Qunut Subuh Antara Imam & Makmum (2)

Assalamu ‘alaikum wr. wb
Saya mau tanya terkait permasalahan qunut subuh. Saya Amrullah tinggal di Yogyakarta yg mayoritas masjid tak qunut subuh. Setiap shalat jamaah subuh di masjid dekat saya tinggal. Imam berhenti agak lama ketika bangun dari rukuk pada rakaat kedua, tujuannya memberi kesempatan pada orang yg mau baca qunut.

Pertanyaannya (1) apakah yg dilakukan imam itu benar dan ada dasarnya? (2) Jika saya baca qunut sedang imam tak membaca qunut, apakah shalat saya sah? (3) Ketika suatu saat saya menjadi imam, apa yg harus saya lakukan, qunut atau tak? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Abdul Kafi Amrullah/Yogyakarta)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Dalam kesempatan ini kami mau melanjutkan buat menjawab pertanyaan yg diajukan saudara Abdul Kafi Amrullah dari Yogyakarta. Dua pertanyaan telah kami jawab pada tulisan yg lalu. Sekarang, tinggal pertanyaan ketiga terkait bagaimana bila kita menjadi imam shalat Subuh di mana mayoritas makmumnya tak mengakui legalitas syar’i doa qunut.

Dalam kasus ini setaknya ada dua pilihan. Pertama, imam tak usah membaca doa qunut. Imam Syafi’i konon pernah meninggalkan membaca qunut ketika shalat dgn para pengikut madzhab Hanafi di masjid sekitar Baghdad sebagaimana keterangan yg termaktub dalam kitab Al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah sebagai berikut:

الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَالَ الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الْإِمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ

Artinya, “Imam Syafi’i ra pernah meninggalkan do’a qunut ketika shalat Subuh bersama para pengikut madzhab Hanafi di dalam masjid mereka di sekitar Baghdad. Menurut para ulama madzhab Hanafi hal tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan Imam Syafi’I terhadap Imam Abu Hanifah (adaban ma’al imam). Tetapi menurut ulama madzhab syafi’i, Imam Syafi’i ketika itu berubah ijtihadnya,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Darus Salasil, juz II, halaman 302).

Namun pilihan ini tentunya sedikit tak membuat nyaman pihak imam, meskipun tak merusak keabsahan shalatnya. Jika demikian, maka sebaiknya dicarikan pilihan kedua sebagai solusi yg saling melegakan baik imam maupun makmum.

Dari sinilah maka hemat kami diperlukan pilihan kedua. Namun masuk pada pilihan kedua kami mau menjelaskan sedikit tentang pengertian qunut dan tentang meninggikan suara bagi imam ketika membaca doa qunut atau merendahkannya. Kedua hal ini penting dijelaskan sebagai pijakan pilihan kedua.

Pengertian qunut secara bahasa ialah pujian. Sedang menurut syara’ ialah dzikir khusus yg mencakup pujian dan do’a seperti allahumaghfir li ya ghafur. Karenanya, bila tak mencakup kedua hal tersebut bukan disebut qunut. Inilah pengertian yg masyhur di kalangan ulama madzhab Syafi’i.

( اَلْقُنُوتُ ) هُوَ لُغَةً اَلثَّنَاءُ وَشَرْعاً ذِكْرٌ مَخْصُوصٌ مَشْتَمِلٌ عَلَى ثَنَاءٍ وَدُعَاءٍ كَاللَّهُمَّ اغْفِرْ لِييَا غُفُورُ ، فَلَوْ لَمْ يَشْتَمِلْ عَلَيْهِمَا لَمْ يَكُنْ قُنُوتاً.

Artinya, “Qunut secara bahasa berarti pujian, sedang menurut syara’ ialah dzikir khusus yg mencakup pujian dan do’a seperti allahummaghfir li ya ghafur (Ya Allah, ampuni segala dosaku wahai dzat Yang Maha Pengampun). Dengan demikain seandainya tak mencakup keduanya maka tak disebut qunut,” (Lihat Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khathib, Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1417 H/1996 M, juz II, halaman 205).

