Tafsir QS al-Baqarah 165: Perihal Mempertuhankan Selain Allah

Berikut ini ialah bunyi surat al-Baqaarah ayat 165:

 

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِۗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِۙ وَلَوْ يَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَۙ اَنَّ الْقُوَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًاۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعَذَابِ (البقرة:١٦٥)

 

Artinya: “Di antara manusia ada yg menjadikan (sesuatu) selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi-Nya) yg mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yg beriman sangat kuat cinta mereka kepada Allah. Sekiranya orang-orang yg berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat keras azab-Nya, (niscaya mereka menyesal)” (QS al-Baqarah: 165).

 

Ragam Pandangan Ulama Tafsir

Ada beberapa pokok penafsiran di dalam ayat ini. Tulisan ini mau merujuk kepada beberapa pendapat ahli dari kitab tafsir, dgn sejumlah penjelesan yg merupakan ulasan atau elaborasi penulis.

 

Pertama, pernyataan ayat wa minan-nâsi menunjukkan bahwa ayat ini diturunkan di Makkah (makkiyah). Hal ini bila kita merujuk kepada teori khitab (sasaran pembicaraan) atau dapat disebut juga kajian wacana yg diperkenalkan oleh Dr. Shubhi Shalih. Demikian pula bila kita melihat konteks ayat Al-Baqarah ayat 165 ini, semuanya ialah membicarakan watak orang-orang kafir Makkah.

 

Objek dakwah nabi Muhammad pada dasarnya selama 13 tahun di Makkah ialah kepada orang-orang kafir penyembah berhala. Dan sama sekali bukanlah kepada masyarakat monotheisme Yahudi dan Nasrani, yg diakui atau tak memiliki akar teologis yg sama yakni dari kakek bernama Ibrahim. Khitab dari ayat ini ialah masyarakat pagan quraisy. Hal ini semakin jelas bila kita melihat poin kedua berikut ini. Pembahasan mengenai hubungan Islam dan Ahlul Kitab mungkin membutuhkan tempatnya tersendiri.

 

Kedua, penafsiran pernyataan ayat yattakhidu min dûnil-Lâhi andâdan. Andâdan merupakan bentuk jamak (plural) dari kata naddun yg di dalam Mu’jam Al-Washith diartikan sebagai perumpamaan (al-mitslu) atau pembanding (an-nadhir). (Mu’jam Al-Washith: 910). Demikian ini seperti ketika kita merujuk kepada QS Al-Baqarah:22 yg menyatakan:

 

فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ أَنْدَادًا

 

Artinya, “Dan janganlah kalian menjadikan bagi Allah perumpamaan.”

 

Demikian pula penerjemahan dari Ats-Tsa’labi di dalam tafsirnya Jawahir al-Hisan yg menyatakan an-naddu sebagai:

 

النظير والمقاوم

 

Yang kiranya dapat diterjemahkan sebagai ‘pengejewantahan Tuhan.’

 

Namun demikian, secara kesejarahan kiranya ialah suatu langkah yg tak tepat bila kita menyimpulkan bahwa masyarakat pagan Arab menjadikan berhala sebagai pengejewantahan atau perumpamaan Allah di dunia. Hal ini disebabkan dalam sejarahnya, Amr bin Luhai ketika Bani Khuza’ah menguasai Makkah, ia kemudian menjadi orang Makkah pertama yg meninggalkan agama Ibrahim dan beralih menyembah berhala yg dibelinya dari Syiria. Saat itu ia mendapat banyak tentangan dari masyarakat, meskipun ia kemudian berhasil memaksakan kehendaknya buat membuat masyarakat Arab menjadi masyarakat pagan. Namun demikian, penafsiran mengenai kata andâdan dalam QS al-Baqarah terdapat berapa penafsir yg menerjemahkan demikian (menafsirkan kata tersebut sebagai berhala).

 

Jika kita meninjau beberapa pendapat penafsir, maka kita melihat kata andâdan ini diinterpretasikan ke dalam setaknya 3 (tiga) makna. Dalam hal ini penulis meninjau kepada beberapa kitab tafsir, seperti: (a) kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi; (b) kitab Ad-Durr al-Mantsur karya Jalaluddin As-Suyuthi; dan (c) kitab Jawahir al-Hisan karya Ats-Tsa’labi; (d) Tafsir al-Qurthubi; (e) Tafsir at-Thabari; (f) Tafsir Ibnu Abbas; (g) Tafsir Ibnu Arabi; dan (h) Tafsir Ibnu Katsir. Ketiga makna tersebut ialah sebagai berikut ini:

 

  1. Berhala. Jika demikian maka terjemahan dari ayat di atas ialah: “di antara manusia, terdapat orang yg menjadikan berhala sebagai Tuhan selain Allah.” Hal ini seperti dalam penafisran Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain. Demikian pula penafsiran yg diambil oleh Ats-Tsa’labi dari riwayat Qatadah dan Mujahid. Demikian pula penafsiran Al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Ibnu Abbas di dalam tafsirnya juga berpendapat demikian.

 

  1. Pemimpin. Jika saja demikian, maka terjemahan ayat ini ialah: “di antara manusia, teradapat orang yg menjadikan pemimpin, selain Allah.” Hal ini sebagaimana riwayat yg datang dari Ibnu Jarir dari As-Sayyid yg dikutip oleh As-Suyuthi dalam kitabnya Ad-Durr Al-Mantsur.

