Pengertian & Sebab Fasakh Pernikahan dalam Fiqih Perkawinan

Pengertian dan Dasar Hukum Fasakh

Secara bahasa, fasakh berarti pembatalan, pemisahan, penghilangan, pemutusan, atau penghapusan. Sedangkan secara istilah, fasakh ialah pembatalan perkawinan sebab sebab yg tak memungkinkan perkawinan diteruskan, atau sebab cacat atau penyakit yg terjadi pasca akad dan mengakibatkan tujuan atau arti pernikahan tak tercapai. (Lihat Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid X, halaman 3147).

Fasakh diputuskan oleh hakim pengadilan berdasarkan pengajuan dari suami, istri, wakilnya, atau pihak berwenang yg telah mukallaf, balig, dan berakal sehat, dgn catatan bila yg menjadi penyebab fasakh ialah perkara-perkara yg membutuhkan tinjauan dan pertimbangan hakim.

Sementara penyebab fasakh akibat tak terpenuhinya syarat pernikahan dapat diputuskan tanpa melalui keputusan hakim. Dengan demikian, melalui meja pengadilan, istri memiliki hak yg sama dgn suami buat membatalkan pernikahan atas alasan yg dibenarkan syariat.

Penetapan hak fasakh bagi suami dan istri akibat cacat atau penyakit antara lain berdasarkan hadis riwayat Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar bin Al-Khathab. Disebutkan, pada suatu ketika Nabi SAW menikah dgn seorang perempuan dari Bani Ghifar. Ketika perempuan itu memasuki kamar, Rasulullah SAW melihat bagian lambungnya berwarna putih.

فَقَالَ: اِلْبَسِي ثِيَابَكَ، وَالْحِقِي بِأَهْلِكَ وَقَالَ لِأَهْلِهَا: دَلَّسْتُمْ عَلَيَّ

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda kepadanya, ‘Kenakanlah pakaianmu dan kembalilah kepada keluargamu. Kemudian beliau bersabda kepada keluarganya, ‘Kalian sembunyikanlah kekurangannya dariku!’ (HR Al-Baihaqi dan Abu Ya‘la).

Sa‘id bin Al-Musayyib meriwayatkan:

أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً، وَبِهِ جُنُونٌ، أَوْ ضَرَرٌ، فَإِنَّهَا تُخَيَّرُ. فَإِنْ شَاءَتْ قَرَّتْ. وَإِنْ شَاءَتْ فَارَقَتْ

Artinya, “Bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, dan laki-laki itu mengalami gangguan jiwa atau mengidap penyakit berbahaya, maka si perempuan diberi pilihan (khiyar). Jika mau, ia boleh meneruskan perkawinan. Jika tak, ia boleh bercerai,”  (HR Malik).

Dalam suatu riwayat, ‘Umar bin Al-Khathab pernah berkomentar tentang laki-laki yg lemah syahwat:

يُؤَجَّلُ سَنَةً، فَإِنْ وَصَلَ إِلَيْهَا، وَإِلَّا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا وَلَهَا الْمَهْرُ كَامِلًا، وَهِيَ تَطْلِيقَةٌ بَائِنَةٌ 

Artinya, “Dia harus ditangguhkan selama satu tahun. Itu pun bila dia sampai pada tempo tersebut. Jika tak, maka pisahkanlah di antara keduanya. Namun, si istri berhak atas mahar dan berstatus talak bain.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan disebutkan dalam Atsar Abu Yusuf. Hanya saja dalam riwayat Sa‘id bin Manshur ditambahkan, “Dia ditangguhkan sejak diajukan kepada penguasa.”

Sebab-sebab yg Membolehkan Fasakh

Berdasarkan sejumlah hadits di atas, para ulama berkesimpulan bahwa pasangan yg menderita penyakit judzam (kusta), barash (balak), junun (gangguan jiwa), atau penyakit lain yg menular dan tergolong berbahaya, berhak mengajukan fasakh.

Begitu pula suami yg memiliki cacat jubb (terpotong kemaluan) atau ‘unnah (lemah kemaluan); atau istri yg memiliki cacat rataq (kemaluan perempuan tertutup daging), qaran (kemaluan perempuan tertutup tulang).

Dalam kaitan dgn ini, Syekh Mushthafa Al-Khin merinci jenis-jenis cacat atau penyakit yg membolehkan terjadinya fasakh. Menurutnya, secara umum, jenis cacat atau penyakit yg membolehkan fasakh ada dua: (1) cacat atau penyakit yg menghalangi hubungan badan, seperti jubb atau ‘unnah pada suami dan qaran atau rataq pada istri; (2) cacat atau penyakit yg tak menghalangi hubungan badan, namun membahayakan, seperti judzam, barash, atau gangguan jiwa walau terkadang sembuh.

Penyakit kusta biasanya ditandai dgn memerahnya anggota tubuh lalu menghitam, selanjutnya melepuh dan terputus. Sedangkan penyakit barash atau balak ditandai bintik atau bercak putih yg menyerang kulit sehingga menghilangkan warna kemerahannya.

Sementara dilihat dari penderitanya, cacat atau penyakit yg membolehkan fasakh terbagi tiga: (1) cacat atau penyakit yg mungkin dialami suami dan istri, seperti penyakit jadzam, barash, dan gangguan jiwa; (2) cacat atau penyakit yg hanya dialami oleh istri, yaitu rataq dan qaran; (3) cacat atau penyakit yg hanya dialami oleh suami, yaitu jubb dan ‘unnah. (Lihat Musthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji, jilid IV, halaman 114).

Dikecualikan dari cacat atau penyakit di atas ialah penyakit ringan semacam istihadhah, bau mulut, bau hidung, bau ketiak, penyakit bernanah, sempitnya lubang kemaluan, dan sebagainya. Semua penyakit di atas tak mendatangkan hak fasakh bagi suami maupun istri. Demikian dinyatakan oleh Syekh Zainudddin Al-Malaibari dalam Fathul Mu‘in. (Lihat Fathul Mu‘in, halaman 106).

Demikian jenis dan kriteria penyakit yg membolehkan fasakh atau pembatalan pernikahan antara suami-istri. Wallahu a’lam.

Penulis: Ustadz Tatam Wijaya

Editor: Alhafiz Kurniawan





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.