Peran Adat dalam Membatasi Hukum Fiqih Transaksi

Pada kisaran tahun 1980-an, Gus Dur – sapaan akrab dari Almarhum KH Abdurrahman Wahid – pernah menggaungkan pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam ini merupakan sebuah konsep transformasi nilai-nilai Islam ke dalam unsur-unsur budaya pribumi masyarakat Indonesia. Setaknya ini menjadi wacana penting sebagai pembuka tulisan ini. Dengan demikian, bila kita adopsi unsur pribumisasi Islam ini ke dalam dunia Fiqih Transaksi, maka itu artinya bahwa perlu adanya upaya melakukan transformasi nilai-nilai Islam ke dalam unsur-unsur budaya transaksi yg telah berlaku. Kapan sebuah transaksi dinyatakan boleh dan kapan sebuah transaksi dinyatakan tak boleh.

Sebagaimana dimaklumi bahwa di dalam fiqih, terdapat diktum-diktum fiqih yg didasarkan pada realitas adat-istiadat yg ada. Sebuah qaidah fiqih, misalnya menyebutkan al-âdatu muhakkamah, yg artinya sebuah adat dapat dijadikan hukum. Kaidah ini menggarisbawahi bahwa dalam konteks “tertentu”, tradisi dapat dijadikan landasan hukum. Makna tertentu ini ditentukan oleh:

  • selagi tak bertentangan dgn syariat
  • selagi syariat tak menetapkan batasan-batasannya secara jelas
Adapun terhadap tradisi yg kondisinya bertentangan dgn syariat, serta telah ditetapkan batasan-batasannya dalam wilayah hukumnya, maka tradisi tersebut dihukumi sebagai batal secara nash. Hal ini sebab ada penyamaan antara hukum ‘urf dgn hukum nash. Sebuah qaidah menyebutkan:

التعيين بالعرف كالتعيين بالنص

Artinya: “Sesuatu yg ditentukan hukumnya berdasar ‘urf sama dgn sesuatu yg ditentukan secara nash.” (Muhammad Musthafa al-Zuhaily, Al-Qawâ’idu al-Fiqhiyyah wa Tathbîqâtuhâ fi al-Madzâhibi al-Arba’ati, Damaskus: Dâru al-Fikr, Juz 1, hal 345)

Sekarang, mari kita kita tarik praktik urf ini pada pelaksanaan obligasi ijarah sebagaimana yg telah kita bahas pada tulisan sebelumnya.Dalam tulisan terdahulu disebutkan bahwa Pak Ahmad menyewa rumah Pak Zaid sebesar 10 juta. Kemudian Pak Zaid menyewa kembali rumahnya yg telah disewa oleh Pak Ahmad sebesar 12 juta. Bolehkah akad semacam ini?

Melihat dari sisi ‘urf, hal semacam ini sejatinya kita didorong buat tak boleh serta merta menghukumi mau kebolehan transaksi atau sebaliknya memutuskan ketakbolehannya. Adakalanya, hukum praktik di atas ialah boleh disebabkan adat kebiasaan setempat melazimkan praktiknya. Entoh tak melanggar batasan ketentuan fiqih sebagaimana disyariatkan dalam Fiqih Syafi’iyah. Ketaklazimanpraktik semacam ini di masyarakat, dapat berakibat pada dianggapnya pola transaksi ijarah semacam sebagai transaksi riba. Dengan demikian, tugas seorang ahli fiqih ialah meneliti terlebih dahulu hukum dan praktik kelazimannya di masyarakat. 

Kita ingat kembali kasus bai’u al-‘inah yg dulu pernah dibahas di awal-awal terbitnya kanal ekonomi syariah ini, yg mana kasusnya dianggap hanya sekedar menghindar dari riba. Padahal Ulama’ Syafi’iyah secara tegas, menyatakan:

يجوز أن يشتري الدراهم من الصراف ويبيعها منه بعد القبض وتمام العقد بالتفرق أو التخاير بأقل من الثمن أو أكثر . سواء جرت له بذلك عادة أم لا ما لم يكن ذلك مشروطا في عقد البيع ، قاله الشافعي والأصحاب خلافا لمالك ، حيث قال : إن كان ذلك عادة له حرم ، وتمسك الأصحاب بأن العادة الخاصة لا تنزل منزلة الشرط .

