Renungan Imam al-Ghazali atas Ritus Ibadah Haji

Musim haji belum lama berlalu. Jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia menyemut memenuhi Tanah Haram dan sekitarnya. Seluruhnya datang demi melengkapi rukun Islam kelima mereka. Meskipun, diakui atau tak, tak sedikit orang zaman sekarang yg pergi haji bukan semata buat beribadah, tetapi juga dilatari motif lain, semisal demi menaikkan elektabilitas ataupun status sosialnya. Akibatnya, ibadah haji yg begitu sakral jadi seolah kehilangan makna.

 

Ada ratusan ribu orang dari Indonesia yg melakukan ritual tahunan ini. Sebagian kecil dari mereka bahkan menunaikannya buat yg ke sekian kali. Namun, apakah ibadah ini meningkatkan kualitas keberislaman pelaksananya? Agar tak sebatas menjadi ritus kosong, seseorang perlu merenungkan makna serangkaian ritual haji itu buat kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Setali tiga uang dgn apa yg pernah dikatakan Imam al-Ghazali, fa inna kulla ahwâl al-hajj dalîl ‘alâ ahwâl al-âkhirah (setiap keadaan yg terdapat di dalam ibadah haji merupakan gambaran tentang keadaan di akhirat kelak). Karena itu, di dalam kitab Asrâr al-Hajj, beliau menyingkap beberapa rahasia di balik manasik haji.

 

Berazam Hendak Naik Haji

Imam al-Ghazali menyarankan setiap Muslim hendaklah memiliki kemauan kuat (azam) buat berkunjung ke Baitullah dan dgn disertai niatan yg baik. Bukan dilandasi asa mau dipuji orang atau menggapai popularitas sosial. Sebab, harus disadari betul bahwa ikhtiar menuju Baitullah berarti usaha buat meraih suatu hal yg agung, sehingga wajar manakala cobaannya pun mau sedemikian berat. Dengan demikian, tanamkanlah azam ke Baitullah yg kokoh di dalam hati dan hati-hati jangan sampai salah niat.

 

Ber-tajarrud saat Berhaji

Al-tajarrud ialah tindakan meninggalkan atau melepaskan diri dari perkara-perkara zalim dan maksiat. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa bila orang yg berhaji tak ber-tajarrud, talbiyah yg ia ucapkan menjadi nirmakna dan mau dipertanyakan: apa yg engkau tuju? 

 

Sebab, kezaliman dan kemaksiatan berkebalikan dgn spirit lafal talbiyah yg berbunyi: Labbaikallâhumma labbaik, labbaika lâ syarîka laka labbaik, innal hamda wan ni‘mata laka wal mulk lâ syarîka lak (aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sungguh, segala puji, nikmat, dan segala kekuasaan ialah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu).

 

Seorang yg berhaji yg melepaskan dirinya dari kezaliman dan kemaksiatan, sebenarnya sedang melepaskan beban-beban yg menghambat perjalanannya menuju kedekatan dgn Tuhannya, dan itulah yg sebenarnya dia tuju.

 

Bekal yg Dibawa Berhaji

Selayaknya musafir pada umumnya, Anda yg pergi ke Makkah buat menunaikan ibadah haji telah barang tentu mempersiapkan bekal perjalanan secukup mungkin. Gambaran bekal yg Anda bawa berhaji itu seumpama amal yg mau Anda bawa menempuh perjalanan akhirat di kemudian hari. Sebuah perjalanan yg jauh lebih lama dan amat berat ketimbang perjalanan haji Anda di kehidupan dunia ini.

 

Imam al-Ghazali mengandaikan, bilapun Anda minus bekal haji barangkali Anda tak begitu mencemaskannya, sebab masih ada harapan Anda dibantu ataupun meminta bantuan orang lain. Akan tetapi, bagaimana bila Anda kekurangan amal di kala menempuh perjalanan akhirat nanti, niscaya tak ada lagi yg dapat menolong Anda kecuali syafaat dari orang-orang tertentu yg Allah perkenankan.

