Puasa Syariat & Puasa Tarekat Syekh Abdul Qadir al-Jilani

Dalam memandang puasa, Syeikh Abdul Qadir al-Jilani membaginya dalam dua kategori, shaum al-syarî’ah (puasa syariat) dan shaum al-tharîqah (puasa tarekat), atau dapat juga disebut sebagai “puasa berstandar fiqih” dan “puasa berstandar tasawuf”. Syeikh Abdul Qadir menjelaskan bahwa puasa syariat ialah:

أَن يمسك عن الْمأكولات والمشروبات وعن وقاع النساء في النهار

“Menahan diri dari makanan, minuman, dan bersetubuh di waktu siang.” (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar, Damaskus: Darul Sanabil, 1994, h. 112).

Dari sudut pandang syariat, yg membatalkan puasa—secara umum—hanya makan, minum dan bersetubuh di siang hari. Selama dapat menahan diri dari tiga hal tersebut, puasa kita sah dalam sudut pandang fiqih. Hal ini berbeda dgn puasa tarekat. Syeikh Abdul Qadir mengatakan:

أن يمسك عن جميع أعضائه المحرّمات والمناهي والذمائم مثل العُجب والكبر والبخل وغير ذلك، ظاهر وباطنا، فكلُها يبطل صوم الطريقة

“Menahan seluruh anggota tubuhnya dari melakukan perbuatan-perbuatan yg diharamkan dan dilarang, menjauhi sifat-sifat tercela seperti ujub, sombong, kikir dan selainnya secara lahir dan batin. Setiap melakukan hal-hal tersebut membatalkan puasa tarekatnya.” (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar, 1994, h. 112).

Perbedaan mendasarnya terletak pada titik berat puasa tarekat yg lebih luas dari puasa syariat. Hal-hal yg membatalkannya pun lebih beragam, tak seperti puasa syariat. Selama seseorang berhasil memenuhi syarat dan rukunnya, tak melanggar tiga larangan seperti yg disebutkan di atas, puasanya sah secara fiqih, meskipun dia menggunjing, marah, pelit, dan sombong. Tapi tetap saja, dia mendapatkan dosa dari perbuatannya itu. Inilah yg dikhawatirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai beliau bersabda:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ

“Betapa banyak orang berpuasa yg tak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar, dan betapa banyak orang yg bangun malam (buat beribadah) yg tak mendapatkan dari bangun malamnya kecuali begadang.” (HR Imam Ibnu Majah)

Puasa tarekat memasukkan karakter negatif manusia dalam daftar pembatalan puasanya. Namun, perlu diingat, sistem pembatalan puasa tarekat tak berimplikasi langsung terhadap batalnya puasa menurut fiqih. Sebab, puasa tarekat bermain di wilayah “tazkiyatun nufûs—penjernihan diri” atau “tashfiyyatul qulûb—pembersihan hati,” yg dapat disebut dgn pembangunan spiritual. Wilayah yg digarap puasa tarekat ialah efek ketimbang pelaksanaan puasa itu sendiri, apa puasa sekadar ibadah tahunan dgn iming-iming pahala yg melimpah, atau sebuah proses perbaikan diri yg berkelanjutan. Sederhananya begini, puasa dalam perspektif tasawuf (tarekat) dapat dianggap sebagai “saringan” bagi pengamalnya, yg semula dipenuhi dgn kebencian, setelah menjalankan ibadah puasa, kebenciannya perlahan-lahan berkurang. Begitu pula dgn karakter-karakter negatif lainnya.

Perbedaan lainnya ialah perihal waktu. Puasa syariat ditentukan waktunya atau mempunyai waktu tertentu (muwaqqat), sedangkan puasa tarekat tak mempunyai waktu tertentu (muabbad fi jamî’i ‘umrih—sepanjang hidup manusia). (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar, 1994, hlm 112). Karena puasa tarekat ialah puasa jiwa, sehingga tak terikat dgn bulan, waktu atau jarak tertentu. Ketika pengamalnya mulai berlaku sombong atau melakukan perbuatan yg diharamkan, puasanya batal secara tarekat.

Hal menarik lainnya dari puasa tarekat ialah masuknya, “menahan seluruh anggota tubuh dari melakukan perbuatan yg diharamkan,” sebagai salah satu perilaku yg membatalkan puasa. Ini menarik, sebab dapat membuat orang yg menjalankan puasa tarekat menghindari sekuat tenaga perbuatan-perbuatan yg diharamkan agama, hingga timbul anggapan bahwa menahan diri dari hal-hal tersebut tak kalah pentingnya dgn menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh ketika berpuasa. Apalagi pengamalan puasa tarekat tak terbatasi oleh waktu tertentu. Artinya, bila semua orang berhasil mengamalkannya, maka keseimbangan antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial bukan sekadar isapan jempol belaka. 

Kemudian Syeikh Abdul Qadir al-Jilani mengutip hadits Qudsi dalam kitabnya, Sirr al-Asrâr, yg mengatakan:

يَصيْرُ لِلْصائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ الْإِفْطَارِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ رُؤْيَةِ جَمَالِي

“Ada dua kebahagiaan bagi orang yg berpuasa: (1). Ketika berbuka, dan (2). Ketika melihat Allah (makna ahli hakikat).”

Para ahli syariat (fiqih) menafsirkan hadits qudsi tersebut sesuai makna dasarnya, bahwa yg dimaksud dgn “farhah ‘inda al-ifthâr—kebahagian ketika berbuka” ialah makan ketika matahari tenggelam (al-akl ‘inda ghurûb al-syams) dan yg dimaksud dgn “farhah ‘inda ru’yah jamâlî—kebahagiaan melihat jamâlî” ialah melihat hilal di malam idul fitri (ru’yah al-hilâl fi lailah al-‘îd) (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar, 1994, h. 113).

Sementara para ahli hakikat menafsirkan hadits di atas dgn makna yg lebih dalam, bahwa kebahagiaan ketika berbuka ialah kebahagiaan memasuki surga dgn memakan banyak kenikmatan di dalamnya (dukhûl al-jannah bi al-akl mimmâ fîhâ min al-na’îm), dan kebagiaan yg kedua benar-benar dimaknai dgn kabahagiaan bertemu Allah di hari kiamat (liqâ’ Allah yaum al-qiyâmah) (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar, 1994, h. 113).

Kesimpulannya, dalam berpuasa kita harus mempertimbangkan aspek ruhaniah juga, tak sekadar melihat mana yg membatalkan puasa dan mana yg tak secara hukum. Boleh jadi puasa kita sah secara hukum sebab berhasil menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh di waktu siang. Namun, apakah kita benar-benar berhasil mengambil manfaat puasa buat hidup kita, dan melestarikan penahanan diri dari hal-hal yg dilarang sepanjang hidup kita, tak hanya di bulan suci Ramadan saja. Wallahu a’lam bish shawwab…

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus Kritig, Petanahan, Kebumen





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.