Sebaik-baik Lelaki ialah yg Terbaik Sikapnya terhadap Istri

Dini hari itu sewaktu bilal di masjid sedang membangunkan warga sekitar dgn pengeras suara, aku telah bangun seperti biasa. Saat itu aku sedang menyiapkan teh manis dgn memanaskan ulang cem-ceman teh. 

Segera setelah itu, teh ginasthel telah siap di atas meja makan. Tetapi aku lihat persediaan air putih tak mencukupi. Aku bergegas merebus air. Kompor gas segera aku nyalakan dan aku tinggalkan sejenak buat menyiapkan nasi dan lauk. 

Kira-kira pukul 04.10, anakku yg sulung keluar dari kamarnya. Ia bangun sendiri tanpa keterlibatanku. Itu ialah kali pertama selama bulan puasa ia bangun sendiri. Aku anggap itu perkembangan yg baik sebab berarti ia makin mandiri.

Sambil mendengarkan tarhim dari masjid, aku menikmati makan sahur bersama si sulung. Sudah tiga hari ini kami sahur dan berbuka tanpa ada istri di rumah. Ia bersama si bungsu telah lebih dulu mudik buat segera berkumpul dgn kedua orang tua yg makin sepuh. 

Aku memang berusaha buat tak terlalu bergantung pada istri dalam urusan pekerjaan rumah tangga supaya tak terlalu membebaninya. Selain itu, supaya aku dapat selalu siap melayani anak-anaku. 

*** 

Itulah ringkasan cerita kegiatan sahur di keluargku lima tahun lalu, atau tepatnya pada 26 Ramadhan 1435 H/24 Juli 2014. Cerita itu kami rekam dalam sebuah buku catatan harian berjudul “Dari Sahur ke Sahur; Catatan Harian Seorang Suami” (2016).

Berbicara tentang keluarga, istri ialah orang pertama setelah suami. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

 خيركم خيركم لأهله، وأنا خيركم لأهلي 

“Sebaik-baik kalian ialah yg terbaik sikapnya terhadap keluarga. Dan aku ialah yg terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR Ibnu Majah)

Hadits ini dapat dimaknai bahwa sebaik-baik laki-laki ialah yg terbaik sikapnya terhadap istri. Dan Nabi ialah laki-laki terbaik dalam memperlakukan istri. 

Hadits itulah yg telah menginspirasi saya buat dapat bersikap baik kepada istri. Banyak kesempatan saya dapatkan buat melakukan hal itu di bulan Ramadhan seperti membolehkan tak bangun di waktu sahur ketika ia sedang cuti bulanan (haid). Selain itu ialah mengizinkannya mendahului mudik supaya dapat segera berkumpul bersama kedua orang tua yg makin sepuh. Mereka berdua telah mengizinkan saya menikahi putrinya itu puluhan tahun yg lalu. 

Dengan dia mendahului mudik, otomatis pekerjaan rumah tangga harus saya selesaikan sendiri. Itu konsekuensi logis dan harus saya terima. Pertanyaannya ialah apakah pantas seorang suami menyelesaikan pekerjaan rumah tangga? 

Pertanyaan itu dapat dijawab dgn hadits Rasulullah sebagaimana diriwayatkan dari Al-Aswad radhiallahu anhu berikut ini: 

سألت عائشة ما كان النبي صلى الله عليه وسلم يصنع في أهله قالت كان في مهنة أهله فإذا حضرت الصلاة قام إلى الصلاة

Artinya, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah: Apa yg dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di rumahnya? Aisyah berkata: Beliau membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, maka apabila telah masuk waktu shalat beliau keluar buat shalat.” (HR. Al-Bukhari)

Oleh sebab itu sangat keliru bila ada penilaian di masyarakat bahwa seorang suami tak pantas melakukan pekerjaan rumah tangga sebab Rasulullah sendiri sebagai manusia paling mulia di jagad ini juga melakukannya sebagai wujud kasih saygnya kepada keluarga. Selain itu, secara fiqih pada dasarnya pekerjaan rumah tangga bukan kewajiban istri. 

Jadi apa yg saya lakukan selama ini kepada istri saya sesungguhnya bukan sebab saya takut kepadanya (baca ISTI = Ikatan Suami Takut Istri). Saya hanya mau mengikuti jejak beliau sependek yg saya mampu. Tidak lebih dari itu. 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.