Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menerangkan tingkatan dalam berpuasa. Shaumul umum, shaumul khushus, dan shaumul khushusil khushus. Ketiganya bagaikan tangga yg selalu menarik siapapun buat menaikinya supaya sampai di tempat yg lebih tinggi. <>
الØمد لله, الØمد لله الذى أعظم على عباده المنة, بما دÙع عنهم كيد الشيطان ÙˆÙنه, ورد أمله وخيب ظنه, إذ جعل الصوم Øصنا لأوليائه وجنة, ÙˆÙØªØ Ù„Ù‡Ù… به أبواب الجنة, وعرÙهم أن وسيلة الشيطان إلى قلوبهم الشهوات المستكنة وإن بقمعها ØªØµØ¨Ø Ø§Ù„Ù†Ùس المطمئنة ظاهرة الشوكة ÙÙ‰ قصم خصمها قوية المنة, أَشْهَد٠أَنْ لاَ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‡ÙŽ Ø¥Ùلاَّ الله٠وَØْدَه٠لاَ شَرÙيْكَ لَه٠شهادَةَ أدخرها ليوم الزØام, وَأَشْهَد٠أَنَّ سَيّÙدنا Ù…ÙØَمَّدًا عَبْدÙه٠وَرَسÙوْلÙه٠الداعى بقوله ÙˆÙعله إلى دار السلام. اللهمّ صَلّ وسّلّÙمْ علَى عَبْدÙÙƒÙŽ وَرَسÙوْلÙÙƒÙŽ Ù…ÙØَمّد٠وعَلى آلÙÙ‡ وأصْØَابÙÙ‡Ù Ù‡Ùدَاة٠الأَنَام٠وَمَصَابÙيْØ٠الظّÙلاَمÙ. أمَّا بعْدÙ, Ùيَا أَيّÙهَا النَّاس٠اتَّقÙوا الله٠تَعَالَى بÙÙÙعْل٠الطَّاعَات٠وَتَرْك٠الأَثَام٠تدخلوا جنة ربكم بسلام
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Sudah separoh lebih perjalnan kita di bulan suci ini. Sudahkah kita meningkatkan ketaqwaan kita kepada-Nya? demikianlah seharusnya. Bukankah taqwa itu sendiri yg menjadi tujuan diwajibkannya puasa bagi umat muslim. Taqwa yg lebih mengutamakan penghindaran diri dari berbagai larangannya, bukan hanya sekedar menta’ati perintahnya. Oleh sebab itu capaian nilai tqwa dalam puasa berada dalam satu rumpun dgn kesabaran. Karena pada hakikatnya bertaqwa ialah bersabar terhadap segala ujian. Â
Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin mengatakan bahwa posisi ibadah puasa ialah seperempat bagian dari iman. Artinya barang siapa yg tak puasa maka imannya kurang sepermpat. Hal ini merupakan kesimpulan dari dua sabda Rasulullah saw yg pertama berbunyi “ الصوم نص٠الصبرâ€puasa merupakan setengah dari kesabaran. Dan hadits kedua berbunyai  الصبر نص٠الإيمان â€Â  sabar ialah setengah dari iman. Oleh sebab itulah Imam Ghazali menyimpulkan bahwa puasa ialah seperembpat bagian dari iman.Â
Dua hadits tersebut sebenarnya taklah hanya menunjukkan bagian puasa dalam iman, tetapi juga menghubungkan puasa, kesabaran dan iman. Jika dicermati maka sesungguhnya ketiganya memiliki hubungan yg erat. Sabar ialah inti dari puasa. Kesabaran dalam menahan segala larangan dhahiriah yg dapat membatalkan puasa, dan larangan batiniyah yg mengurangi makna puasa. Keduanya  merupakan ujian yg berat. Sekaligus juga merupakan barometer kwalitas keimanan seseorang.
Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah
Mengukur barometer iman seseorang bukanlah hal yg sulit, meskipun iman ialah soal kepercayaan dan kepercayaan tersimpan rapat-rapat dalam dunia batin. Akan tetapi, iman itu membutuhkan aktualisasi diri dalam dunia kenyataan. Tidak mungkin seseorang mengaku iman dan cinta kepada Allah swt, tetapi ia menenggelamkan diri dalam selimut ketika Allah memanggilnya melalui adzan. Bukankah orang yg cinta mau segera menyambut panggilan yg dicintainya?
