Saat Abu Hanifah Tolak Tawaran Berteduh

Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsâbit (80-150 H) ialah salah satu imam mazhab empat yg hidup pada periode tabi’in. Ia mendapati sahabat Anas bin Malik dan beberapa sahabat peserta perang badar.

Kealimannya di bidang fiqih diakui khalayak. Para ulama telah bersepakat. Karena kredibilitas dan kapabilitasnya, Abu Hanifah layak menyandang level mujtahid mutlak. Artinya, ia telah boleh menggali hukum agama dari Al-Qur’an hadits dan sebagainya secara mandiri tanpa bergantung pada pendapat orang lain.

Abu Hanifah selain masyhur sebagai punggawa kajian fiqih ternyata dia pelaku fiqih murni yg seolah hanya membicarakan sisi hitam-putih, namun ia juga memadukannya dgn ilmu-ilmu yg lain. Di antara ramuan fiqihnya, Abu Hanifah memadukan fiqihnya yg hebat dgn tashawufnya yg matang.

Dalam dunia tasawuf, dikenal sebuah kutipan, “Barang siapa mendalami aspek fiqih saja seraya meninggalkan amaliyah tashawwuf, ia sangat berpotensi terjerumus pada tindakan fâsiq. Barang siapa hanya bertashawwuf saja namun tak dibarengi dgn fiqih yg tepat, ia dapat menjadi zindiq (imannya hanya berpura-pura saja). Dan barang siapa yg dapat menggabungkan keduanya, berarti ia telah pada derajat tahqiq (beragama dgn sesungguhnya).” Demikian perkataan Imam Malik yg sangat terkenal itu dikutip dalam Kitab Al-Futûhât Al-Ilâhiyyah halaman 64.

Menelisik sisi kehati-hatian Abu Hanifah salah satunya ialah sebuah cerita dari Imam As-Sya’rani yg bersumber dari Syaqîq Al-Balkhi sebagai berikut.

Satu ketika, Imam Hanifah itu tak berkenan duduk atau berteduh di terasnya orang yg sedang mempunyai utang kepada Abu Hanifah. Sebab apa? Alasan Abu Hanifah tak mau berteduh ialah:

اِنَّ عِنْدَهُ لِيْ قَرْضًا وَكُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا. وَجُلُوْسِيْ فِيْ ظِلِّ جِدَارِهِ اِنْتِفَاعٌ بِهِ

Artinya, “Sesunggunya dia mempunyai hutang kepadaku. Padahal aturannya, setiap hutang-piutang yg menarik sebuah keuntungan di salah satu pihak, itu termasuk riba. Nah, dudukku berteduh di bawah naungan orang tersebut berarti saya mengambil sisi manfaat darinya,” (Lihat Muhammad bin Salim Bâ Bashîl, Is’adur Rafîq, [Al-Haramain], juz I, halaman 143).

Demikianlah kelembutan dan kejernihan hati Abu Hanifah. Jadi, pijakan hukumnya begitu mendalam. Kalau kita cermati pada aturan dasar hukum fiqih, bila ada orang berhutang, tak boleh ada bunganya (atau manfaat sejenis), namun larangannya selama aturan bunga disepakati dalam majelis transaksi.

Misalkan Ahmad berhutang kepada Abdullah sebanyak Rp. 100.000,-. Selama transaksi berlangsung mereka berdua tak ada kesepakatan nanti saat mengembalikan uangnya harus lebih dari jumlah nominal hutang.

Tapi apabila dalam transaksi tanpa ada kesepakatan riba, namu besok lusa ternyata Abdullah ketemu dgn Ahmad dan kemudian ia menyusuli aturan “Besok kalau mengembalikan ditambah Rp. 20.000,- ya!.” Sekali lagi, secara aturan standar fiqih, demikian tak ada masalah. Karena telah tak dalam satu transaksi pertama tadi.

Di sinilah letak tashawwuf dijalankan. Imam Abu Hanifah saat transaksi tak melakukan riba. Namun lebih dari itu, bahkan sampai telah pisah pun, ia tak berkenan mengambil keuntungan padahal hanya sekedar berteduh di emperan orang yg mempunyai hutang kepadnya. Inilah contoh sikap wira’i Abu Hanifah yg patut kita contoh.

Dengan demikian, dapat kita ambil kesimpulan, berusaha merawat hati itu sangat penting. Kalau ada orang hatinya bersih, pribadinya mau timbul kehati-hatian dari makan harta haram, tak sombong, suka mencela orang lain dan sebagainya. Tidak heran, bila dalam Kitab Lathâiful Ma’ârif karya Ibnu Abi Rajab Al-Hanbali disebutkan: 

الإشتغال بتطهير القلوب أفضل من الإستكثار من الصوم والصلاة مع غش القلوب

Artinya, “Sibuk membersihkan hati itu lebih utama ketimbang memperbanyak puasa, shalat, namun dgn hati yg tercemar.” Wallâhu a’lam. (Ahmad Mundzir)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.