 

Kendaraan yg Digunakan Berhaji

Imam al-Ghazali mengajak kita bersyukur kepada Allah yg telah menyediakan (menciptakan) kendaraan buat kita pergunakan berangkat haji. Apalagi moda transportasi yg tersedia saat ini semakin memudahkan para jamaah haji. Namun, bagaimana perasaan kita apabila kendaraan yg kita gunakan tak berhasil mengantarkan kita sampai ke tempat tujuan, atau kalau saja kendaraan tersebut justru membuat kita celaka?

 

Nah, kendaraan haji ini sebagaimana halnya jasad sebagai tunggangan ruhnya menuju alam akhirat. Jadi malang sekali ruh yg jasadnya tak berhasil membawanya dekat kepada Tuhannya, malah menjerumuskannya ke dalam mara bahaya akhirat. Itu sebabnya Imam al-Ghazali mengingatkan kita supaya senantiasa ingat kepada Allah di sepanjang perjalanan hidup ini sebab perihal kapan ajal itu tiba kita tak tahu menahu. Siapa tahu telah dekat. 

 

Pakaian Ihram

Pakaian ihram merupakan kain putih polos tanpa jahitan yg dikenakan oleh para jamaah haji selama dalam pelaksanaan ibadah haji. Pakaian ihram itu serupa dgn kain kafan yg sama-sama polos tanpa jahitan. Cara pakainya juga hampir sama; bilamana kain ihram Anda kenakan dgn cara melilitkannya, pada saatnya nanti Anda dipakaikan kain kafan juga dgn cara dililitkan dan diikat. Makanya Imam al-Ghazali berpesan kepada Anda ketika membeli kain ihram, ingatlah bahwa kelak ketika Anda mati Anda mau dibungkus dgn kain kafan yg polos tak berjahit dan nihil kebanggaan serupa kain ihram itu.

 

Baca juga: Tiga Pesan Penting Pakaian Ihram Menurut Ibnu Abbas

 

Berangkat Haji

Pada waktu Anda berangkat haji, buat sementara waktu Anda merelakan diri berpisah dgn sanak keluarga dan orang-orang terkasih Anda, serta meninggalkan harta benda dan jabatan yg Anda emban. Momen ini menjadi iktibar di kala ajal telah menjemput Anda suatu saat nanti, Anda mau membiarkan tinggal semua itu selamanya. Saat itu tak ada lagi yg patut Anda harapkan selain berhasil al-wushûl wa al-qabûl ila Allâh. Jadi, tanamkanlah dalam jiwa Anda tentang hakikat apa-siapa-ke mana tujuan Anda, tandas Imam al-Ghazali.

 

Masuk Miqat

Gambaran orang yg berhaji saat memasuki miqat sama dgn ilustrasi awal perjalanan akhirat di saat dia memasuki pos pemberhentian pada hari kiamat. Lalu, setelah itu dia mau memulai kehidupan pasca-kematian sebagaimana dia memulai prosesi ibadah hajinya. Di samping itu, dalam bahasan ini Imam al-Ghazali juga menyinggung gangguan-gangguan di jalan yg acap dijumpai para jamaah haji tempo silam. Seperti gendala para penyamun yg beliau ibaratkan sebagai pertanyaan Munkar dan Nakir, serta alangan binatang buas yg beliau takwilkan seumpama siksa kubur. Barangkali buat konteks kekinian gangguan semacam penyamun dan binatang buas masih tetap ada tetapi tentu dalam bentuk yg berbeda.

 

Masuk Makkah

Imam al-Ghazali mengumpamakan jamaah haji manakala memasuki Makkah laksana orang-orang yg sedang memasuki jalan menuju Tuhan mereka sembari mengharap selamat dari segala siksa-Nya. Sebuah syair Arab mengatakan, al-kurm ‘amîm (kedermawanan ialah kesempurnaan), wa al-rabb rahîm (Tuhan ialah Yang Mahapengasih), wa sharaf al-bayt ‘adhîm (kemuliaan Baitullah amatlah besar), wa haqq al-zâ’ir mar‘iyy (hak para peziarah dijaga selalu), wa dimâm al-mustajîr al-lâ’iz ghayr mud}î‘ (dan darah orang yg meminta perlindungan tak pernah disia-siakan). 

