sembilan Bentuk Pernikahan Batal alias Tidak Sah

Layaknya akad-akad yg lain, pernikahan dapat jadi tak sah (batal dan rusak) bilamana tak memenuhi syarat dan rukunnya. Dalam kaitan ini, Syekh Wahbah ibn Mushthafa al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu telah menguraikannya kepada kita semua berdasarkan beberapa pendapat. Namun, mengingat keterbatasan ruang, yg mau diuraikan di sini hanyalah pernikahan batal menurut para ulama Syafi‘iyah saja.

 

Dijelaskan al-Zuhaili, yg dimaksud pernikahan batal ialah pernikahan yg tak memenuhi rukun. Sedangkan pernikahan rusak ialah pernikahan yg tak memenuhi syarat. Namun, baik yg batal maupun yg rusak, oleh para ulama Syafi’iyah, hukumnya tak dibedakan. Karenanya, tak mengherankan bila jumlah bentuk pernikahan batal ini cukup banyak dan berbeda jumlahnya dgn pendapat mazhab lain.

 

Selain itu, menurut ulama Syafi’iyah, dalam pernikahan yg batal ini tak ada konsekuensi apa pun layaknya pernikahan yg sah, seperti mahar, nafkah, mahram pernikahan, nasab, atau iddah (lihat: al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, [Darul Fikr: Damaskus] jilid 9, hal. 6613).

 

Ada beberapa bentuk pernikahan batal menurut mazhab ini, namun yg paling utama, ungkap al-Zuhaili, ada sembilan.

 

Pertama, pernikahan syighar. Sebagaimana yg pernah disampaikan, pernikahan syighar ialah pernikahan di mana seorang laki-laki menikahkan putri atau saudari perempuannya dgn laki-laki lain dgn mahar, dirinya dinikahkan dgn putri laki-laki lain tersebut. Contohnya ungkapan akadnya, “Aku nikahkan engkau dgn putriku dgn mahar engkau menikahkanku dgn putrimu.”

 

Akad ini tak sah sebab ada gabungan dua akad dan menjadikan akad masing-masing sebagai maharnya. Artinya, bila keduanya tak menggabungkan dua akad dan tak menjadikan akad masing-masing sebagai maharnya, maka pernikahannya sah. Ketaksahan pernikahan ini berdasarkan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” Larangan ini berimplikasi pada rusaknya perkara yg dilarang.

 

Kedua, pernikahan mut‘ah. Pernikahan mut‘ah ialah pernikahan yg dibatasi oleh waktu tertentu, baik sebentar maupun lama. Contohnya ungkapan laki-laki kepada istri yg mau dinikahinya, “Aku menikahimu selama satu bulan,” atau, “Aku menikahimu hingga selesai kuliah,” atau “Aku menikahimu sampai aku mencampurimu, hingga engkau halal bagi suami yg telah menalakmu dgn talak tiga.” Mestinya, akad pernikahan dilakukan secara mutlak—tanpa ikatan waktu—dan ditujukan buat selama-lamanya atau hingga terjadi perceraian yg tak dipersyaratkan sejak akad.

 

Ketiga, pernikahan orang ihram. Tidak sah pernikahan yg dilakukan oleh orang yg sedang ihram, baik uhram haji, ihram umrah, atau ihram keduanya, baik dgn akad yg sah maupun dgn akad yg rusak, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Orang yg ihram tak boleh menikah dan tak boleh dinikahkan.” Namun, selain menikah, orang yg sedang ihram boleh melakukan rujuk atau menjadi saksi pernikahan. Pasalnya, rujuk ialah melanjutkan perkawinan, bukan mengawali perkawinan.

 

Keempat, pernikahan dgn beberapa akad, dimana dua orang wali menikahkan satu orang perempuan dgn dua orang laki-laki. Tidak diketahui secara pasti siapa yg akadnya lebih dahulu. Jika salah seorang laki-laki itu menggaulinya, maka wajib baginya mahar mitsli. Jika keduanya menggaulinya, maka si perempuan berhak mahar mitsil dari keduanya. Pertanyaannya, bagaimana bila diketahui akad yg dilakukan lebih dahulu, maka akad itu yg sah.