Kemudian dalam madzhab Syafi’i sendiri terjadi silang pendapat mengenai meninggikan atau merendahkan suara dalam membaca doa qunut bagi imam. Ada dua pendapat sebagaimana didokumentasikan Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi.

Pertama pendapat yg menyatakan bahwa bagi imam sebaiknya membaca doa qunut dgn pelan atau merendahkan suaranya. Argumentasi yg disuguhkan sebagai dasar pendapat ini ialah sebab qunut merupakan doa sedangkan posisi doa itu sendiri ialah israr (merendahkan suara). Sedangkan dalil yg digunakan buat mendasari pandangan ini ialah ayat 110 surat Al-Isra`.

Pendapat kedua menyatakan sebaiknya imam meninggikan suaranya ketika membaca doa qunut sebagaimana ketika membaca sami’allahu liman hamidah, tetapi peninggian tersebut di bawah peninggian suara ketika membaca ayat Al-Qur`an. Dengan kata lain, peninggian tersebut didasarkan kepada qiyas atau analogi.

فَصْلٌ : وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي : مِنْ هَيْئَةِ الْجَهْرِ وَالْإِسْرَارِ ، اَلْقُنُوتُ فىِ الصَّلَاةِ فَإِنْ كَانَ الْمُصَلِّي مُنْفَرِدًا أَسَرَّ بِهِ ، وَإِنْ كَانَ إِمَامًا فَعَلَى وَجْهَيْنِ : أَحَدُهُمَا : يُسِرُّ بِهِ ، لِأَنَّهُ دُعَاءٌ وَمَوْضُوعُهُ الْإِسْرَارُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا [ الْإِسْرَاءِ :110 ] وَالْوَجْهُ الثَّانِي : يَجْهَرُ بِهِ كَمَا يَجْهَرُ بِقَوْلِ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُلَكِنْ دُونَ جَهْرِ الْقِرَاءَةِ

Artinya, “Pasal kedua mengenai kondisi mengeraskan dan merendahkan suara ketika membaca do’a qunut dalam shalat. Apabila mushalli (orang yg shalat) itu shalat munfarid (shalat sendirian), sebaiknya ia memelankan suara ketika membaca do’a qunut. Sedangkan apabila ia menjadi imam maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa sebaiknya ia memelankan suara dalam membaca do’a qunut sebab merupakan do’a. Sedangkan posisi doa itu sendiri ialah israr (merendahkan suara). Allah ta’ala berfirman: “Jangan kamu mengeraskan suaramu dalam shalat dan jangan pula merendahkannya,” (QS Al-Isra` [17]: 110). Pendapat kedua menyatakan sebaiknya meninggikan suara dalam membaca do’a qunut sebagaimana meninggikan suara ketika membaca sami’allahu liman hamidah tetapi bukan seperti dalam membaca ayat,” (Lihat Al-Mawardi, Al-Hawi fi Fiqhis Syafi’i, Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1414 H/1991 M, juz II, halaman 145).

Berangkat dari penjelasan di atas maka pilihan kedua ialah bagi imam tetap membaca doa qunut tetapi dgn bacaan yg minimalis dan suara rendah (pelan), seperti allahummaghfir lana ya ghafur wa shallallahu ‘ala sayyidina muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallama.

Bacaan ini dapat dikategorikan doa qunut sebab telah dianggap mencakup doa dan pujian sebagaimana penjelasan definisi qunut di atas. Sedangkan merendahkan suara bagi imam dalam membaca doa qunut mengacu kepada pendapat pertama sebagaimana dikemukakan Al-Mawardi di atas.

Hemat kami pilihan kedua ini ialah yg paling bijak buat diambil ketika seseorang yg menyakini legalitas syar’i membaca doa qunut dalam shalat Subuh, sedangkan makmumnya tak.

Demikian jawaban yg dapat kami kemukakan. Semoga dapat dipahami dgn baik. Sikapi perbedaan dgn bijak serta berusahalah mencari cara terbaik buat keluar dari perbedaan tanpa harus mengorbankan apa yg kita yakini. Kami selalu terbuka buat menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb

(Mahbub Ma’afi Ramdlan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.