 

  1. Segala sesuatu yg dipertuhankan. Jika saja menurut penafsiran ini, maka terjemahan ayat di atas ialah: “di antara manusia, terdapat orang yg menjadikan mempertuhankan sesuatu yg lain selain Allah.” Di dalam bahasa para penafsir, hal ini diungkapkan dalam bahasa yg berbeda-beda. As-Suyuthi mengungkapkannya sebagai: ‘as-syurakaa’ (para sekutu). Ibnu Katsir mengungkapkannya sebagai amtsâlan wa nadzrâ’an (perumpamaan). At-Thabari menerjemahkan sebagai ‘al-‘adl’ (tandingan). Ibnu Arabi, sebagai penafsir bercorak tasawuf, bahkan menafsirkan secara lebih eksplisit:

 

أي من يعبد من دون الله أشياء إما أناسي من جنسهم كالأزواج والأولاد والآباء والأجداد والإخوان والأحباب والرؤساء والملوك وغيرهم. وإما غير أناسي كالحيوانات والجمادات وسائر أموالهم بالإقبال عليهم والتوجه نحوهم ومراعاتهم وحفظهم والإهتمام بهم وبحالهم والتفكر في بابهم

 

Artinya: “Yakni siapa pun (sesuatu) dari selain Allah, baik berupa sebangsa manusia dari jenis mereka seperti istri, anak-anak, para tetua, nenek moyg, sahabat, penggemar, para pemimpin, para raja, dan sebagainya. Bisa juga berupa selain sebangsa manusia seperti hewan-hewan, benda-benda, dan segala harta benda mereka. Di mana mereka menerima atas itu semua, sibuk menghadapi dan merawatnya. Mementingkan urusan dan keadaan itu semua dan selalu memikirkan masalah itu semua.”

 

Catatan Reflektif

Dalam berbagai penafsiran di atas, kita melihat bahwa berbagai penafsiran itu telah membawa coraknya masing-masing. Penafsiran kata andâdan sebagai ‘berhala’ kiranya sekarang telah tak ada. Meskipun kita masih menemui beberapa kalangan yg melarang berdoa di lingkungan pekuburan dgn alasan ‘sama seperti menyembah kuburan’, dan ini dilarang sebagaimana dilarangnya orang jahiliyah menyembah berhala. Penulis melihat ini sebagai suatu penafsiran yg cocok dan pas dari segi konteks masa itu.

 

Penafsiran kata andâdan sebagai pemimpin. Hal ini kiranya sangat sesuai dgn kondisi sosial masyarakat Arab ketika itu. Yaitu sikap fanatisme kesukuan bangsa Arab yg demikian kuat buat patuh kepada pemimpin kabilah atau suku mereka. Kita mengetahui bahwa kehidupan sosial masyarakat Arab ketika itu tersusun ke dalam struktur: kaluarga, kabilah, dan suku.

 

Tersirat juga bahwa penafsiran ini memberikan pesan supaya kita tak salah memilih pemimpin. Harus hati-hati dalam urusan mulai dari pemilihan kepada desa (pilkades), pemilihan kepala daerah (pilkada), maupun pemilihan presiden (pilpres). Tentu saja sebagaimana umumnya mereka yg lupa mau janjinya sebab majunya dalam pemilihan penuh ambisi, kiranya nanti dia juga mau lupa ketika kita meminta pertanggung-jawaban mereka mau dirinya. Bukankah ada yg bilang bahwa, sistem yg baik mengajak orang jahat menjadi baik, demikian pula sistem yg jahat mengajak orang baik menjadi jahat?

 

Dari kesemua penafsiran di atas, kiranya penafsiran ketiga ialah penafsiran yg paling baik dan cukup mendalam maknanya. Penafsiran kata andâdan sebagai ‘segala sesuatu yg dipertuhankan’ kiranya lebih lentur buat dibawa ke dalam semua zaman. Bukankah dikatakan bahwa ‘al-‘ibratu bi-umûm al-lafdzi laa bikhûsus as-sababi.’ Kita pun juga masih sering mempertuhankan yg lain selain Allah atau dipertuhankan oleh selainnya. Manusia modern demikian mengagungkan teknologi.

 

Adalah hal yg cukup baik dicontohkan dalam penjelasan Ibnu ‘Arabi. Yakni bahwa di antara para suami ada yg sebab begitu cintanya kepada istrinya lalu menuruti semua kemauan istrinya. Dengan demikian, secara langsung atau tak mereka telah diperbudak kecantikan istrinya itu. Demikian pula kenyataan masyarakat modern ketika seorang perempuan karier berpenghasilan lebih dari apa yg diberikan suaminya. Hasil riset Majalah Intisari beberapa tahun lalu menyatakan bahwa wanita sekarang lebih dominan ketimbang laki-laki dalam beberapa hal, seperti keuangan dan karier. Artinya, para perempuan pun dapat terbawa secara tak sadar buat bertindak lebih semaunya terhadap suaminya. Bukankah hal demikian ini menunjukkan bahwa perempuan telah menuhankan dirinya atas kaum lelaki?

 

Namun saygnya, penafisran sufistik semacam ini masih kurang disukai sebagian penafsir. Hal ini sebab mereka menilai penafsiran sufistik ini “tak mengikuti” metode tafsir yg telah ditetapkan. Salah satu penentang tafsir sufistik ini ialah seperti Ibnu Taimiyah. Sedangkan salah satu pendukungnya ialah seperti Imam Ad-Dzahabi seperti dijelaskan di dalam kitab At-Tafsir wa Al-Mufassirun.

 

Wallahu a’lam.

 

R. Ahmad Nur Kholis, Pegiat Kajian Ulum Al-Qur’an, Pengajar Mata Pelajaran Fiqih dan Ushul Fiqih di Pondok Pesantren PPAI Al-Fithriyah

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.