Artinya: “Membeli dirham dari money changer lalu menjualnya kembali ke tempat itu, setelah qabdl (serah terima),  sempurnanya akad yg ditandai dgn jeda atau menentukan pilihan harga yg lebih murah atau lebih mahal,  baik telah menjadi tradisi atau belum, selagi tak disyaratkan di dalam akad, hukumnya ialah boleh sebagai ini pernah diucapkan oleh Imam Syafii dan santrinya. Berbeda dgn Imam Malik yg menyatakan: meskipun telah menjadi tradisi, hukumnya tetap haram. Namun, para ashab Syafii berpandangan bahwa adat/kebiasaan khusus tak dapat disamakan dgn syarat.” (Taqiyuddin al-Subky, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadhab li al-Syaîrazî, Juz: 10, halaman 140)

Jika kita mengikut pada bunyi penjelasan di atas, maka praktik jual-beli ‘inah, pada dasarnya ialah boleh. Akan menjadi “tak boleh” seiring praktik transaksinya dipandang tak lazim. Maka dari itu, ulama’ menetapkan adanya batasan tafarruq dan takhâyur, yaitu adanya jeda (tenggang waktu) dan upaya khiyar. Batasan adanya jeda ini merupakan prasyarat “adat” bagi kebolehan transaksi. Adapun bila tak ada jeda, maka mau terkena pasal “saling ridla”. Artinya, orangnya yg menjual sedang dalam kondisi “terpaksa” dan “sangat membutuhkan” atau “kepepet”. Padahal di dalam Q.S. al-Nisâ ayat 29, Allah SWT berfirman:

ياأيها الذين آمنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم

Artinya: “Wahai orang-orang yg beriman, janganlah kalian memakan harta di antara kalian dgn cara bathil kecuali lewat perdagangan yg saling ridla di antara kalian.” 

Berdasarkan ayat ini, Allah SWT mensyaratkan supaya jual beli dilaksanakan dgn jalan saling ridla. Di dalam Tafsir Al-Thabary, disimpulkan bahwa yg dimaksud sebagai saling ridla ialah:

قالوا: فالتجارة عن تراض، هو ما كان على ما بيَّنه النبي صلى الله عليه وسلم من تخيير كل واحد من المشتري والبائع في إمضاء البيع فيما يتبايعانه بينهما = أو نقضه بعد عقد البيع بينهما وقبل الافتراق = أو ما تفرقا عنه بأبدانهما عن تراض منهما بعد مُواجبة البيع فيه عن مجلسهما. فما كان بخلاف ذلك، فليس من التجارة التي كانت بينهما عن تراض منهما

Artinya: “Para ulama berpendapat: sebuah perdagangan dapat saling ridla, manakala memenuhi penjelasan dari Rasulillah SAW, yaitu dapat memilihnya dua orang yg saling bertransaksi di dalam melanjutkan akad, atau memutuskan menghentikan akad sebelum keduanya berpisah, atau keduanya tak saling membelakangkan badan meninggalkan majelis akad dgn saling ridla setelah terjadinya transaksi. Apabila hal yg terjadi sebaliknya, tak sebagaimana ketentuan tersebut, maka transaksi tijarah antara keduanya tak dapat disebut saling ridla.” (Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Al-Thabary, Jami’u al-Bayân ‘An Ta’wili al-Qur’an, Damaskus: Dâru al-Fikr, tt, Juz: 8, hal: 226)

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa sahnya jual beli ‘inah ialah dibatasi oleh “adat/urf”. Kesimpulan ini bila kita tarik dalam praktik obligasi ijarah sebagaimana akad yg dibangun antara Pak Ahmad dan Pak Zaid, maka kebolehan akad tersebut juga mutlak dibatasi oleh adat/‘urf setempat. 

Bisa jadi sebab uang tersebut dipandang terlampau besar, sehingga dapat membuat terhambatnya kinerja Pak Ahmad sebab macetnya uang di Pak Zaid, maka praktik transaksinya dapat dipandang boleh. Hukum mau berbeda manakala uang tersebut dipandang kecil oleh ‘urf. Dengan demikian, titik tekan permasalahan ialah pada ‘urf, dan hal ini dapat berbeda-beda menurut situasi dan tempat terjadi serta daerah yg melingkupinya. 

Ketentuan yg perlu digarisbawahi apabila akad obligasi ijarah sebagaimana praktik Pak Ahmad dan Pak Zaid di atas dibolehkan, ialah:

1. Setiap tahapan yg terjadi harus berlangsung sah

2. Harus ada jeda waktu (tafarruq) antara tahapan satu dgn tahapan lainnya supaya kedua pihak yg bertransaksi dapat saling menentukan pilihan buat memutuskan atau melanjutkan akad.

Wallahu a’lam

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.