Sejarah Nabi Muhammad (2): Wahyu Pertama yg Menggetarkan

Dalam asuhan pamannya inilah Muhammad kecil tumbuh dewasa, anak yg membawa petunjuk telah menjadi seorang pemuda, berbekal kebenaran dan memancarkan cahaya. Dalam genggaman tangannya terdapat pelita hikmah, lisannya berisi berita gembira, dalam sorotan matanya tampak kesungguhan nyata, wajahnya bersinar menjanbilan kebahagiaan, dalam darahnya mengalir jiwa kepahlawanan sejati, menentang setiap kecongkakan dan keangkuhan. Kaum Quraisy mengenalnya dgn pengenalan yg sangat dalam, dia disebut al-Amin (orang yg jujur), dan semua Kabilah Arab telah rela memilihnya sebagai hakim dalam peletakkan Hajar aswad di Baitullah. 

(Baca juga: Sejarah Nabi Muhammad (1): Yatim Piatu sejak Usia Enam Tahun)

Setelah beranjak dewasa, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam nikah dgn seorang saudagar wanita kaya raya, bernama Khadijah binti Khuwailid. Dari pernikahan ini beliau dikarunia beberapa anak laki-laki dan perempuan, meskipun anak laki-lakinya wafat di masa kanak-kanak. Sejak sebelum menikah, Muhammad ialah seorang pria yg sering merenung, dan berpikir, kontemplasi (olah spritual), memikirkan fenomena alam dan lingkungan sekitarnya di tempat yg jauh dari keramaian.

Beliau berdoa kepada Tuhan supaya menemukan sesuatu yg mencerahkan dirinya dan kaumnya. Kita mengetahui dari kariernya di belakang hari, bahwa Muhammad sangat prihatin mau keruntuhan moral yg sangat mengkhawatirkan di Makkah. Kebiasaan ini terus berlanjut setelah beliau menikah. Bahkan pada bulan Ramadhan, hal itu lebih ditingkatkannya lagi, disertai dgn membagikan makanan dan sedekah kepada fakir miskin yg membutuhkan. Hingga pada suatu malam di bulan Ramadhan, tahun 610 M, di sudut gua Hira, beliau dikejutkan oleh turunnya wahyu yg pertama dari Allah, sebagaimana hadits berikut ini:

Dari Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu ‘anha, ia berkata: “Permulaan wahyu yg diterima oleh Rasulullah ialah ar-ru’ya ash-shalihah (mimpi yg baik) dalam tidur. Biasanya mimpi yg dilihatnya itu jelas laksana cuaca pagi. Kemudian beliau jadi senang menyendiri; lalu menyendiri di gua Hira buat bertahannuts. Beliau bertahannuts, yaitu beribadah di sana beberapa malam, dan tak pulang ke rumah isterinya. Dan buat itu beliau membawa bekal. Kemudian beliau pulang kepada Khadijah, dan di bawahnya pula perbekalan buat keperluan itu, sehingga datang kepada beliau Al-Haqq (kebenaran, wahyu) pada waktu beliau berada di gua Hira. Maka datanglah kepada beliau malaikat dan berkata, “Bacalah!” Jawab beliau, “Aku tak dapat membaca.” Nabi bercerita, “Lalu malaikat itu menarikku dan memelukku erat-erat sehingga aku kepayahan. 

(Baca juga: Detik-detik Menegangkan Nabi dan Abu Bakar di Gua Tsur)

Kemudian ia melepaskanku dan berkata lagi, “Bacalah!” dan aku menjawab, “Aku tak dapat membaca.” Aku lalu ditarik dan dipeluknya kembali kuat-kuat hingga habislah tenagaku. Seraya melepaskanku, ia berkata lagi, “Bacalah!” Aku kembali menjawab, “Aku tak dapat membaca.” Kemudian buat ketiga kalinya ia menarik dan memelukku sekuat-kuatnya, lalu seraya melepaskanku ia berkata, 

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ 

(1) Bacalah dgn (menyebut) nama Tuhanmu yg Menciptakan; (2) Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah; (3) Bacalah, dan Tuhanmulah yg Maha pemurah; (4) Yang mengajar (manusia) dgn perantaran qalam (pena); (5) Dia mengajar kepada manusia apa yg tak diketahuinya. (QS. al-Alaq, 96:1-5)

