Ternyata Istri Sudah Tak Perawan, Bolehkah Pernikahan Dibatalkan?

Menikah dgn seorang gadis yg masih perawan (virgin) merupakan dambaan kebanyakan pria yg pertama kali menikah. Pertanyaannya, bagaimana bila setelah menikah, si pria baru mengetahui bahwa kekasih yg baru dinikahinya telah tak virgin. Bolehkah, ia membatalkan pernikahan dan menarik mahar yg telah diberikannya?

 

Jumhur ulama memang membolehkan pasangan yg menikah buat melakukan fasakh (pembatalan) nikah akibat penyakit akut, seperti lepra, tunagrahita, impotensi, cacat kemaluan si istri sebab tertutup daging atau tulang, dan sebagainya.

 

Baca selengkapnya: Beberapa Penyakit yg Bisa Membuat Pernikahan Dibatalkan

 

Namun, mereka berbeda pendapat mengenai keperawanan seorang perempuan. Apakah ketakperawanannya, baik sebab perzinaan atau sebab lain, dianggap sebuah cacat atau bukan. Imam al-Syafi‘i sendiri mengemukakan dalam al-Umm bahwa ketakkeperawanan perempuan bukan satu cacat yg membolehkah seorang suami menarik mahar atau membatalkan perkawinannya (khiyar fasakh). Hanya saja, secara tak langsung, ia memberikan khiyar lain, di mana suami boleh memilih, antara melanjutkan pernikahan atau mengakhirinya dgn talak.

 

لَوْ نَكَحَ امْرَأَةً لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهَا زَنَتْ فَعَلِمَ قَبْلَ دُخُولِهَا عَلَيْهِ أَنَّهَا زَنَتْ قَبْلَ نِكَاحِهِ أَوْ بَعْدَهُ لَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَخْذُ صَدَاقِهِ مِنْهَا وَلَا فَسْخُ نِكَاحِهَا وَكَانَ لَهُ إنْ شَاءَ أَنْ يُمْسِكَ وَإِنْ شَاءَ أَنْ يُطَلِّقَ

 

Artinya, “Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yg tak diketahui bahwa perempuan itu telah pernah berzina, tapi belakangan sebelum bergaul, sang suami tahu bahwa ia telah berzina sebelum atau setelah menikah, maka perempuan tersebut tak haram baginya. Selain itu si suami juga tak ada hak buat mengambil mahar darinya, tak pula ada hak fasakh baginya. Hanya saja, bila mau, si suami boleh meneruskan pernikahan, atau mencerainya,” (Al-Syafi‘i, al-Umm, [Beirut: Darul Ma‘rifah], 1990, cetakan pertama, jilid 5, hal. 13).

 

Sementara Ibnu Shalah, salah seorang ulama Syafi‘iyah, dalam Fatâwâ-nya menganggap hilangnya keperawanan sebelum akad dianggap sebuah cacat yg membolehkan suami membatalkan pernikahannya (fasakh).

 

إِذا تزوج امْرَأَة على أَنَّهَا بكر فَلم يكن فَفِي صِحَة النِّكَاح قَولَانِ أصَحهمَا أَنه يَصح وَللزَّوْج الْخِيَار

 

Artinya, “Jika ada laki-laki menikahi seorang perempuan sebab perempuan itu masih perawan, tapi ternyata telah tak, maka mengenai keabsahan pernikahannya ada dua pendapat. Namun, menurut pendapat yg paling kuat, pernikahannya tetap sah. Hanya saja, si suami memiliki hak khiyar fasakh.” (Lihat: Fatâwâ Ibn al-Shalah, [Maktabah al-‘Ulum: Beirut], cetakan pertama, 1407 H, jilid 2, hal. 660).

 

Pendapat Ibnu Shalah ini sejalan dgn pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal yg dikutip Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu. Bahkan, tak saja menetapkan hak fasakh, tetapi juga menetapkan ketiadaan mahar bagi si perempuan bilamana fasakh dilakukan sebelum bergaul.

 

يثبت خيار الفسخ بفوات الوصف المرغوب في عقد الزواج أيضاً، كمن يتزوج امرأة جميلة فيظهر أنها دميمة، أو على أنها متعلمة فإذا هي جاهلة، أو على أنها بكر فإذا هي ثيب فيثبت للزوج حق الفسخ، ولا مهر للمرأة إن حدث الفسخ قبل الدخول، أو بعد الدخول وكان التغرير من المرأة نفسها. فإن كان التغرير من غيرها رجع الزوج على ذلك الغير بما دفعه للمرأة

 

Artinya, “Hak faksakh juga ditetapkan akibat tak terpenuhinya kriteria yg dimaukan sewaktu akad. Contohnya, laki-laki yg mau menikah dgn perempuan cantik, tapi ternyata ia tak cantik. Atau, orang yg mau menikah dgn perempuan terpelajar, ternyata ia orang awam. Atau, orang yg mau menikah dgn perawan, ternyata ia seorang janda (tak perawan). Maka suami memiliki hak fasakh. Selain itu, si istri juga tak memiliki hak mahar bila fasakh dilakukan sebelum bergaul suami-istri, atau setelah bergaul tapi penyebab penipuan datang dari si perempuan sendiri. Sedangkan bila penipuan datang dari orang lain maka si suami boleh menarik apa yg diberikan kepada si perempuan melalui orang lain tersebut.

