Membahas tentang Ini Ciri Amal Ibadah Terbaik dalam Islam

Sering kali kita jumpai, asumsi orang bahwa amal atau ibadah terbaik ialah amal yg paling berat. Semakin berat semakin baik. Sebaliknya, semakin ringan semakin diremehkan. Dari asumsi seperti ini kadang muncul sikap meremehkan amal ibadah yg sekilas tampak ringan dan remeh. Padahal amal seperti itu justru berpotensi menjadi amal terbaik.

Ada al-Haula binti Tuwait ra—perempuan suku Qurais yg masih satu garis keluarga dgn Sayyidah Khadijah ra namun baru masuk Islam setelah hijrah ke Madinah—, salah satu dari deretan sahabat yg sangat terkenal sebagai ahli ibadah di kota Nabi saw.

Suatu ketika Al-Haula mengunjungi Sayyidah Aisyah ra. Lalu ketika Nabi saw datang, Al-Haula segera berdiri dan bergegas pergi. Melihat hal itu, Nabi saw pun bertanya kepada Sayyidah Aisyah ra, “Siapa itu?”

“Itu ialah orang yg paling giat ibadahnya di kota Madinah,” jawab Aisyah ra penuh respek terhadap al-Haula ra, sebagaimana diriwayat oleh al-Hasan bin Sufyan.

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, Sayyidah Aisyah menyebutkan orang itu ialah al-Haula binti Tuwait yg setiap malam di tak pernah tidur—sebab shalat semalam sbuat—sebagaimana kabar dari para sahabat lainnya. Namun mendengar jawaban seperti itu justru Nabi saw tak respek dan bahkan mengingkarinya. Tampak pula muram ketidaksetujuan di wajah beliau.

Nabi saw pun meresponnya secara verbal: “Tidak tidur? Lakukanlah amal ibadah semampu kalian. Demi Allah, Allah tak mau pernah bosan (memberi pahala) sampai kalian sendiri yg bosan (beribadah),” (An-Nawawi, al-Minhâj Syarh Shahih Muslim, [Beirut: Dârul Ihyâ-it Turâts al—‘Arabi: 1392 H], juz VI, halaman 73; dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bâri, [Beirut, Dârul Ma’rifah: 1379 H], juz I, halaman 101).

Dalam konteks seperti inilah di kemudian hari Imam Thawus bin Kaisan, tokoh besar ahli fiqih generasi tabiin, menegaskan ibadah terbaik ialah ibadah yg paling ringan. Ia berujar:

أَفْضَلُ الْعِبَادَةِ أَخَفُّهَا

Artinya, “Ibadah terbaik ialah ibadah yg paling ringan.”

Maksudnya, ibadah yg paling ringan dan paling disukai oleh hati lebih berpotensi besar dapat dilakukan secara istiqamah dan berkelanjutan. Bahkan dapat menjadi kebiasaan dan karakter yg mendarah daging padanya. Demikian dijelaskan oleh Abu Yusuf Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya, At-Tamhid. (Ibnu Abdil Bar al-Qurthubi, At-Tamhîd limâ fil Muwattha’ minal Ma’âni wal Asânîd, [Mu’assasah Qurthubah], juz I, halaman 196).

Karena itu, semestinya orang tak meremehkan amal sekecil atau seringan apapun baik amal ritual maupun amal sosial. Sebab, justru amal yg paling ringan ialah amal terbaik yg lebih mudah dilakukan secara istiqamah sehingga mau membawa hight impact atau dampak besar dalam perbaikan diri bagi pelakunya. Wallâhu a’lam.

 

Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.