Membahas tentang Khittah Umat Nabi Muhammad Kini: Merujuk kepada Ulama

Ketika Rasulullah SAW telah wafat, para sahabat menjadi rujukan umat dalam setiap urusan, baik menygkut agama, politik, dan sosial. Setelah sahabat tak ada, generasi selanjutnya ialah tabi’in yg disebut juga generasi salaf, atau yg sering disebut salafus shalih. Dan setelah itu ulama mutaqaddimin. Mereka semua mendapat pengakuan langsung dari Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Habib Luthfi bin Yahya dalam bukunya Secercah Tinta (2012) mengungkapkan, predikat yg diberikan Rasulullah kepada generasi berikutnya ialah ulama’i ka an-nabi bani isra’il (ulama dari kalangan umatku seperti para Nabi di kalangan Bani Israil).

Dari pengakuan dan predikat yg dinyatakan langsung oleh Nabi Muhammad tersebut menegaskan keistimewaan ulama dari kalangan umat Nabi SAW yg sebanding dgn Nabi di kalangan Bani Israil. Dari petunjuk tersebut, tak ada alasan bagi umat Nabi Muhammad buat tak mengikuti ulama yg merupakan pewaris para Nabi (al-ulama waratsatul anbiya).

Kriteria ulama yg dapat diikuti tentu saja yg mewarisi akhlak Nabi Muhammad dan mampu mewujudkan kehidupan yg lebih baik dgn ilmu-ilmu yg dimilikinya, tak membuat kerusakan di muka bumi, mampu hidup berdampingan dgn sesama makhluk Allah swt, dan lain sebagainya.

Istilah ulama sendiri merujuk kepada seseorang yg mumpuni dalam bidang ilmu agama, berakhlak baik, menjadi teladan hidup bagi masyarakat, dan sifat-sifat mulia lainnya. Ulama senantiasa mengisi sendi-sendi kehidupan dgn laku positif yg berdampak kebaikan secara luas. Keberadaan ulama mendatangkan rahmat, bukan laknat. Dakwahnya juga merangkul, bukan memukul, mengajak bukan mengejek.

Hadits Riwayat Ad-Dailami dari Anas r.a, Rasulullah SAW bersabda: ittabi’ul ulama’a fainnahum suruuhud dunyaa wamashaa biihul akhirah. 

“Ikutilah para ulama sebab sesungguhnya mereka ialah pelita-pelita dunia dan lampu-lampu akhirat.” (HR Ad-Dailami)

Hadits di atas tentu saja semakin memperkuat pengakuan Rasulullah terhadap para ulamanya. Namun, ketika ini sebagian masyarakat masih ada yg terjebak dgn simbol-simbol agama yg melekat melalui pakaian. Akibatnya, meskipun seorang itu tak berilmu, bahkan secara perilaku dan ucapan tak mencerminkan akhlak mulia, tetapi kerap diikuti sebagai seorang yg dianggap mengerti agama.

Padahal, keistimewaan para ulama yg layak diikuti banyak diungkap dari berbagai hadits di antaranya hadits yg berbunyi: man shafahani aw shafaha man shafahani ila yaumil qiyamah dakhalal jannah (barang siapa yg bersalaman dgnku atau bersalaman dgn orang yg bersalaman dgnku hingga hari kiamat, maka ia masuk surga).

Hadits itu disebut sebagai hadits musalsal bil mushafahah al-mamariyah, Muhammad bin Ja’far Al-Katani dalam risalah al-musalsalat.

 

Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.