Status Utang Negara dalam Hukum Islam

Assalamu alaikum wr. wb.
Perkenalkan nama saya Arif Isnaeni. Saya seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Saya mau menanyakan, apakah utang negara (Indonesia) dapat menjadi tanggungan saya apabila saya meninggal dunia? Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda,

نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ

Artinya, “Jiwa seorang mukmin itu tergantung sebab utangnya sampai utangnya dilunasi.”

Sebagai catatan tambahan, saya bukanlah orang yg memiliki kewenangan dalam mengatur APBN, dan bukan juga orang yg dapat mengatur jumlah utang luar negeri. Terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb. (Arif Isnaeni)

Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yg budiman, semoga selalu Allah SWT menurunkan rahmat-Nya buat kita semua. Dari deskripsi masalah yg kami baca, maka dalam benak pikiran kami setaknya ada dua pertanyaan. Pertama menygkut utang negara, apakah ia menjadi tanggung jawab warga negara secara pribadi atau tak? Kedua, terkait soal makna dari hadits yg ditanyakan.

Dalam kesempatan ini kami mau mencoba menjawab yg pertama terlebih dahulu. Kemudian bila memungkinkan kami mau lanjutkan ke penjelasan makna hadits yg dikutip oleh penanya yg telah kami sebutkan.

Persoaalan utang-piutang ialah persoalan yg sangat serius dan tak main-main sebab berdampak bukan hanya di dunia tetapi sampai ke akhirat. Aturan main mengenai persoalan utang-piutang dapat kita lacak dalam Surat Al-Baqarah ayat 282.

Ketika kebutuhan negara yg besar tak dapat dipenuhi dgn pemasukan yg ada, maka kebijakan yg dapat dilakukan pemerintah ialah dgn melakukan penghematan di sana-sini. Namun bila ternyata masih belum menyelesaikan persoalan dan tak ada jalan lain kecuali dgn berutang, maka dalam konteks ini pemerintah dapat melakukan utang.

Kebijakan pemerintah berutang tentunya harus didasarkan pada kemaslahatan rakyat. Sebab, pemerintah sebagai pelaksana wewenang negara ialah wakil rakyat. Ini sejalan dgn kaidah fikih yg menyatakan,

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Artinya, “Bahwa kebijakan pemerintah bagi rakyatnya harus mengacu pada kemaslahatan,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha`ir, Mesir, Maktabatut Tijariyyah, halaman 107).

Karena itu ialah utang negara dan ditasarufkan buat kepentingan atau kemasalahat rakyat banyak, maka pihak yg bertanggung jawab ialah negara dgn dana kas negara. Namun bagaimana dgn hasil utang negara yg dikorup oleh pejabat tertentu?

Dalam kasus yg kedua ini, negara yg membayarnya dgn dana yg ditarik kembali dari orang-orang yg mengkorupnya. Demikian sebagaimana yg telah diputuskan Munas Alim Ulama NU di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, 25-28 Juli 2002/14-17 Rabiul Akhir 1423.

Sedangkan mengenai hadits yg disebutkan oleh penanya di atas, menurut Izzuddin Abdussalam ialah bahwa pengertian ‘tergantung’ ada dua macam. Pertama, tergantung dgn hukuman dan siksaan. Dalam konteks pertama ini, tak berlaku bagi orang Muslim sepanjang ia tak melakukan dosa dgn berhutang dan penundaan pelunasannya.

Kedua, dirinya tergatung dgn utang tersebut, dalam pengertian pahala amal kebabilannya “disita” buat mengganti utang-utangnya dalam hal yg mubah, seperti ia menjual rumah dan budaknya (buat melunasi hutang), dan dia tak berdosa.

وَأَمَّا قَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ. فَالتَّعَلُّقُ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا أَنْ يَتَعَلَّقَ تَعَلُّقَ عِقَابٍ وَمُؤَاخَذَةٍ، فَهَذَا لَا تَجْرِي فِيْ حَقِّ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ اْلإِسْلاَمِ إِذَا لَمْ يَأْثَمْ بِاْلاقْتِرَاضِ وَلاَ بِالْمَطَالِ، وَهَذَا مُحَالٌ أَنْ يُوْجَدَ فِيْ حَقِّ النَّبِيِّ، فَإِنَّهُ لَا يَقْتَرِضُ إِلاَّ فِيْ طَاعَةٍ أَوْ مُبَاحٍ. الثَّانِي أَنْ تَعَلَّقَ نَفْسُهُ بِدَيْنِهِ بِأَنْ تُؤْخَذَ مِنْ حَسَنَاتِهِ مَكَانَ مَا أَخَذَ مِنَ الدُّيُوْنِ الْمُبَاحَةِ، كَمَا بَاعَ فِي الدُّنْيَا مَسْكَنَهُ وَخَادِمَهُ مَعَ أَنَّهُ لَا إِثْمَ عَلَيْهِ

Artinya, “Adapun sabda Nabi Saw, “Diri seorang mukmin tergantung dgn utangnya sampai dilunasi.” Pengertian tergantung di situ terdiri atas dua macam. Pertama, tergantung dgn hukuman dan siksaan. Yang demikian ini tak berlaku pada seorang Muslim pun, ketika ia tak berdosa dgn utang dan menunda pelunasannya. Yang seperti ini mustahil terjadi pada pribadi Nabi SAW, sebab beliau tak berutang kecuali buat ketaatan atau sesuatu yg mubah. Kedua, dirinya tergantung dgn utang tersebut. Dalam arti pahala-pahala amal kebaikannya diambil buat mengganti utang-utangnya dalam hal-hal yg mubah, sebagaimana ketika di dunia ia menjual rumah dan budaknya (buat melunasi utang), dan dia tak berdosa,” (Lihat Izzuddin Abdussalam, Al-Fatawa, Beirut, Darul Ma’rifah, halaman 104).

Demikian jawaban yg dapat kami kemukakan. Semoga dapat dipahami dgn baik. Kami selalu terbuka buat menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

(Mahbub Maafi Ramdlan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.