Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw menjelaskan hakikat amal ibadah seorang hamba bahwa amal mereka sama sekali tak dapat menjadi jaminan buat masuk surga. Dalil semacam inilah yg seringkali disalahpahami oleh sebagian kalangan.
Mereka beranggapan bahwa masuk surga ialah kehendak Allah. Lalu buat apa kita beramal di dunia? Bahkan yg lebih ekstrem, mereka berani menggugurkan perintah syariat bila telah sampai pada maqam hakikat. Bagaimana cara memahami hakikat dgn benar? Sebelum dibahas, kami kutip terlebih dahulu hadits Rasulullah saw berikut ini:
لا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ
Artinya, “Tidak ada amalan seorang pun yg dapat memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga dgnku, kecuali dgn rahmat dari Allah” (HR Muslim).
Memang benar bila dikatakan masuk surga tak didasarkan pada amal, melainkan fadhl (karunia) dan rahmat Allah. Akan tetapi menjadi tak benar bila memiliki anggapan bahwa amal baik sama sekali tak memiliki nilai apapun, atau bahkan masih mempertanyakan buat apa beramal di dunia.
Kenapa demikian? Karena Allah telah memberikan sebuah bocoran dan kriteria para penghuni surga dalam firman-Nya, yaitu mereka yg beriman dan beramal kebabilan, mengikuti perintah juga menjauhi larangan-Nya sebagaimana tertulis dalam Surat An-Nisa’ ayat 122 berikut:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً لَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَنُدْخِلُهُمْ ظِلاًّ ظَلِيلاً
Artinya, “Adapun orang-orang yg beriman dan mengerjakan kebabilan, kelak mau Kami masukkan ke dalam surga yg mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selamanya. Di sana mereka mempunyai pasangan-pasangan yg suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yg teduh lagi nyaman.” (Surat An-Nisa’ ayat 57).
Selain itu, makna yg tepat buat hadits di atas tidaklah sebagaimana yg diterjemah secara tekstual. Ada banyak penafsiran para ulama yg pemahamannya justru tak sebagaimana yg dipahami secara umum oleh beberapa kalangan yg menganggap bahwa amal tak memiliki nilai apa-apa tanpa rahmat-Nya, sehingga mereka meyakini bahwa tak ada gunanya beramal bila kemudian tak ada rahmat di dalamnya.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam salah satu kitab syarah haditsnya mengatakan bahwa hadits di atas memiliki banyak penafsiran, setidaknya ada tiga pendapat ulama ahli hadits dalam mengartikan hadits di atas,
Pertama, taufiq buat dapat melakukan suatu amal ibadah merupakan bentuk rahmat dari Allah yg telah diberikan sejak sebelum seorang hamba melakukan ibadah;
Kedua, seorang hamba berhak mendapatkan rahmat, apabila ia telah melakukan ketaatan. Dengan kata lain, orang-orang yg tak melakukan ketaatan tak berhak mendapatkan rahmat Allah. Imam Ibnu Hajar mengibaratkan seorang budak yg berharap mendapatkan upah dari tuannya tanpa bekerja terlebih dahulu, tentu merupakan hal yg tak mungkin. Sebab, upah mau diberikan apabila ia telah bekerja buat tuannya.
Ketiga, inti masuk surga ialah murni rahmat dari Allah, mau tetapi nikmat di dalamnya mau berbeda sesuai dgn kadar amal yg dimiliki seseorang, bila kadar amalnya banyak, maka mau mendapatkan nikmat Allah yg juga banyak. Begitu juga sebaliknya, seorang muslim yg nilai ketaatannya sedikit, mau masuk surga yg di dalamnya terdapat kenikmatan yg sedikit pula. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari, [Beirut, Darul Ma’rifah, tahun cetak: 1379 H], juz XI, halaman 296).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hanya rahmat dan karunia dari Allah-lah yg dapat memasukkan seseorang ke dalam surga, mau tetapi keduanya dapat didapatkan oleh umat Islam ketika mereka telah beramal sesuai dgn anjuran dalam ajaran Islam itu sendiri. Terus beramal sesuai syariat sebagai representasi patuh pada perintah-Nya dan meyakini bahwa bukan amal itu yg menyebabkan seseorang masuk surga.
Imam Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syarf an-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitab haditsnya mengatakan bahwa dalam konteks ini, ulama Ahlussunnah wal Jamaah memiliki pandangan yg berbeda dgn kelompok Muktazilah yg menganggap bahwa wajib bagi Allah memberi pahala bagi yg melakukan ketaatan. Kedua perbedaan ini terletak dalam masalah amal baik seorang Muslim yg harus mendapatkan pahala dan kemudian masuk surga.
Menurut mazhab Ahlussunnah, Allah tak menetapkan pahala, siksa, wajib, dan haram dalam semua tuntutan (taklif) berupa kewajiban dan keharaman. Semua kewajiban itu dilandasi oleh syariat. Oleh sebabnya, Allah tetap adil apabila menyiksa mereka yg taat dan orang-orang saleh, begitu juga tetap adil apabila memuliakan orang kafir dan memasukkan mereka ke dalam surga. Akan tetapi, benarkah kelak Allah mau melakukan semua itu? Ternyata jawaban Imam Nawawi tak demikian, ia mengatakan,
وَلَكِنَّهُ أَخْبَرَ وَخَبَرُهُ صِدْقٌ أَنَّهُ لَا يَفْعَلُ هَذَا بَلْ يَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيُدْخِلُهُمْ الجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ وَيُعَذِّبُ الْمُنَافِقِيْنَ وَيُخَلِّدُهُمْ فِى النَّارِ عَدْلًا
Artinya, “(Meski demikian), namun Allah telah memberi khabar dan khabar-Nya benar bahwa Ia tak mau melakukan demikian (sebagaimana penjelasan sebelumnya), mau tetapi memberi ampunan kepada orang mukmin dan memasukkan mereka ke dalam surga dgn rahmat-Nya, dan menyiksa orang munafiq dan mengekalkan mereka dalam neraka sebab adil.” (Imam Nawawi, Syarhun Nawawi alal Muslim, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turats, cetakan kedua: 1932 H], juz XVII, halaman 159).
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas, kita semakin yakin bahwa memaknai hadits di atas serta meyakini bahwa amal seseorang tak memiliki nilai apa-apa sangat keliru, dan kontradiksi dgn kebanyakan ayat dan hadits yg lain. Di antaranya, firman Allah swt dalam Surat Al-Ankabut, yaitu:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَنُبَوِّئَنَّهُمْ مِنَ الْجَنَّةِ غُرَفاً
Artinya, “Orang-orang yg beriman dan mengerjakan kebabilan, sungguh, mereka mau Kami tempatkan pada tempat-tempat yg tinggi di dalam surga.” (Surat Al-‘Ankabut ayat 58).
Alhasil, beramal saleh dan memperbanyak ketaatan tetap memiliki nilai sangat penting buat selalu ditingkatkan oleh umat Islam. Pahala dan surga merupakan balasan logis dari adanya ibadah. Tanpanya, mau mustahil seseorang mau dimasukkan dalam surga oleh Allah swt.
Dengan kata lain, meski rahmat dan karunia menjadi poin tertinggi buat meraih surga-Nya, amal ibadah tetap mendukung buat menjadi salah satu alternatif meraih tempat yg penuh nikmat kelak di hari akhir tersebut.
Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.