tiga Hal Dasar yg Dilakukan Rasulullah di Madinah

Senin, 22 September 622 M menjadi hari yg bersejarah bagi umat Islam. Hari dimana Rasulullah tiba di Madinah dalam rangka hijrah, setelah menempuh perjalanan berpuluh hari dari Makkah. Bak kedatangan ‘sang juru selamat’, Masyarakat Madinah menyambut Rasulullah dgn penuh suka cita. Maklum, Madinah dihuni masyarakat yg beragam. Mulai dari beda suku, etnis, hingga agama. Sehingga mereka kerap kali berperang. Kedatangan Rasulullah di Madinah diharapkan dapat menjadi penengah atau pemersatu diantara mereka.

Betul saja, dalam beberapa sumber sejarah disebutkan bahwa Rasulullah berhasil membangun kota Yatsrib yg biasa-biasa saja menjadi kota Madinah yg berperadaban dan diperhitungkan di jazirah Arab. Selama beberapa waktu –sebelum suatu kelompok di Madinah menghianatinya, Rasulullah juga berhasil membangun masyarakat yg majemuk hidup dalam harmoni dan damai. 

Sebagaimana diuraikan dalam buku Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad saw., setaknya ada tiga hal dasar yg dilakukan Rasulullah pada fase Madinah. Tiga hal dasar itu sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Madinah sehingga mereka hidup aman, tenteram, saling menghargai, dan dalam kesejahteraan. Pertama, menjadikan masjid sebagai pusat semua kegiatan (center of activities). Usai tiba di Madinah, Rasulullah membangun sebuah masjid, Masjid Nabi (Nabawi). Masjid ini memiliki bangunan yg sangat sederhana; atapnya dari daun pohon kurma, pilarnya dari batang pohon kurma, lantainya kerikil dan berpasir, dan bangunannya dari batu bata.

Akan tetapi, bangunan itu bukan sekedar bangunan biasa. Sebuah bangunan yg menjadi penanda kebangkitan peradaban Islam. Karena Rasulullah memfungsikan masjid ini buat semua kegiatan. Mulai dari mengajarkan ajaran Islam, hikmah, proses belajar mengajar baca-tulis hingga menyusun strategi perang atau politik. Semua diadakan di Masjid Nabi, bukan hanya buat shalat saja. Singkatnya, Rasulullah menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan dan pembinaan umat.

Kedua, membangun persaudaraan antar sesama Muslim (ukhuwah islamiyah). Pada fase Madinah, ada dua kelompok umat Islam yakni kaum Muhajirin (umat Islam Makkah yg hijrah ke Madinah) dan kaum Anshar (umat Islam yg asli penduduk Madinah). Rasulullah mempersaudarakan mereka satu persatu, satu Muhajirin dgn satu Anshar. Rasulullah juga selalu menegaskan bahwa sesama Muslim itu bersaudara. 

Tidak lain, ini dilakukan Rasulullah buat memperkuat solidaritas dan kohesivitas sosial antar sesama umat Islam. Sehingga mereka tak mudah bertikai dan berperang, sebagaimana watak Arab Jahiliyah. Bagi seorang Muslim, persaudaraan bukan saja didasarkan pada darah, tapi juga keimanan yg sama. 

Ketiga, membangun persaudaraan dgn umat agama lain (ukhuwan insaniyah). Rasulullah sadar betul bahwa Madinah memiliki masyarakat yg majemuk. Ada umat Islam, ada umat Nasrani, ada umat Yahudi, dan yg lainnya. Untuk membangun sebuah kota yg kuat dan damai, tak ada jalan bagi Rasulullah kecuali ‘mempersatukan’ masyarakat yg berbeda itu. 

Akhirnya Rasulullah mencetuskan sebuah kesepakatan bersama, Piagam Madinah (Constitution of Medina). Piagam ini menjadi titik temu (kalimatun sawa’) bagi masyarakat Madinah yg beragam. Dengan Piagam Madinah, Rasulullah berhasil mempersatukan masyarakat Madinah yg selama itu tak mungkin dipersatukan. Piagam Madinah menjadi konstitusi pertama dalam membangun masyarakat yg bhineka berdasarkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan bersama. 

Tiga pondasi dasar itulah yg dilakukan Rasulullah selama fase Madinah. Sehingga Madinah menjadi sebuah kota yg berperadaban dan diperhitungkan di jazirah Arab pada saat itu. (A Muchlishon Rochmat)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.