Kemudian Nabi pulang ke rumah istrinya, Khadijah binti Khuwailid dgn hati gemetar ketakutan. Beliau memohon kepadanya, “Selimutilah aku!” Mereka menyelimuti beliau hingga hilanglah ketakutannya. Kemudian beliau bercerita kepada Khadijah, setelah diceritakannya apa yg baru dialaminya,ia berkata: “Sesungguhnya aku mencemaskan diriku.” Khadijah berkata, “Sama sekali tak. Demi Allah, Allah selamanya tak mau menghinakan engkau. Sesungguhnya engkaulah orang yg selalu menyambung tali persaudaraan, selalu menanggung orang yg kesusahan, selalu mengusahakan apa yg diperlukan, selalu menghormati tamu dan membantu derita orang yg membela kebenaran.” 

Selanjutnya Khadijah pergi membawa beliau menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, anak paman Khadijah. Waraqah ialah seorang Arab pemeluk agama Nasrani di zaman Jahiliyah. Ia pandai menulis kitab dalam bahasa Ibrani dan ia pun menulis Injil dgn bahasa Ibrani. Ia seorang tua yg buta. Khadijah berkata kepadanya, “Wahai anak pamanku, dengarkanlah cerita anak saudaramu ini. Waraqah bertanya kepada Nabi, “Wahai anak saudaraku, apakah yg kaulihat?”

Lalu beliau menceritakan apa yg beliau lihat dan alami di Gua Hira’. Kemudian Waraqah berkata lagi kepada beliau, “Itulah Namus (Jibril) yg pernah diutus Allah kepada Musa. Mudah-mudahan aku masih hidup di saat engkau diusir kaummu!” Maka Rasulullah bertanya, “Apakah mereka mau mengusirku?” Ia menjawab, “Ya, sebab setiap orang yg membawa seperti apa yg engkau bawa pasti dimusuhi orang. Jadi kelak engkau mengalami masa-masa seperti itu, dan bila aku masih hidup, aku pasti mau menolongmu sekuat tenagaku.” Tidak lama kemudian, Waraqah meninggal dan wahyu pun putus buat sementara (fatrah al-wahy).

Menurut Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdirrahman, Jabir bin Abdillah al-Anshari menceritakan tentang terhentinya wahyu tersebut, bahwa Rasulullah bersabda: 

بَيْنَا أَنَا أَمْشِي إِذْ سَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ السَّمَاءِ فَرَفَعْتُ بَصَرِي فَإِذَا الْمَلَكُ الَّذِي جَاءَنِي بِحِرَاءٍ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَرُعِبْتُ مِنْهُ فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ إِلَى قَوْلِهِ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

“Ketika aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari atas, maka aku lihat ada malaikat yg pernah datang kepadaku di gua Hira, sedang duduk di atas kursi di antara langit dan bumi, maka takutlah aku padanya. Lalu aku pulang seraya berkata, “Selimutilah aku!” Lalu turunlah wahyu: 

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنذِرْ. وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ. وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ. وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

Wahai orang yg berselimut! Bangunlah, lalu berilah (manusia) peringatan, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu sucikanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah!” (QS. al-Muddatsir, 74 :1-5). 

Setelah itu, wahyu pun turun terus-menerus.” (HR. Bukhari: 02, Muslim: 232). Pada wahyu yg kedua inilah, di usianya yg keempat puluh tahun, Muhammad diangkat sebagai Rasul, utusan Tuhan buat membenahi tatanan umat manusia secara keseluruhan. Dalam hadits lainnya, diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin ra., bahwa Harits bin Hisyam r.a. telah bertanya kepada Rasulullah Katanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana cara wahyu datang kepada engkau?” Beliau menjawab:

أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِي الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فِي الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا

“Kadang-kadang wahyu datang kepadaku seperti suara lonceng, itulah yg paling berat bagiku. Kemudian ia berhenti, dan aku telah mengerti apa yg dikatakannya. Kadang-kadang malaikat datang kepadaku sebagai laki-laki, lalu ia berkata, maka aku mengerti apa yg diucapkannya.” Aisyah r.a. berkata: “Sungguh saya melihat wahyu turun kepada Nabi pada hari yg sangat dmau, lalu wahyu itu berhenti, dari kening beliau mengalir keringat.” (HR. Bukhari: 02, Muslim: 4304).

