Sahkah Shalat Makmum yg Mendahului atau Menyamai Imam?

Di antara sejumlah persyaratan bermakmum ialah mengikuti imam dan tak mendahuluinya. Pertanyaannya, bagaimana bila ada makmum yg menyalahi ketentuan itu? Bagaimana pula keabsahan shalat dan keutamaan berjamaahnya?

Secara umum, mendahului dan menyamai imam dapat dirinci ke dalam tiga hal: (1) dalam posisi; (2) dalam takbiratul ihram; (3) selain dalam posisi dan takbiratul ihram.

Pertama, mendahului dan menyamai imam dalam posisi. Syekh Sa‘id bin Muhammad dalam Syarhul Muqaddimah Al-Hadramiyyah, (Terbitan Darul Minhaj, Jeddah, Cetakan Pertama, 2004, jilid I, halaman 338) menyatakan, bila seorang makmum yakin bahwa posisinya mendahului imam maka shalatnya tak sah, kecuali dalam kondisi darurat seperti ketakutan atau terancam.

Lebih lanjut, Syekh Sai‘id ibn Muhammad mengatakan, adapun yg menjadi acuan dalam menentukan posisi makmum ialah tumit yg jadi tumpuan beban tubuhnya. Posisi ini biasanya dilakukan tatkala makmum masih seorang diri, sehingga disunahkan berdiri di sebelah kanan imam.

Dalam posisi ini, tumit makmum tak boleh lebih depan dari tumit imam. Sebab posisi itu menyebabkan shalatnya tak sah. Sedangkan yg menjadi acuan bagi makmum yg shalat sambil duduk ialah kedua pantatnya; lambung bagi makmum yg shalatnya sambil tidur miring; dan kepala bagi makmum yg shalatnya telentang.

Berikut ialah petikan pernyataan Syekh Sa‘id ibn Muhammad yg dikemukakan dalam Syarhul Muqaddimah Al-Hadramiyyah:

فإن تقدم يقيناً عليه في غير شد خوف .. لم تصح؛ لخبر: “إنما جعل من الإمام ليؤتم به” Ùˆ (الائتمام): الاتباع، أما لو شك فيه .. فلا يضر سواء جاء من خلفه، أم من أمامه. والعبرة في التقدم في القائم (بعقبه) أي التي اعتمد عليها من رجليه أو إحداهما، وهو مؤخر القدم مما يلي الأرض (أو بأليتيه إن صلى قاعداً) ولو راكباً (أو بجنبه إن صلى مضطجعاً) أو برأسه إن صلى مستلقياً

Artinya, “Jika makmum yakin mendahului imam, di luar situasi ketakuatan, maka tak shalatnya, berdasarkan hadits, ‘Imam itu dibentuk hanya buat dimakmumi (diikuti).’ Sehingga makmum yg ragu apakah posisinya mendahului atau tak, ialah tak mengapa, baik dirinya datang dari belakang imam atau dari depannya. Adapun yg menjadi acuan mendahului imam bagi makmum yg shalat berdiri ialah tumit. Maksudnya, tumit kedua kaki atau salah satu kaki yg dijadikan tumpuan. Tumit sendiri yakni bagian belakang telapak kaki yg menyentuh tanah. Atau, yg menjadi acuan ialah kedua pantat bagi makmum yg shalat sambil duduk, meskipun duduknya di atas sesuatu (seperti kursi, pen.); lambung bagi makmum yg shalat sambil tidur miring; kepala bagi makmum yg shalat sambil tidur telentang.”

Pertanyaan berikutnya, bagaimana bila posisi makmum menyamai posisi imam? Jawabannya, walau tak sampai membatalkan shalat, tetapi hal itu makruh dialakukan. Sedangkan perkara makruh yg dilakukan makmum saat berjamaah mau menghilangkan keutamaan berjamaah, kendati status makruhnya hanya pada bagian yg disamainya saja. Demikian menurut penulis Syarhul Muqaddimah Al-Hadramiyyah:

فإن ساواه كره كراهة مفوتة لفضيلة الجماعة فيما ساواه فيه فقط وكذا يقال في كل مكروه من حيث الجماعة

Artinya, “Jika posisi makmum dan imam sama, maka hukumnya makruh, sedangkan makruh dapat menghilangkan keutamaan berjamaah, meskipun status makruhnya hanya pada bagian yg mereka samai saja. Bahkan ada yg mengatakan, setiap perkara makruh yg dilakukan dalam berjamaah dapat menghilangkan keutamaan berjamaah.”

Untuk itu, supaya shalatnya sah dan tak makruh, maka makmum sendirian hendaknya berdiri di sebelah kanan imam lalu mundur sedikit, atau boleh juga mundur agak jauh selama tak lebih dari tiga siku.

Kedua, mendahului imam dalam takbiratul ihram. Dalam Hâsyiyatul Bâjûrî, (Terbitan Maktabah Al-‘Ulumiyyah, Semarang, Tanpa Tahun, jilid I, halaman 197), Syekh Ibnu Qasim menyatakan, siapa pun yg mendahului takbiratul imam, maka shalatnya tak sah. Demikian halnya membarengi imam.

Ini artinya, bila menyamai imam dalam hal posisi hanya sekadar makruh dan menghilangkan keutamaan berjamaah, namun menyamai imam dalam takbiratul ihram tak ditolelir dan dapat membatalkan shalat.