Begitulah kemudian Imam Ghazali mencoba mengklasifikasikan secara bertingkat model puasa manusai. Ia menerangkan bahwa puasa itu ada tiga tingkatan, pertama shaumul umum, Â yg dapat diterjemahkan dgn puasa biasa-biasa saja (puasanya orang awam). Yaitu puasa dgn menahan lapar, dahaga dan syahwat, menjaga mulut dan alat kelamin dari hal-hal yg mebatalkan puasa.
Kedua shaumul khushus, atau puasa spesial (puasanya orang khusus) yaitu puasa dgn menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan segala anggota badan dari dosa dan ma’shiyat. Dan ketiga shaumul khususil khusus, atau puasa istimewa (puasanya orang istimewa) yaitu puasa dgn menahan hati dari keraguan mengenai hal-hal keakhiratan, dan menahan pikiran buat tak memikirkan masalah kedunyawiyahan, serta menjaga diri dari berpikir selain Allah swt.
Maka, standar ke-batal-an puasa istimewa ini ialah apabila telah terbersit dalam hati pikiran selain Allah, apalagi memikirkan harta kekayaan yg tak bermanfaat bagi kehidupan akhirat kelak. Bahkan menurut kelompok ketiga puasa dapat terkurangi nilainya, dan dianggap batal apabila didalam hati tersirat keraguan atas kekuasaan-Nya. Misalkan dgn meniatkan diri buat bekerja dan mencari penghidupan sepanjang siang hanya sebab khawatir tak dapat mendapat sesuatu yg dipakai berbuka puasa, sungguh hal ini sama artinya dgn tak percaya kepada janji Allah, bahwa Allah Yang Maha Pemberi Riziqi itu sungguh-sungguh menghormati dan memuliakan orang yg berpuasa. Tidak mungkin ada orang berpuasa yg tak berbuka.
Para Hadirin Jama’ah Jum’ah yg Dirahmati Allah
Jika selama dua minggu lebih ini kita berpuasa seperi puasanya orang yg biasa-biasa saja (shaumul umum) maka di sisa puasa yg ada marilah kita bersma-sama meningkatkan puasa kita menju tingkatan puasa spesial (shaumum khushus), dgn penuh harapan dan keyakinan mau mampu meraih puasa istimewa (shaumul khusushil khusus) itulah puasanya para nabi, shiddiqin, dan muqarrabin.
Tidak, tak, janganlah kita pesimis setelah mendengar bahwa puasa tingkat ketiga ialah puasa para nabi, dgn membandingkan diri ini yg masih hina-dina tak mengerti persoalan agama, jangan. Jangan dulu psimis. Karena sesungguhnya tingakatan-tingkatan ini diciptakan sebagaimna tangga yg mempermudah manusia mendaki ke tempat yg lebih tinggi. Ketiga tingkatan ini harus menjadi pendorong diri kita menjadi individu dgn kadar puasa yg berkwalitas, seperti puasanya para nabi.
Jama’ah Rahimakumullah
Untuk itulah kemudian al-Ghazali dalam lanjutan keterangannya memberikan tratmen atau gaiden mendaki ketiga tingkatan itu, ia kemudian jelaskan bahwa puasa spesial (shaumul khusus) itu ialah puasanya shalihin. Yang dapat digapai dgn menyempurnakan enam hal, pertama menjaga mata dan penglihatan dari segala hal yg dicela agama dan dibenci Allah swt, dan menghindarkan dari melihat segala hal yg mau melalaikan hati kita ingat dari Allah. Semisal menyibukkan mata dgn menonton film selama puasa, bermain game, memanjakan mata dgn pemandangan duniawi di seputar mall dan mini market yg yg menggiurkan dan seterusnya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw pernah bersabda:
النظرة سهم من سهام إبليس من تركها خوÙا من الله آتاه الله إيمانا يجد Øلاوته ÙÙŠ قلبه
Pandangan ialah panah bagian dari panahnya iblis, barang siapa yg meninggalkannya sebab takut kepada Allah, maka Allah mau memberikannya iman dalam hati yg manis.
Kedua, dgn menjaga lisan dari berbohong, menggunjing, berbicara jorok dan berbagai keburukan lisan lainnya, serta memperkerjakan lisan buat dzikir kepada Allah swt dan memperbanyak membaca Al-Qur’an. Inilah makna puasa bagi  lisan.