Yang dimaksud dgn ungkapan “seperti suara lonceng” ialah seperti bunyi lonceng besi yg gemerincing terdengar terus-menerus, bunyi yg bukan perkataan yg tersusun dari huruf-huruf. Wahyu melalui bentuk seperti ini, menunjukkan – menurut pendapat yg paling kuat – hadirnya malaikat. Dan kehadiran malaikat (yg menyampaikan wahyu) semacam inilah yg paling berat dirasakan Nabi dibanding kehadirannya dalam bentuk lain (sebagai seorang pria). Hal ini dapat dimengerti, sebab – sebagaimana dijelaskan oleh Filosof Ibnu Khaldun – pada saat itu terjadi suatu proses di mana kemanusiaan (Nabi) yg bersifat materi (jasmaniyah) lepas terkelupas sama sekali buat kontak dgn alam malaikat yg bersifat rohani (ruhaniyah).(Rasyid Ridha, 1984: 185). Orang-orang yg pertama kali masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun); Dari kalangan perempuan ialah istri Nabi sendiri yaitu Khadijah binti Khuwailid, dari kalangan pemuda yaitu Ali bin Abi Thalib, sedangkan dari kalangan pria dewasa ialah Abu Bakar bin Abi Quhafa, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Zubair bin Awwam, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, dan masih banyak lagi yg lain, dari penduduk Makkah yg memeluk Islam. Mereka memilih Islam sebagai jalan hidup dgn tulus dan ikhlas. 

Hari demi hari, dari waktu ke waktu, pengikut Nabi bertambah banyak. Mereka yg telah Islam itu datang kepada beliau buat menyatakan keislaman mereka sekaligus siap menerima ajaran-ajarannya. Gerak-gerik mereka itu tercium oleh kaum Quraisy yg ketika itu memegang otoritas penuh sebagai suku yg berkuasa di Makkah. Lebih-lebih setelah diketahui bahwa para pengikut Muhammad itu sangat membenci berhala-berhala dan dewa-dewa yg mereka sembah. Akhirnya, kaum paganisme ini mengobarkan api permusuhan kepada siapa saja yg masuk Islam. Akan tetapi, tumbuhnya agama Islam di perbukitan kota Makkah tak dapat dibendung. Keimanan yg teguh dan keyakinan yg kuat menjadikan para pengikut Rasulullah rela berkorban demi mempertahankan agamanya. Hal itu membuat kaum musyrik Quraisy semakin membenci Muhammad dan ajarannya. Mereka mengira bahwa kata-kata Muhammad itu tak lebih dari kata-kata pendeta atau filosof seperti Quss, Umayya, Waraqa, dan yg lain. Mereka sama sekali tak menghiraukannya. 

Tiga tahun kemudian setelah kerasulannya, perintah Allah datang supaya Muhammad mengumumkan ajaran Islam yg masih disebarkan secara sembunyi-bunyi itu, bersamaan dgn turunnya wahyu:

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ (214) وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (215) فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تَعْمَلُونَ

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yg terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yg mengikutimu, yaitu orang-orang yg beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: “Sesungguhnya aku tak bertanggung jawab terhadap apa yg kamu kerjakan”. (QS. al-Syu’ara, 26: 214-216)

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yg diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yg musyrik.” (QS. al-Hijr, 15: 94)

 

Salah satu faktor yg mendongkrak perkembangan agama Islam secara pesat ini ialah keteledanan dari Nabi sendiri. Beliau sosok yg berbaik hati dan penuh kasih sayg. Beliau sangat rendah hati, berani membela yg benar, dan berperilaku sopan santun kepada sesamanya. Tutur kata beliau lemah lembut, selalu jujur dan berlaku adil kepada setiap orang. Tidak ada hak orang lain yg beliau langgar. Pandangan beliau terhadap orang yg lemah, miskin, papa, dan anak-anak yatim piatu, ialah bagaikan pandangan seorang bapak kepada anaknya sendiri yg penuh kasih sayg, lemah lembut, dan mesra. Itu semua menjadikan grand point buat beliau dalam menjalankan misinya. (Husein Haikal, 1984:94-102).

Dr. KH. Zakky Mubarak, MA, Rais Syuriyah PBNU





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.