum adat. Hukum adat atau hukum kebiasaan notabenenya tak tertulis sehingga tak memenuhi unsur Lex Scripta. Sehingga unsur-unsur pidananya cenderung tak memberikan kejelasan,†tambahnya.
sementara itu, Antoni salah satu Peserta diskusi menambahkan bahwa perluasan dari asas legalitas tersebut merupakan semangat bangsa Indonesia buat membangun hukum pidana yg sesuai dgn jiwa bangsa Indonesia, yaitu ada yg lebih tinggi dari hukum yaitu kepatutan dan moralitas.
“Jika sesuatu yg dianggap kejahatan oleh masyarakat tetapi tak dimuat dalam ketentuan perundang-undangan pidana, maka itu mau menghambat penegakan keadilan itu sendiri,†tuturnya.
masih di tempat yg sama Ketua Rayon PMII FH Untirta, Meysin Sintia mengemukakan bahwa, efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal structure) yg menygkut para aparat penegak hukum, substansi hukum (legal substance) meliputi substansi hukum yaitu peraturan perundang-undangan dan budaya hukum (legal culture) yg mrupakan hukum yg hidup (living law) yg dianut dalam suatu masyarakat.
“Melihat pendapat Friedman tersebut maka ketiga hal tersebut harus berjalan bersama supaya terciptanya efektivitas penegakan hukum dan keadilan dalam Masyarakat,†pungkasnya