Membahas tentang Status Hukum Pernikahan & Perwalian Orang Murtad

Sepasang muda-mudi didampingi seorang laki-laki paruh baya datang ke KUA sebagai calon pengantin yg tak lama lagi mau melakukan ijab qabul pernikahan. Ketiganya datang ke KUA dalam rangka proses pemeriksaan data oleh penghulu.

Pada mulanya dari data yg ada sang penghulu tak mendapatkan masalah. Namun ketika melihat surat pernikahan orang tua calon pengantin perempuan sang penghulu mulai menaruh curiga. Pasalnya surat pernikahan itu dikeluarkan oleh kantor catatan sipil yg berarti kedua orang tua calon pengantin perempuan menikah tak dgn tata cara Islam.

Maka sang penghulu mulai menelusuri perihal perkawinan dan agama kedua orang tua dari calon pengantin perempuan. Dari penelusuran itu didapatkan satu simpulan riwayat yg menyebutkan bahwa bapak dari calon pengantin perempuan dahulunya seorang muslim yg keluar dari agamanya atau murtad. Kemudian ia menikah dgn seorang perempuan nonmuslim.

Dari pernikahan ini keduanya dikarunia beberapa orang anak laki-laki dan perempuan. Di tengah kehidupan pernikahan dan rumah tangganya ini sang bapak yg dahulu murtad kembali memeluk agama Islam. Sedangkan sang ibu masih tetap pada agamanya, nonmuslim.

Kini anak perempuan pasangan itu yg beragama Islam hendak melakukan pernikahan. Sang bapak berkehendak buat menjadi wali bagi anak perempuannya. Namun kehendak ini ditolak oleh penghulu.

Mengapa penghulu menolak sang bapak buat menjadi wali, bukankah ia telah kembali menjadi seorang muslim?

Atas permasalahan dan pertanyaan ini para ulama di dalam berbagai kitab fiqih menjelaskan duduk perkaranya. Bila seorang muslim murtad sebelum menikah kemudian ia melakukan pernikahan, maka pernikahannya itu batal, tak sah. Ini sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaytiyyah:

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا ارْتَدَّ ثُمَّ تَزَوَّجَ فَلا يَصِحُّ زَوَاجُهُ ؛ لأَنَّهُ لا مِلَّةَ لَهُ ، فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ مُسْلِمَةً  وَلا كَافِرَةً وَلا مُرْتَدَّةً

Artinya, “Para pakar fikih sepakat bahwa seorang laki-laki muslim yg murtad kemudian menikah maka pernikahannya itu tak sah, sebab ia tak memiliki agama. Maka ia tak dapat mengawini seorang perempuan muslim, perempuan kafir, atau perempuan murtad.” (Kementerian Wakaf dan Urusan Agama, Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. [Kuwait: Kementerian Wakaf dan Urusan Agama, 1983 M]).

Lebih jauh Imam Syafi’i di dalam Kitab Al-Umm menyampaikan secara lebih rinci:

وَإِذَا ارْتَدَّ الْمُسْلِمُ فَنَكَحَ مُسْلِمَةً أَوْ مُرْتَدَّةً أَوْ مُشْرِكَةً أَوْ وَثَنِيَّةً فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ أَسْلَمَا أَوْ أَحَدُهُمَا أَوْ لَمْ يُسْلِمَا وَلَا أَحَدُهُمَا

Artinya: “Apabila seorang muslim murtad kemudian ia menikah dgn seorang perempuan muslim, perempuan murtad, perempuan musyrik, atau perempuan watsaniyah maka nikahnya batal, baik keduanya masuk Islam (setelah menikah) atau salah satunya masuk Islam, atau keduanya tak masuk Islam, atau salah satunya tak masuk Islam.” (Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm [Beirut: Darul Fikr, 2009]).

Dari apa yg disampaikan Imam Syafi’i di atas sangat jelas bahwa pernikahan yg dilakukan oleh seorang yg murtad tak dianggap sah oleh Islam. Ini berlaku bagi pernikahan sang murtad dgn perempuan yg menganut agama apapun, bahkan dgn perempuan yg juga murtad. Ketidakabsahan pernikahan itu terus berlanjut meskipun salah satu atau kedua pasangan itu kembali memeluk agama Islam.

Bila demikian adanya lalu bagaimana dgn hukum perwalian orang yg murtad? Bila ia kembali memeluk agama Islam sebagaimana kasus di atas dapat kah ia menjadi wali bagi anak perempuan dari hasil perkawinannya?

Menjawab pertanyaan ini Imam Syafi’i lebih lanjut menegaskan:

وَلَا يَكُونُ لِلْمُرْتَدِّ أَنْ يُزَوِّجَ ابْنَتَهُ وَلَا أَمَتَهُ وَلَا امْرَأَةً هُوَ وَلِيُّهَا مُسْلِمَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَلَا مُسْلِمًا وَلَا مُشْرِكًا وَإِذَا أَنْكَحَ فَإِنْكَاحُهُ بَاطِلٌ

Artinya: “Seorang yg murtad tak berhak buat menikahkan anak perempuannya, budak perempuannya, dan perempuan yg ia menjadi walinya, baik perempuan itu seorang muslimah atau musyrik, baik perempuan itu bukan seorang muslimah atau musyrik. Apabila ia telah menikahkan maka pernikahannya itu batal.” 

Tidak adanya hak buat menikahkan anak perempuannya atau perempuan lain yg berada di bawah perwaliannya menunjukkan bahwa seorang yg murtad tak dapat menjadi wali nikah bagi siapapun. Ini dapat dimaklumi mengingat salah satu syarat menjadi wali nikah ialah harus beragama Islam.

Kalaupun orang yg murtad itu kembali memeluk agama Islam sebagaimana kasus di atas ia tetap tak dapat menjadi wali bagi anak perempuannya, mengingat pernikahannya tak dianggap sah sehingga anak perempuannya juga dianggap lahir di dalam pernikahan yg tak sah dan sebabnya tak bernasab kepada sang ayah. Karena tak ada hubungan nasab ini lah maka sang ayah tak dapat menjadi wali dalam pernikahan anak perempuan tersebut. Wallâhu a’lam.

 

Ustadz Yazid Muttaqin, alumnus Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta, kini aktif sebagai penghulu di Kantor Kementerian Agama Kota Tegal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.