Perbedaan Ulama dalam Jarh wa Ta’dil Perawi Hadits

Anda mungkin pernah dengar polemik doa berbuka puasa. Di masyarakat kita, doa yg kerap diamalkan yaitu “Allahumma laka shumtu wa ‘alâ rizqika afthartu birahmatika ya arhamar rahimin”. Salah satu rujukan doa ini dicatat Syekh Khatib As-Syarbini dalam kitab Al-Iqna’ pada Hamisy Bujairimi ‘alal Khatib:

وأن يقول عقب فطره اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت لانه صلى الله عليه وسلم كان يقول ذلك رواه الشيخان 

Artinya, “(Mereka yg berpuasa) dianjurkan setelah berbuka membaca, ‘Allahumma laka shumtu, wa ‘ala rizqika afthartu’. Rasulullah SAW mengucapkan doa ini, sebagaimana diriwayatkan syaikhan (Imam al-Bukhari dan Imam Muslim).”

Ada juga doa berbuka yg dapat Anda amalkan dari hadits yg diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, sebagaimana berikut: 

عن ابنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عنهما، قال: كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا أفطَرَ قال: ذهَبَ الظَّمأُ وابتلَّتِ العُروقُ وثَبَتَ الأجرُ إن شاءَ اللهُ

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah sedang berbuka dan membaca: ‘dzahaba azh-zhamau wabtalat al-uruq wa tsabatal ajru in syaallah’ – semoga hilang dahaga, urat-urat terbasahi, dan mendapat pahala, bila Allah menghendaki.”

Debat kecil ini sempat mewarnai media sosial dan pembicaraan sehari-hari kita. Mungkin persoalan lain juga pernah muncul seperti bacaan doa iftitah apa yg lebih shahih, kemudian apakah surat Al-Fatihah itu mesti pakai basmalah atau tak, dan banyak lainnya.

Hal ini berdampak pada sikap menuding ibadah tertentu tak ada dasarnya, atau setaknya dalil ibadah yg dilakukan itu tak shahih. hadits, sebagai salah satu sumber hukum Islam ternyata dapat bernilai berbeda bagi setiap ulama. Bagaimana ini dapat terjadi?

Artikel berikut ini menjelaskan sebab beda pendapat antarulama tentang suatu masalah fiqih. Salah satunya ialah dalam rujukan hadits yg dipakai. Perbedaan dalam menghukumi kesahihan hadits menyebabkan perbedaan dalam hukum fiqih.

Syarat hadits shahih di antaranya ialah ia diriwayatkan perawi yg ‘adil (tak melakukan dosa dan kesalahan besar) dan dlabith (cukup kuat memorinya). Hadits yg shahih dapat digunakan sebagai hujjah atau dasar hukum. Selain sanad yg bersambung, penilaian kualitas hadits sangat erat kaitannya dgn pribadi perawi. Perihal ini ditelaah dalam ilmu jarh wa ta’dil perawi hadits.

Penelitian jarh dan ta’dil merujuk biografi perawi dan catatan ulama terhadapnya. Keterpautan zaman yg sungguh jauh antara pengkaji di era sekarang dgn para perawi hanya dapat kita akses lewat kitab tarajum (biografi) buat mempelajari masa hidup, hubungan murid-guru, serta kepribadian (‘ialah) dan kemampuan memorinya (dlabth).

Ketika pengkaji hadits menemukan tokoh perawi dalam sanad, maka selanjutnya ialah penelusuran biografinya. Metode mengkaji perawi menurut Mahmud Tahhan dalam Ushulut Takhrij wa Dirasatul Asanid dilakukan dalam dua hal, yaitu menganalisis kehidupan perawi dan kontribusinya dalam periwayatan hadits, serta menelaah catatan ulama terhadap pribadinya,.

Salah satu sebab perbedaan cara menilai pribadi perawi ialah persoalan kriteria yg dipakai ulama jarh wa ta’dil. Seringkali maksud satu ulama dan lainnya berbeda maksud dgn yg lain. Contoh, ketika Yahya bin Ma’in menyebutkan la ba’sa bihi, sebenarnya yg dimaksud bahwa pribadi tersebut tsiqah (berkepribadian baik dan punya kecakapan akal mumpuni). Berbeda dgn ulama lain yg menyebut la ba’sa bihi dgn derajat di bawah tsiqoh, semisal hanya shaduq atau shalih.

