Situasi Ketakutan & Kedekatan dgn Allah

Jatuhnya Pesawat Lion Air JT610 rute Jakarta-Pangkal Pinang tentu menyisakan perasaan duka yg sangat mendalam bagi kita semua, terutama bagi mereka yg anggota keluarganya menjadi korban dalam kecelakaan. Bukan hanya duka, tapi juga menyisakan sayatan luka dalam jiwa sebab secara mendadak kehilangan orang-orang tercinta.

Beberapa hari sebelum kecelakaan itu terjadi, saya bersama beberapa kawan terbang dari Jakarta ke Yogyakarta. Esoknya kembali dari Yogyakarta ke Jakarta. Dalam perjalanan tersebut, saya merasakan takut yg lebih dari biasanya. Sejak pesawat bergerak meninggalkan bumi, perasaan takut itu semakin besar. Perasaan takut yg lebih dari biasanya itu terjadi sebab sebelumnya telah terbersit dalam pikiran saya bahwa dalam beberapa hari ini mau ada kecelakaan pesawat terbang. Baygkan!

Dalam keadaaan takut seperti itu, saya yakin anda dapat menebak apa yg ada dalam hati dan pikiran saya. Pasti doa. Berharap Tuhan melindungi perjalanan kami. Menyebut nama-Nya dalam hati dan dan pikiran.

Di atas udara, dalam burung besi, dgn ketinggingan 30.000 kaki atau lebih, tentu kita merasa rapuh. Tak ada yg dapat kita andalkan buat keselamatan, selain Tuhan. Dalam keadaan seperti itu, setiap orang, apapun agamanya, pasti merasakan kertergantungan yg sangat besar kepada Dia.

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

Artinya, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.’ (Kami lakukan yg demikian itu) supaya di hari kiamat kalian tak mau mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) ialah orang-orang yg lupa terhadap ini (ketergantungan kepada Tuhan).’” (Surat Al-A’raf ayat 172).

Ayat di atas menegaskan bahwa pada dimensi tertentu (pra-eksistensi), setiap jiwa kita telah berikrar dan bersaksi bahwa “Engkau ialah Tuhan Kami.” Inilah ikrar primordial yg paling dalam. Ada dalam lubuk jiwa setiap manusia.

Karena kenyamanan dan kesibukan duniawi, manusia sering lupa pada ikrar dan kesaksian tersebut. Butuh keadaan tertentu supaya kita mampu menemukan kembali ikrar itu yg kemudian menjadi kesadaran mau kerapuhan kita dan kekuatan Tuhan. Kita menjadi sangat bergantung pada-Nya. Kita menjadi begitu dekat dgn-Nya. 

Dalam keadaan turbulensi di dalam pesawat, semua orang pasti memanggil nama-Nya, bukan memanggil pilot atau pramugari.  Perasaan ketergantungan inilah yg sebenarnya dikembangkan dan dirawat oleh para sufi.

Meski dalam keadaaan aman dan nyaman, para sufi selalu berusaha mengembangkan kesadaran jiwa mau ketergantungan pada-Nya. “Aku butuh Engkau. Engkaulah penyelamatku. Tidak ada yg dapat melindungi aku selain Engkau. Engkau, Engkau, dan Engkau.” Dekat sekali.

Ibnu Athaillah, dalam Al-Hikam-nya, pernah berkata, “Orang-orang bijak bestari selalu merawat rasa butuh dan tergantung pada Tuhan. Mereka tak merasa tenang bila tak bersandar kepada-Nya. Sebaik-baik waktu dalam episode kehidupan ini ialah ketika menyadari kekurangan, kelemahan, kerapuhan, kebutuhaan, dan kerendahanmu.”

Kesadaran seperti inilah yg melahirkan kebijaksaanaan dan kearifan seseorang. Semakin kau dekat dgn Tuhan, semakin arif dan bijak sikapmu terhadap lingkungan sekitar.

Setelah turun dari pesawat, saya berkelakar kepada kawan yg duduk di samping, “Kalau kita mau cepat jadi waliyullah, kekasih Allah, dekat dgn Allah, kita harus sering-sering naik pesawat. Kalau perlu, sehari dua kali penerbangan dalam seminggu.”

Kawan itu berkata, “Ah, yg bener aje ente?”

Saya jawab, “Bukankah dalam penerbangan tadi ane lihat wajah ente pucet. Ente kagak ngomong sepatah kata pun, padahal sebelum masuk pesawat, ente cerewet banget. Apaan aja ente ceritain. Di balik diam dan pucet wajah ente, ane yakin ente pasti nyebut ‘Allah, Allah, dan Allah.’”

Dia tertawa lebar sambil berkata, “Bisa aje ente.” Wallahu a‘lam. (Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta KH Taufiq Damas).





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.