Membahas tentang Imam Abu Hanifah Pembela Aswaja yg Dagang Sutra di Pasar

Harus diakui, Abu Hanifah ialah sosok orang yg genius dan multitalenta. Ia tak hanya mampu mengurusi satu hal saja. Tetapi dapat menjalankan dua hal dalam waktu yg bersamaan. Ia mampu membagi fokus secara serius buat dua hal berbeda. Hasilnya pun tak biasa-biasa saja, sungguh sebuah pencapaian yg maksimal. Benar sekali firasat yg dirasakan imam as-Sya’bi tentang kecerdasan Abu Hanifah ketika pertama kali bertemu di sebuah jalan yg biasa dilalui orang-orang pasar.

Tak banyak orang dgn kecerdasan, kegeniusan, dan multitalen seperti Abu Hanifah. Terbukti, ketika remaja, Imam Nu’man ini mampu menggawangi peran ganda; sebagai argumentator aqidah Aswaja, sekaligus pedagang sutra. Ini pekerjaan yg tak mudah. Karena fokusnya jauh berbeda. Jika satu sisi sebagai pendakwah dan di sisi lain sebagai penulis, maka masih linier alias sejalur. Terlebih lagi, di masa Abu Hanifah tak sama dgn sekarang. 

Para pendakwah, pelajar, ataupun tenaga pengajar kita ketika ini, tak terlalu sulit menggabungkan profesinya itu dgn berbisnis. Sebab, ia dapat berpenghasilan melalui Youtube, jualan melalui Instagram dan facebook, mereka juga dapat sambil buka toko online di market place. Sedangkan Abu Hanifah, jam terbang pasar dgn dakwahnya bertaut jauh tanpa media-media online seperti ketika ini.

Jam Terbang Abu Hanifah Membela Akidah Aswaja

Sejak kali pertama Abu Hanifah mendedikasikan dirinya buat ilmu, ia mencurahkan fokusnya lebih banyak mempelajari dan mengkaji ilmu kalam. Gairah remajanya yg gemar berdebat itu muncul tak terbendung.

Kabarnya, Abu Hanifah tak hanya berdebat dan mengkritisi paham-paham Mu’tazilah dan Khawarij di tanah kelahirannya, di Kufah. Tetapi juga memiliki jam terbang sampai ke kota Bashrah, di mana jarak antara keduanya kurang lebih mencapai 434 km. 

Agar lebih riil, coba kita bandingkan dgn jarak antara Situbondo-Surabaya. Dari Situbondo ke Surabaya, jaraknya kira-kira 200 km. Berarti, dapat dibaygkan jarak antara Kufah dan Bashrah, dua kali lipat Situbondo-Surabaya.

Sekarang, berkat kemajuan transportasi, waktu tempuh maksimal dari kota santri menuju kota metropolitan, sekitar enam jam perjalanan tanpa melalui tol. Bisa lebih cepat bila masuk ke gerbang tol. Sedangkan Abu Hanifah, mengisi jam terbangnya ke Bashrah menggunakan jasa tumpangan hewan. Menumpang kepada kafilah-kafilah yg bolak-balik antara Kufah dan Bashrah itu. Lumayan berat perjuangannya.

Syekh Muhammad Abu Zahrah dalam Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 133) bercerita:

ويقوم بالرحلات المختلفة إلى البصرة ليجادل المعتزلة ويتعلم ما عندهم ويجادل الخوارج ويتعرف فكرهم وهكذا إستمر يتعرف ما عند الفرق المختلفة

Artinya, “Abu Hanifah menuju Bashrah dgn menumpang kepada pelbagai kafilah yg ada guna berdebat dgn Mu’tazilah dan Khawarij, seraya mempelajari dasar teologi dan pemikiran mereka. Begitulah seterusnya  ia aktif mendebati aliran demi aliran yg berbeda dgn Ahlussunnah wal Jamaah.”

Bisa dibilang, Abu Hanifah ialah singa podium Aswaja di masanya. Namun, lambat laun, ia kembali mendapat hidayah. Ia merasa dirinya tak berada di jalan yg benar seperti yg diajarkan para tabiin dan sahabat Nabi. Sebab, hari-harinya penuh debat dan sikap menyalahkan orang lain.

Akhirnya, imam Nu’man pun alih fokus ke halakah dan kajian fiqih, menjauh dari perdebatan teologi. Baginya, kendati dalam fiqih juga banyak perdebatan, tetapi semuanya bernuansa kasih-sayg. Perdebatan fiqih ialah jalan keluar dari kesulitan umat. Beda dgn teologi yg perdebatannya ialah keresahan bagi mereka.

Abu Hanifah Tetap sebagai Entrepreneur

Walau Abu Hanifah telah lama menjauhi dunia pasar dan sibuk dgn dunia barunya di kalangan para santri dan kiai, tapi tak berarti ia benar-benar gulung tikar dari bisnis sutranya. Dirinya tak serta-merta menghilangkan peninggalan mendiang sang ayah.

Ia terus melanjutkan profesinya sebagai entrepreneur dgn manajemen pasar yg lebih profesional lagi, yaitu dgn menjalin kerja sama dgn para pedagang yg lain. Baik melalui akad wakalah atau agency (mewakilkan penjualan komoditasnya), maupun dgn membangun mitra kerja (musyarakah atau partnership). Mengingat, jam belajarnya yg semakin hari semakin padat.

Masih dalam Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 137), Abu Zahrah menulis:

ولما إتجه إلى العلم لم ينقطع عنها بل إستمر في التجارة بنائب ينيبه أو شريك يشاركه وكان مشتركا في التجارة بقدر لا يقطعه عن العلم إذ إنصرف إليه في أكثر أحواله حتى كاد التاريخ ينسى التجارة التي إستمر فيها

Artinya, “Hijrah Abu Hanifah ke halakah intelektual tak lantas membuatnya meninggalkan usaha sutra yg dibangun ayahnya. Usahanya tetap berjalan di tangan para pekerjanya. Ia tetap fokus sebagai manajer bisnis tersebut. Sebab, ia tak punya waktu sebagai pelaku langsung, menjajakkan barang-barangnya. Sebagian besar waktunya dihabiskan di hadapan para ulama. Sampai-sampai, nyaris sejarah melupakan jejak entrepreneur Abu Hanifah.”

Benar, nyaris sejarah melupakan jejak dagang imam Nu’man. Untung saja beberapa sejarawan meneliti dan mencatatnya. Walaupun tak terlalu rapi, kalah dgn karir dan popularitasnya sebagai ulama pendiri Mazhab Hanafi.

Berkah catatan sejarah yg sederhana itu, semua orang yg bergelut di dunia bisnis yg mengenal Abu Hanifah, pasti menjadikannya tokoh panutan dalam karirnya. Bahkan, banyak buku-buku entrepreneurship yg mengulas sejarah dagang Abu Hanifah. Wallahu a’lam bis shawab.

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok NTB.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.