Jika didapati salah satu cacat, penyakit, atau sebab lainnya setelah menikah, baik pada istri maupun pada suami, baik setelah hubungan badan maupun belum, baik cacat yg menghalangi hubungan badan maupun yg tak, maka ada hak fasakh bagi keduanya, dgn catatan fasakh dilakukan di hadapan hakim atau diputuskan oleh hakim.
Jika ada pasangan yg sepakat buat memfasakh pernikahannya tanpa hakim maka fasakhnya tak tercapai, terutama fasakh yg disebabkan oleh cacat, penyakit, atau sebab yg membutuhkan pertimbangan hakim dan juga tim medis.
Demikian yg dijelaskan oleh Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam Kitab I‘anatuth Thalibin.
إنما ÙŠØµØ Ø§Ù„Ø®ÙŠØ§Ø± Ùورا ÙÙŠ Ùسخ Ø§Ù„Ù†ÙƒØ§Ø Ø¥Ù† كان Øاصلا بØضور الØاكم، وذلك لأن الÙسخ بالعيوب المذكورة أمر مجتهد Ùيه كالÙسخ بإعسار Ùتوق٠ثبوتها على مزيد نظر واجتهاد، وهو لا يكون إلا من الØاكم Ùلو تراضيا بالÙسخ بها من غير Øاكم لم ينÙØ°
Artinya, “Khiyar dalam fasakh nikah hanya sah bila dihadiri oleh penguasa (hakim). Pasalnya, fasakh sebab cacat-cacat tersebut di atas merupakan perkara ijtihadi. Begitu pula fasakh yg terjadi sebab kesulitan memberi nafkah. Maka penetapannya membutuhkan pandangan dan ijtihad lebih jauh. Walhasil, tak sah fasakh kecuali atas putusan hakim. Sehingga seandainya suami-istri sepakat buat fasakh sebab suatu cacat tanpa hakim maka tetap tak terlaksana,†(Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha, I‘anatuth Thalibin, jilid III, halaman 383).
Lain halnya fasakh yg diakibatkan oleh sebab yg jelas. Ia dapat dilakukan tanpa melalui keputusan hakim. Contohnya fasakh sebab ada hubungan mahram antara kedua mempelai. Hal ini ditegaskan dalam pendapat Syekh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah. (Lihat Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid II, halaman 115).
Demikian halnya fasakh boleh dilakukan tanpa hakim ketika syarat fasakh diajukan sewaktu akad. Namun, bila disyaratkan sebelum akad, fasakh harus di hadapan hakim.
ويجوز لكل من الزوجين خيار بخل٠شرط وقع ÙÙŠ العقد لا قبله كأن شرط ÙÙŠ Ø£Øد الزوجين Øرية أو نسب أو جمال أو يسار أو بكارة أو شباب أو سلامة من عيوب كزوجتك بشرط أنها بكر أو Øرة مثلا Ùإن بان أدنى مما شرط Ùله Ùسخ ولو بلا قاض
Artinya, “Diperbolehkan bagi suami atau istri mengambil hak khiyar (fasakh) yg diikuti dgn syarat sewaktu akad, bukan sebelum akad. Seperti halnya disyaratkan pada salah seorang suami atau istri harus merdeka, berketurunan terpandang, berparas cantik atau tampan, berasal dari kalangan berada, masih perawan atau masih perjaka, atau selamat dari cacat. Saat akad, si wali mengatakan, ‘Aku nikahkan engkau dgn syarat dia masih perawan atau merdeka,’ misalnya. Maka bila terbukti si perempuan tak memenuhi syarat, maka suami boleh memfasakh nikahnya walaupun tanpa hakim.†(Lihat Syekh Zainudddin Al-Malaibari, Fathul Mu‘in, halaman 106).
Hanya saja ada pengecualian dalam cacat lemah syahwat. Jika cacat itu terjadi setelah hubungan badan, kemudian terjadi fasakh, maka hak istri berupa mahar menjadi gugur sebab telah tercapainya tujuan pernikahan, yaitu hubungan badan.
Begitu pula bila cacat yg dialami istri memungkinkan buat dihilangkan, seperti dgn proses operasi, dan ia rela dgn proses itu, maka tak ada hak fasakh bagi suaminya. Sebab, tak ada alasan kuat yg membolehkannya buat fasakh.Â
Selain itu, sejak penyakit lemah syahwat ditetapkan oleh hakim berdasarkan pengakuan suami atau sumpah istri, maka hakim harus memberikan tempo selama satu tahun qamariyah guna memberikan kemungkinan sembuhnya penyakit tersebut seiring perjalanan musim dan waktu. Jika sembuh, maka fasakh batal. Jika tak, maka fasakh dijatuhkan.Â
Kemudian, bila ada pasangan yg telah mengetahui cacat atau penyakit pasangannya, namun ia tetap diam dan tak segera mengajukan fasakh, maka hak fasakhnya gugur kecuali bila ia tak tahu bahwa ada hak fasakh yg diberikan kepada dirinya.
Demikian sejumlah ketentuan yg harus dipenuhi dalam mengambil hak fasakh, baik oleh suami maupun oleh istri. Wallahu a’lam.
Ustadz M Tatam Wijaya, alumni Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin†Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.