 

Kelima, pernikahan perempuan yg beriddah dan sedang istibra dari mantan suaminya walaupun dari hasil senggama syubhat. Jika laki-laki yg menikahi perempuan beriddah itu menggaulinya, maka ia harus dijatuhi hukuman (had) kecuali bila ia tak mengetahui status keharaman menikahi dgn perempuan beriddah dan sedang istibra. Orang yg tak tahu harus dimaafkan, terlebih bila ia awal-awal masuk Islam atau jauh dari para ulama.

 

Keenam, pernikahan dgn perempuan yg ragu mau kehamilannya sebelum habis masa iddah. Sehingga, haram menikahi perempuan yg seperti itu hingga keraguannya hilang, meskipun masa iddah dgn 3 kali quru (masa suci) telah habis. Keharaman ini lahir dari keraguan tadi. Demikian pula siapa pun yg menikahi perempuan yg diduga masih masa iddah atau sedang istibra dari kehamilan, atau sedang ihram haji dan umrah, atau sebab salah satu mahram, namun ternyata sebaliknya, maka nikahnya batil sebab ragu mau kehalalannya.

 

Ketujuh, pernikahan seorang Muslim dgn perempuan non-Muslim selain Kitabiyyah (ahli kitab) asli, seperti perempuan penyembah berhala, penyembah api (majusi), penyembah matahari, atau perempuan murtad, atau perempuan kitabiyyah tak murni seperti keturunan antara kitabi dan majusi atau sebaliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah, Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, (QS al-Baqarah [2]: 221).

 

Maksud perempuan Kitabiyyah ialah perempuan Yahudi dan Nasrani. Perempuan Yahudi boleh dinikah dgn catatan asal-usul agama Yahudinya tak termasuk ke dalam agama Yahudi setelah di-mansukh. Sementara perempuan Nasrani boleh dinikah bila diketahui asal-usul agama Nasrani-nya masuk ke dalam agama Nasrani sebelum di-mansukh, walaupun setelah terjadi perubahan selama mereka berusaha menjauhi ajaran-ajaran yg diubah tersebut.

 

Dasar kebolehan menikahi keduanya ialah firman Allah, (Dan dihalalkan mangawini) wanita yg menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yg beriman dan wanita-wanita yg menjaga kehormatan di antara orang-orang yg diberi Al-Kitab sebelum kamu, (QS al-Maidah [5]: 5). Maksud kitab yg diberikan kepada mereka ialah Taurat dan Injil, namun tak termasuk kitab-kitab lain, seperti suhuf Nabi Syits, suhuf Nabi Idris, atau suhuf Nabi Ibrahim a.s.

 

Kedelapan, pernikahan dgn perempuan yg pindah dari satu agama kepada agama lain. Singkatnya, ia tak boleh dinikah. Singkatnya, tak boleh diterima agamanya kecuali agama Islam.

 

Kesembilan, pernikahan seorang Muslimah dgn laki-laki non-Muslim atau pernikahan perempuan yg murtad dgn laki-laki Muslim. Atas dasar ijmak ulama, tak boleh seorang Muslimah menikah dgn laki-laki non-Muslim, sebagaimana dalam Al-Quran, Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dgn wanita-wanita mukmin), (QS al-Baqarah [2]: 221).

 

Bagaimana, bila salah seorang dari suami atau istri ada yg murtad sebelum bergaul suami istri, maka batallah pernikahannya. Adapun setelah bergaul suamiistri, maka harus ditunggu. Jika mereka dipersatukan kembali oleh Islam selama masa iddah, maka langgenglah pernikahnnya. Namun bila tak, pernikahannya terputus.

 

Selain pernikahan yg batal, ada lagi pernikahan yg makruh, yaitu pernikahan atas perempuan yg telah dilamar orang lain dan pernikahan muhallil dgn niat menghalalkan perempuan yg telah ditalak tiga tanpa ada syarat harus talak sewaktu akad. Namun, bila pernikahannya dgn syarat, seperti syarat setelah istrinya dicampuri harus ditalak, maka pernikahannya menjadi batal.

 

Demikian pernikahan-pernikahan yg batal, rusak, dan makruh dalam pandangan Syafi‘iyyah sebagaimana dikutip oleh Syekh al-Zuhaili. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

 

 

Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja, Sukabumi; Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.