Imam Adz-Dzahabi menggolongkan para ulama jarh dan ta’dil ini menjadi tiga, yaitu kalangan ulama yg mutasyaddid, ketat dalam jarh dan ta’dil-nya; lalu kalangan yg mutawassith (moderat) yg berusaha berimbang dalam memakai kriteria dan definisi jarh dan ta’dil; terakhir ulama yg cenderung mutasahhil, yg begitu mudah melabeli tokoh perawi dalam kategori tsiqah atau majruh. 

Semisal ada ulama yg dikenal mutasyaddid, seperti Yahya bin Ma’in, menyebutkan seorang tokoh sebagai tsiqoh, maka komentarnya dapat dipakai. Namun ketika beliau menetapkan catatan negatif/jarh terhadap seseorang, perlu dicek juga komentar ulama lain. Ulama hadits yg lebih mutawassith seperti Imam al-Daruquthni dan Ahmad bin Hanbal atau kalangan ulama mutasahhil dapat dirujuk. Secara umum yg perlu dicermati dari urusan nilai-menilai pribadi perawi hadits ini ialah membandingkan satu dgn yg lain, dan memastikan ulama ini dikenal menggunakan kriteria yg ketat atau tak.

Perawi yg disebut sebagai imamul kabir, imamul ‘adil, tak diperdebatkan kualitas moral atau intelektualitasnya. Tokoh populer seperti Sufyan ats Tsauri, Malik bin Anas, Syu’bah bin al Hajjaj telah jadi ijma’ bahwa pribadi mereka tsiqah.

Mungkin agak membingungkan ketika ada perawi yg persepsi ulama terhadapnya beragam. Semisal ada yg bilang tokoh A ini tsiqah (terpercaya) tapi ada ulama lain dgn penilai yg lebih rendah atau berbeda sama sekali, semisal pribadi yg shaduq atau malah dla’if. Bisa juga ditemui komentar ulama, “Dia tsiqah, tapi haditsnya hasan,” atau komentar “Syekh ini dikenal, tapi tak dicatat haditsnya (la yuktab haditsuhu)”.

Menyikapi beda penilaian atas perawi, beberapa ulama menetapkan patokan. Selain mengetahui standar kriteria yg dirujuk, patokan yg dipakai seperti penilaian perawi yg terjelaskan (al-mufassar) lebih utama ketimbang yg hanya bilang: “ini orang ‘adil” atau “ini perawi dla’if”, tapi tak dijelaskan apa sebabnya. Perlu dicek juga apakah yg menilai perawi ini termasuk aqran (orang dekat, perkoncoan, satu guru, red.) yg dapat memiliki bias subyektivitas. Menelaah masa hidup perawi lebih cermat dari berbagai sumber juga dapat dilakukan.

Sebagai contoh kita tengok sosok perawi Ibnu Lahi’ah. Kisah perawi ini populer sebab beliau ialah pribadi yg terpercaya dan dlabth kitabah, periwayatan melalui catatan-catatan haditsnya sangat baik. Suatu ketika rumahnya terbakar, dan banyak catatannya raib, sehingga dalam beberapa riwayat hadits pasca kebakaran rumah ini ia tak seperti sebelumnya. 

Dari kejadian itu, ada yg menilainya sebagai pribadi yg tak tsiqah sebab hafalannya kurang kuat, namun ada juga yg menggolongkannya sebagai tsiqah sebab jasanya dalam periwayatan hadits. Sebagian ulama melakukan telaah dan mencari jalan tengah, bahwa riwayat hadits Ibnu Lahi’ah dapat dianggap shahih sebelum masa kebakaran rumahnya, namun pasca kebakaran rumah hadits darinya kurang kuat dijadikan sebagai hujjah, namun sekurang-kurangnya masih dapat dipakai sebagai i’tibar pembanding hadits lain.

Demikianlah beda penilaian perawi telah menjadi ‘sego jangan’ bagi pengkaji hadits. Menilai hadits mulai dari ketersambungan sanadnya, pribadi perawi, sampai konten matan-nya yg tak kontradiktif ialah telaah yg panjang sekali. Penulis kira dalam berislam perbedaan rujukan ulama bukan masalah, asal dalam beda pendapat itu berkenan berdialog, tak merasa paling benar dan menyalahkan lainnya, serta berargumen dgn baik. Mungkin begitu, wallahu a’lam. 

Muhammad Iqbal Syauqi, alumnus Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences; mahasiswa Profesi Dokter UIN Jakarta
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.