Ketiga, mencegah pendengaran dari hal-hal yg dibenci Allahs swt. diantara perkara yg dilarang ialah mendengarkan peergunjingan. Baik yg menggunjing maupun yg mendengarkannya terkena hukum haram. Begitu buruknya perkerjaan mennggunjing dan mendengarkan gunjingan hingga Allah swt berforman.
سَمَّاعÙونَ Ù„ÙلْكَذÙب٠أَكَّالÙونَ Ù„ÙلسÙÙ‘ØْتÙ
Mereka itu ialah orang-orang yg suka mendengar berita bohong, banyak memakan yg haram
Keempat, mencegah anggota badan yg lain seperti tangan, kaki, dan perut dari makanan-makanan syubhat ketika berpuasa. Puasa bukanlah menahan makanan halal dan berbuka dgn yg haram, tetapi menahan diri dari makanan yg haram. Diantara menjaga makanan haram ialah menghindarkan diri dari memakan daging manusia sesama saudaranya. Artinya, menghindarkan diri dari menggunjing orang lain.
Kelima, menjaga diri buat tak berlebih-lebihan ketika berbuka puasa. Meskipun makanan itu telah jelas halalnya. Karena diantara hal yg dibenci Allah swt ialah perut yg dipenuhi makanan halal. Hal ini dianggap menghambat diri memecahkan hawa nafsu.
Keenam, hendaklah setelah berbuka puasa seseorang menjadi bermuhasabah, mengintrospeksi diri adakah puasa yg diakukannya hari ini diterima, atau ditolak? Sungguh hal ini mau menjadi pelajaran dan membawa seseorang lebih berhati-hati di hari kemudian.
Demikianlah khotbah kali ini, semoga memberi manfaat bagi diri khatib sendiri khususnya dan pendengar pada umumnya. Pada hakikatnya ketiga tingkat puasa ini berfungsi buat memberikan semangat pada diri kita menjadi individu yg berkembang memiliki makna lebih. Sebagaimana anak tangga yg ada dihadapan kita, bukankah itu menarik hati kita buat menaikinya? Â
باَرَكَ الله٠لÙيْ وَلكمْ ÙÙÙŠ القÙرْآن٠العَظÙيْمÙ, ÙˆÙŽÙ†ÙŽÙَعَنÙيْ ÙˆÙŽØ¥ÙيّاكÙمْ بÙالآيات٠والذّÙكْر٠الØÙŽÙƒÙيْمÙ. إنّه٠تَعاَلَى جَوّادٌ كَرÙيْمٌ Ù…ÙŽÙ„ÙÙƒÙŒ بَرٌّ رَؤÙوْÙÙŒ رَØÙيْمٌ.
Â
Khutbah II
اَلْØَمْد٠لله٠عَلىَ اÙØْسَانÙه٠وَالشّÙكْر٠لَه٠عَلىَ تَوْÙÙيْقÙه٠وَاÙمْتÙنَانÙÙ‡Ù. وَاَشْهَد٠اَنْ لاَ اÙÙ„ÙŽÙ‡ÙŽ اÙلاَّ الله٠وَالله٠وَØْدَه٠لاَ شَرÙيْكَ لَه٠وَاَشْهَد٠اَنَّ سَيّÙدَنَا Ù…ÙØَمَّدًا عَبْدÙه٠وَرَسÙوْلÙه٠الدَّاعÙÙ‰ اÙلىَ رÙضْوَانÙÙ‡Ù. اللهÙمَّ صَلّ٠عَلَى سَيّÙدÙنَا Ù…ÙØَمَّد٠وÙعَلَى اَلÙه٠وَاَصْØَابÙه٠وَسَلّÙمْ تَسْلÙيْمًا ÙƒÙثيْرًا اَمَّا بَعْد٠Ùَياَ اَيّÙهَا النَّاس٠اÙتَّقÙوااللهَ ÙÙيْمَا اَمَرَ وَانْتَهÙوْا عَمَّا Ù†ÙŽÙ‡ÙŽÙ‰ وَاعْلَمÙوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكÙمْ بÙاَمْر٠بَدَأَ ÙÙيْه٠بÙÙ†ÙŽÙْسÙه٠وَثَـنَى بÙمَلآ ئÙكَتÙه٠بÙÙ‚ÙدْسÙه٠وَقَالَ تَعاَلَى اÙنَّ اللهَ وَمَلآ ئÙكَتَه٠يÙصَلّÙوْنَ عَلىَ النَّبÙÙ‰ يآ اَيّÙهَا الَّذÙيْنَ آمَنÙوْا صَلّÙوْا عَلَيْه٠وَسَلّÙÙ…Ùوْا تَسْلÙيْمًا. اللهÙمَّ صَلّ٠عَلَى سَيّÙدÙنَا Ù…ÙØَمَّد٠صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلّÙمْ وَعَلَى آل٠سَيّÙدÙناَ Ù…ÙØَمَّد٠وَعَلَى اَنْبÙيآئÙÙƒÙŽ وَرÙسÙÙ„ÙÙƒÙŽ وَمَلآئÙكَة٠اْلمÙقَرَّبÙيْنَ وَارْضَ اللّهÙمَّ عَن٠اْلخÙÙ„ÙŽÙَاء٠الرَّاشÙدÙيْنَ اَبÙÙ‰ بَكْرÙوَعÙمَروَعÙثْمَان وَعَلÙÙ‰ وَعَنْ بَقÙيَّة٠الصَّØَابَة٠وَالتَّابÙعÙيْنَ وَتَابÙعÙÙŠ التَّابÙعÙيْنَ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ بÙاÙØْسَان٠اÙلَىيَوْم٠الدّÙيْن٠وَارْضَ عَنَّا مَعَهÙمْ بÙرَØْمَتÙÙƒÙŽ يَا اَرْØÙŽÙ…ÙŽ الرَّاØÙÙ…Ùيْنَ
اَللهÙمَّ اغْÙÙرْ Ù„ÙلْمÙؤْمÙÙ†Ùيْنَ وَاْلمÙؤْمÙنَات٠وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ وَاْلمÙسْلÙمَات٠اَلاَØْيآء٠مÙنْهÙمْ وَاْلاَمْوَات٠اللهÙمَّ اَعÙزَّ اْلاÙسْلاَمَ وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽØ£ÙŽØ°Ùلَّ الشّÙرْكَ وَاْلمÙشْرÙÙƒÙيْنَ وَانْصÙرْ عÙبَادَكَ اْلمÙÙˆÙŽØÙ‘ÙدÙيَّةَ وَانْصÙرْ مَنْ نَصَرَ الدّÙيْنَ وَاخْذÙلْ مَنْ خَذَلَ اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽ دَمّÙرْ اَعْدَاءَالدّÙيْن٠وَاعْل٠كَلÙمَاتÙÙƒÙŽ اÙÙ„ÙŽÙ‰ يَوْمَ الدّÙيْنÙ. اللهÙمَّ ادْÙَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزÙÙ„ÙŽ وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ وَسÙوْءَ اْلÙÙتْنَة٠وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ مَا ظَهَرَ Ù…Ùنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدÙنَا اÙنْدÙونÙيْسÙيَّا خآصَّةً وَسَائÙر٠اْلبÙلْدَان٠اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمÙيْنَ. رَبَّنَا آتÙناَ ÙÙÙ‰ الدّÙنْيَا Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙÙÙ‰ اْلآخÙرَة٠Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙ‚Ùنَا عَذَابَ النَّارÙ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْÙÙسَنَاوَاÙنْ لَمْ تَغْÙÙرْ لَنَا وَتَرْØَمْنَا Ù„ÙŽÙ†ÙŽÙƒÙوْنَنَّ Ù…ÙÙ†ÙŽ اْلخَاسÙرÙيْنَ. عÙبَادَالله٠! اÙنَّ اللهَ يَأْمÙرÙنَا بÙاْلعَدْل٠وَاْلاÙØْسَان٠وَإÙيْتآء٠ذÙÙ‰ اْلقÙرْبىَ وَيَنْهَى عَن٠اْلÙÙŽØْشآء٠وَاْلمÙنْكَر٠وَاْلبَغْي يَعÙظÙÙƒÙمْ لَعَلَّكÙمْ تَذَكَّرÙوْنَ وَاذْكÙرÙوااللهَ اْلعَظÙيْمَ يَذْكÙرْكÙمْ وَاشْكÙرÙوْه٠عَلىَ Ù†ÙعَمÙه٠يَزÙدْكÙمْ ÙˆÙŽÙ„ÙŽØ°Ùكْر٠الله٠اَكْبَرْ
(Red. Ulil H)