 

Melihat Ka’bah

Di kala orang yg berhaji kesampaian melihat Baitullah secara langsung, di situlah momentum baginya membatinkan harapannya dapat melihat Allah di hari kiamat. Karena menurut Imam al-Ghazali, sesungguhnya orang itu bagaikan orang yg telah hampir masuk surga tapi kemudian dia kadang kala terlalaikan dunia hingga berujung neraka. Dari itu maka ada orang yg ibadah hajinya diterima (mabrûr) dan ada yg ditolak (mardûd).

 

Tawaf Mengelilingi Ka’bah

Orang yg sedang tawaf memutari Ka’bah diserupakan dgn malaikat muqarrabîn yg tawaf mengelilingi ’arsy. Sesuai dgn hadis, man tashabbaha bi qawm fahuwa minhum (siapa saja yg menyerupai suatu kaum, dia termasuk bagian dari mereka). Adapun tawaf yg baik, kata Imam al-Ghazali, ialah yg dilakukan dgn raga sekaligus jiwa yg mengingat Sang Penguasa Jagat Raya sehingga yg tawaf bukan badaniahnya saja.

 

Istilâm Hajar Aswad

Melakukan istilâm (mencium atau mengusap) Hajar Aswad itu ibarat Anda sedang berbaiat kepada Allah. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa barang siapa yg tak melakukan baiat, berhak mendapat siksa-Nya.

 

Baca: Delapan Fakta dan Keistimewaan Hajar Aswad

Menyentuh Penutup Ka’bah dan Menempel di Multazam

Sebetulnya menyentuhkan tangan pada penutup Ka’bah dan menempelkan diri di multazam dilakukan atas dasar cinta dan kerinduan terhadap Yang Empunya Ka’bah dan multazam, serta dalam rangka ngalap berkah. Bahkan, Imam al-Ghazali mengibaratkannya semisal seseorang yg memiliki salah pada orang lain, lalu dia mendekati orang itu buat meminta maafnya. Mafhumnya berarti seharusnya Anda melakukan kedua hal itu sambil memohon ampunan Allah selaku Yang Empunya Ka’bah dan multazam.

 

Sai dari Safa ke Marwa

Orang yg melaksanakan sai dari Safa ke Marwa ibarat orang yg mondar-mandir di antara kedua ujung mizan (neraca Tuhan) pada hari perhitungan amal manusia. Dia ragu atas apa yg mau diputuskan Tuhan terhadap dirinya; apakah amalnya mau diterima ataukah ditolak; apakah dosanya mau diampuni atau tak. Begitu penjelasan Imam al-Ghazali.

 

Melempar Jumrah

Seyogianyanya niat melempar jumrah sebagaimana ketulusan niat Nabi Ibrahim tatkala didatangi dan digoda iblis pada peristiwa penyembelihan Nabi Ismail, putranya. Lantas, Allah memerintahkan beliau supaya melempari iblis dgn batu sebagai simbol penolakan beliau atas godaan dan ajakan maksiat dari iblis tersebut. Oleh sebab itu, Imam al-Ghazali menekankan supaya Anda melempar jumrah itu lantaran Anda semata-mata mematuhi perintah Allah.

 

Wukuf di Arafah

Wukuf di arafah merupakan inti atau penentu kesahihan haji seseorang. Di sisi lain, berkumpulnya seluruh jamaah haji sewaktu wukuf di Arafah sebagai gambaran situasi kelak di padang mahsyar. Ketika itu seluruh umat manusia berkumpul di sana mengikuti nabinya masing-masing sambil mengharap-harap syafaat dari mereka. Maka itu takutlah kepada Allah dan bertakwalah kepada-Nya supaya Dia menakdirkan kita tergolong orang-orang yg selamat dari siksa-Nya. Demikian pungkas Imam al-Ghazali. Wallâhu a‘lam bi al-shawâb.

 

 

Ahmad Rijalul Fikri, Santri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Mahasiswa di Pascasarjana Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.