Puasanya Orang-orang Shalih menurut Imam Al-Ghazali

Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, secara spiritual, manusia dibagi dalam tiga strata. Semakin tinggi stratanya, semakin tinggi pula bobot spiritualnya. Strata pertama buat kalangan awam, strata kedua buat kalangan khusus (orang-orang shalih), dan strata ketiga (tertinggi) buat khususul khusus (wali, nabi).

Pada tiap-tiap strata, Al-Ghazali memberikan spesifikasi masing-masing. Sesuai standar spiritual yg cocok dalam menjalankan ibadah, termasuk dalam menjalankan ibadah puasa.

Dalam ibadah puasa, masih menurut Al-Ghazali, level awam ialah puasanya orang yg hanya menahan lapar dan dahaga sampai waktu maghrib tiba. Sementara level khusus ialah mereka yg tak sebatas menahan lapar dan dahaga, tetapi juga seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan maksiat. Al-Ghazali mengistilahkan, ini ialah puasanya orang-orang shalih (shalihin).

Sedangkan puasa bagi level ketiga, kalangan khususul khusus bukan hanya menjaga diri dari perbuatan maksiat secara zahir, tetapi juga harus menjaga diri dari maksiat batin. Jelasnya, hati dan pikiran tak boleh memikirkan perkara-perkara duniawi. Pikiran dan hatinya tak boleh berpikir apapun kecuali tertuju kepada Allah swt.

Pada level ini, sekali saja hati dan pikiran terbersit hal-hal selain Allah, maka puasanya batal. Puasa tingkat ini ialah puasa para kekasih Allah, termasuk para nabi-Nya.

Menariknya, penjelasan tiga strata puasa yg ditulis rinci dalam magnum opusnya, Ihya ‘Ulumiddin, tak terlalu panjang membahas strata pertama dan strata ketiga. Sementara strata kedua (puasanya orang-orang shalih) Al-Ghazali membahas detail.

Menurut Al-Ghazali, orang-orang shalih berpuasa dgn tak sebatas menahan lapar dan dahaga. Al-Ghazali menjelaskan enam spesifikasi puasanya orang-orang shalih, berikut penjelasannya:

Pertama, bagi orang-orang shalih, dalam berpuasa harus menjaga pandangan. Harus menjaga kedua mata supaya tak “jelalatan” melihat perkara-perkara maksiat. Bahkan, tak boleh melihat sesuatu yg dapat mengalihkan perhatian hati, sehingga lalai dari mengingat Allah.

Al-Ghazali mengutip satu hadits Nabi saw,

النظرة سهم مسموم من سهام إبليس لعنه الله فمن تركها خوفاً من الله آتاه الله عز وجل إيماناً يجد حلاوته في قلبه

Artinya, “Pandangan ialah anak panah yg beracun dari Iblis terkutuk. Barangsiapa yg menjauhinya sebab takut kepada Allah, maka Allah mau menganugerahi manisnya keimanan dalam hatinya.”

Kedua, menjaga lisan dari ucapan tanpa makna, berbohong, ghibah, mengadu domba, berkata kasar dan ucapan yg memicu pertikaian.

Untuk poin kedua ini, Al-Ghazali mengutip kisah dua perempuan yg mengadu kepada Rasulullah sebab tak kuat berpuasa. Mendengar laporan tersebut, Nabi berkata bahwa sejatinya kedua perempuan itu telah batal terlebih dahulu sebab telah mengumpat (ber-ghibah).

Benar saja, kemudian kedua perempuan itu memuntahkan segumpal darah dan daging mentah dari mulutnya. Dengan ghibah, keduanya telah memakan daging orang yg di-ghibahi-nya. Muntahlah daging itu dari kedua mulut mereka.

Ketiga, menjaga pendengaran dari hal-hal yg diharamkan. Menurut al-Ghazali, segala sesuatu yg haram diucapkan, juga haram buat didengarkan. Termasuk di antaranya mendengarkan orang sedang berghibah.

Dalam satu hadits, Rasulullah saw bersabda,

المغتاب والمستمع شريكان في الإثم

Artinya, “Orang yg mengumpat dan orang yg mendegarkannya, sama-sama mendapatkan dosa.”

Keempat, menjaga semua anggota tubuh, tangan, kaki dan lain-lian, dari perbuatan dosa. Termasuk juga menghindari berbuka puasa dari makanan syubhat (tak jelas status halal atau haramnya).

Menurut al-Ghazali, saat orang berpuasa, berarti sedang berupaya melumpuhkan nafsu dalam diri yg menjadi pintu masuk utama bagi setan. “Buat apa bila seharian menjaga perut supaya tetap lapar, tapi saat berbuka, segala makanan disantap sampai kekenygan!” tegasnya.

Al-Ghazali menganalogikan, orang yg seharian menahan lapar, tapi saat berbuka menyantap segala hidangan secara berlebihan, ibarat orang yg membangun sebuah gedung, tapi ia hancurkan kota di mana gedung itu berdiri.

Al-Ghazali melanjutkan, makanan halal mau berbahanya bila dimakan terlalu berlebihan. Sedangkan puasa ialah upaya buat meminimalisasi makanan itu. Singkatnya, puasa itu ialah obat. Jika saat berbuka dgn makan berlebihan, sama saja menghindari obat dgn memilih racun.

Kelima, tak terlalu berlebihan saat berbuka puasa, sekiranya perut tak sampai kekenyanyan. Menurut al-Ghazali, perut yg paling Allah benci ialah perut yg terlalu kenyg, meskipun dipenuhi oleh makanan halal.

Pada bagian inilah, Al-Ghazali mengritik kebiasaan masyarakat yg bila berbuka puasa menghimpun segala rupa makanan saat berbuka demi memuaskan nafsu perutnya. Rupanya kebiasaan “balas dendam” saat berbuka puasa seperti ini telah menjadi kebiasaan sekitar 910 tahun yg lalu. Saat al-Ghazali menulis kritik ini.

Keenam, setelah berbuka puasa, hendaklah hatinya berada dalam kondisi dipenuhi rasa harap dan cemas. Jadi, disamping mengharapkan diterima puasanya, juga harus dibaygi rasa cemas bila ternyata puasanya tak diterima oleh Allah swt. Kita tak tahu, apakah puasa kita diterima atau tak.

Terakhir, Al-Ghazali menutup dgn kutipan ulama yg cukup menohok,

كم من صائم مفطر وكم من مفطر صائم

Artinya, “Banyak orang berpuasa, tapi sejatinya tak. Pun sebaliknya, banyak orang tak berpuasa, tapi sesungguhnya dialah orang yg berpuasa.”

Dari kutipan di atas, Al-Ghazali memaparkan, orang yg berpuasa tapi sejatinya tak ialah mereka yg menahan lapar dan dahaga, tapi maksiat masih lancar jaya. Sedangkan mereka yg tak berpuasa, tapi sejatinya berpuasa ialah mereka yg menghindari dosa, kendati tak menahan lapar dan dahaga. (lihat Ihya ‘Ulumiddin, juz 1, hal. 272)

Penjelasan Al-Ghazali terkait spesifikasi puasa orang-orang shalih di atas harus menjadi bahan renungan. Selama ini manusia hanya memaknai puasa dari sudut pandang fiqih; sebatas menahan lapar dan dahaga, tanpa menahan puasa dari perbuatan-perbuatan maksiat. Sementara menurut Al-Ghazali, puasa yg demikian tak mampu meraih dan merasakan esensi puasa itu sendiri.

Muhammad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.