 

Kemudian bila dilakukan fasakh, maka fasakh-nya—menurut pendapat yg paling sahih—disyaratkan harus diajukan lebih dahulu kepada hakim (pengadilan), supaya hakim mengambil keputusan setelah menimbang perkaranya. Namun ada pula yg membolehkan fasakh tanpa melalui hakim, sebagaimana khiyar dalam jual-beli, terlebih bila keduanya telah merelakan fasakh sebab cacatnya jelas-jelas dianggap fatal dan membatalkan pernikahan (lihat: Hasyiyah Qalyubi, [Darul Fikr: Beirut], 1995, jilid 2, hal. 265).

 

Kendati sang suami memiliki hak khiyar (opsi) buat membatalkan pernikahan, tetapi hak itu dapat gugur bilamana dirinya meridhai kekurangan istrinya, sebagaimana yg dikemukakan Syekh Zakariya al-Anshari. “Siapa saja rela mau cacat atau kekurangan istrinya, maka gugurlah khiyar fasakh-nya walaupun kekurangan itu terus bertambah. Sebab, keridhaan atas kekurangan pertama, berarti keridhaan atas kekurangan yg lahir darinya. Lain hanya bila muncul kekurangan yg lain, maka khiyar fasakh akibat kekurangan lain itu tak gugur,” (Syekh Zakariya ibn Muhammad ibn Zakariya al-Anshari, Asnâ al-Mathâlib fî Syarh Raudh al-Thalib, [Beirut: Darul Kutub], t.t., jilid 3, hal. 178).

 

Dari uraian petikan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan dan pelajaran, antara lain:

 

• Menurut Imam al-Syafi‘i, sah hukumnya menikahi perempuan yg pernah berzina. Namun, sebagian ulama mempersyaratkan, menikahinya setelah si perempuan bertobat. Sebab, pernikahan bukan sekadar memenuhi kebutuhan naluri dan fitrah, tetapi juga melahirkan generasi yg baik, merajut kebahagiaan, dan diorientasikan buat meraih kebahagiaan akhirat.

 

• Masih menurut al-Syafi‘i, ketakperawanan bukan sebuah cacat bagi pernikahan, sehingga suami tak berhak melakukan fasakh, tak pula ada hak buat menarik mahar. Hanya saja ia boleh memilih buat melanjutkan atau mengakhirinya dgn perceraian. Hak cerai ini, sejatinya memberikan hak-hak lain kepada istri yg dicerai, seperti hak nafkah, tempat tinggal, pakaian, dan hak rujuk, semasa iddah.

 

• Berbeda dgn al-Syafi‘i, Ibnu Shalah dan Syekh Zakariya al-Anshari, yg keduanya juga pengikut mazhab al-Syafi‘i, secara tegas memasukkan ketakperawanan sebagai cacat yg memperbolehkan suami melakukan fasakh. Silang pendapat ini harusnya membuat kita semakin dewasa, toleran dalam menyikapi perbedaan, dan leluasa memilih pendapat paling mungkin dan lebih sesuai dgn kemaslahatan bersama.

 

• Pendapat yg membolehkan suami melakukan fasakh setelah menikah dgn perempuan yg tak sesuai dgn kemauannya, juga memberi pelajaran kepada para gadis dan remaja putri buat menghormati institusi pernikahan. Pergaulan bebas yg menyebabkan mereka hilang keperawanan sebelum saatnya berimbas pada kekecewaan suami sah mereka kelak yg dapat saja si suami memanfaatkan hak fasakh-nya. Akibatnya, wanita kehilangan kehormatan dan mengalami kerugian akibat pernikahannya dibatalkan dan maharnya dikembalikan.

 

• Fasakh nikah sebaiknya melalui lembaga pengadilan, menurut pendapat kuat, kecuali sebab fasakh-nya kuat dan mendapat kerelaan dari kedua belah pihak.

 

• Hak fasakh suami menjadi gugur bilamana ia meridhai kekurangan atau cacat yg dimiliki istrinya.

 

Demikian diskusi singkat dan ragam pendapat tentang hak fasakh suami yg mendapati ketakperawanan istri yg baru dinikahinya. Semoga, ketika hak ini diambil, suami dapat menggunakannya secara bijak, berasaskan maslahat, dan tak disalah-gunakan buat merendahkan martabat atau melukai perasaan siapa pun. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam.

 

 

Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi; Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.

 

 

 

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.