Demikian pula bila seorang makmum ragu-ragu, apakah takbiratul ihramnya menyamai imam atau setelah imam, kemudian diyakini bahwa takbirnya setelah imam, namun ternyata setelah berselang lama dugaannya salah dan takbirnya mendahului imam, maka itu pun shalatnya batal. Karenanya, wajar bila Rasulullah saw. mewanti-wanti dalam urusan ini, “Janganlah kalian tergesa-gesa mengikuti imam. Setelah imam bertakbir, barulah kalian bertakbir.”

Alasannya, makmum yg takbiratul ihram sebelum imam, sejatinya bermakmum kepada orang yg belum masuk shalat. Sedangkan, masuknya shalat ditandai dgn sempurnanya takbiratul ihram. Adapun fatwa Imam Al-Baghawi yg menyatakan bahwa seorang yg takbiratul ihram dan belakangan ternyata diketahui imamnya belum takbir, maka shalatnya sah secara munfarid, ialah fatwa yg lemah.

Ketiga, mendahului dan menyamai imam selain dalam posisi dan takbiratul ihram. Maksudnya ialah mendahului atau menyamai imam dalam gerakan dan bacaan. Kembali dikemukakan oleh Syekh Ibnu Qasim, mendahului gerakan imam dua rukun berturut-turut, walaupun keadaan rukunnya ialah rukun pendek, seperti rukuk dan i‘tidal, tanpa ada alasan yg dibenarkan, maka menyebabkan shalatnya menjadi batal. Kecuali bila mendahuluinya tanpa disengaja, seperti tak tahu gerakan imam atau sebab lupa, maka itu ditolelir dan tak menyebabkan batal.

Sama halnya  dgn mendahului ialah meninggalkan diri dua rukun berturut-turut dari imam tanpa ada alasan yg dibenarkan, maka itu pun juga menyebabkan batal. Berbeda halnya dgn mengakhirkan diri disertai alasan, seperti bacaannya kendor, sedangkan bacaan Fatihahnya belum selesai dan dia juga bukan makmum masbûq (ketinggalan), maka mengakhirkan diri yg demikian, selama tak ketinggalan tiga rukun yg panjang, tak sampai membatalkan shalat.  

Hanya saja, walau menyamai gerakan imam tak sampai membatalkan shalat, tetapi makruh hukumnya. Sedangkan perkara makruh yg dilakukan makmum saat berjamaah dapat menghilangkan keutaman berjamaahnya, kendati kehilangannya hanya pada rukun yg disamainya, tak pada seluruh shalat.

Demikian juga menyamai imam dalam bacaan, seperti bacaan Surah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama shalat jahr dan salam, sebagaimana yg dikatakan oleh Syekh Ibnu Qasim dalam Hâsyiyatul Bâjûrî, (Terbitan Maktabah al-‘Ulumiyyah, Semarang, Tanpa Tahun, jilid I, halaman 199) berikut ini.

ولا تضر مساواته لإمامه أى في صحة الإقتداء وإن كانت مكروهة مفوتة لفضيلة الجماعة فيما ساوى فيه كما لو قارنه في شيء من أقوال الصلاة وأفعالها التى يطلب فيها عدم المقارنة كالفاتحة والأولتين والسلام وجميع أفعال الصلاة في ابتدائها كأن يبتدئ الركوع معه ويبتدئ السجود معه وهكذا بخلاف دوامها ومعلوم أن التحرم لا بد أن يتأخر فيه عن إمامه احتياطا له

Artinya, “Tidak masalah makum menyamai imamnya. Dalam arti, tak merusak keabsahan shalatnya. Hanya saja hal itu makruh dan menyebabkan hilangnya fadilah berjamaah, meskipun status makruhnya pada bagian yg disamainya saja. Demikian juga makruh andai makmum menyamai imam pada bacaan atau gerakan shalat yg dituntut buat tak membarengi imam dalam mengawalinya seperti pada bacaan Fatihah pada dua rakaat pertama, salam, dan semua gerakan shalat. Misalnya, dia mengawali rukuk atau mengawali sujud bareng dgn imam.  Dan seterusnya. Bahkan, tak dikatakan makruh lagi bila makmum selamanya membarengi imamnya. Apalagi, telah dimaklumi bahwa dalam takbiratul ihram, makmum wajib mengakhirkan diri dari takbiratul ihram imam, sebagai bentuk kehati-hatian bagi dirinya.” 

Berdasar petikan di atas, selayaknya seorang makmum, selain dalam takbiratul ihram, tak mengawali gerakannya sebelum imam mengawalinya. Sebab, sebagaimana yg telah disampaikan, mengawali takbiratul ihram sebelum imam, atau juga membarenginya, dapat membatalkan shalat. Selain itu, imam sendiri ditetapkan buat diikuti oleh makmum, sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW, “Imam sendiri dibuat buat diikuti (makmum). Karena itu, janganlah kalian menyalahinya,” (HR Malik).

Tak hanya itu, setiap makmum hendaknya takut mau peringatan Rasulullah SAW dalam hadits lainnya, “Apakah salah seorang di antara kalian yg mengangkat kepalanya saat imam masih sujud, tak takut kepalanya diganti dgn kepala seekor himar?” (HR Ahmad).

Demikian uraian singkat tentang konsekuensi mendahului dan menyamai imam dalam shalat berjamaah. Semoga bermanfaat. Insya Allah, sejumlah persyaratan lain dalam berjamaah yg belum teruraikan di sini mau diuraikan pada kesempatan berikutnya. Wallahu a’lam.

Ustadz M Tatam Wijaya, Pengasuh Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin, Desa Jayagiri, Kecamatan Sukanagara, Cianjur Selatan, Jawa Barat.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.