Imam Al-Ghazali menulis tips yg dapat menjadi panduan bagi orang yg sedang marah dan naik pitam supaya tak berbuah kenekatan dan tentu penyesalan. Al-Ghazali mengatakan, peredam angkara murka dan api kemarahan tak lain ialah ilmu dan amal tertentu.
Menurut Imam Al-Ghazali, ilmu dan amal dapat mengatasi api kemarahan yg sedang bergolak dalam sanubari seseorang. Ilmu dan amal tertentu, semacam terapi kejiwaan, dapat memadamkan api kemarahan yg sedang menyala di hati.
فإذا جرى سبب هيجه فعنده يجب التثبت حتى لا يضطر صاحبه إلى العمل به على الوجه المذموم وإنما يعالج الغضب عند هيجانه بمعجون العلم والعمل
Artinya, “Apabila sebab yg membuat kemarahan itu bergejolak, maka seseorang wajib menahan diri sehingga tak sampai melakukan tindakan tercela (yg membuatnya menyesal). Obat yg dapat meredam kemarahan yg bergejolak tak lain ialah ilmu dan amal tertentu,” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439 H-1440 H], juz III, halaman 178).
Imam Al-Ghazali mengatakan, angkara murka yg sedang bergolak dan bergejolak dapat dipadamkan dgn dua pendekatan, yaitu ilmu dan amal. Imam Al-Ghazali menyebutkan enam pendekatan ilmu yg dapat ditempuh:
1. Mengingat kembali Al-Qur’an dan hadits perihal keutamaan menahan marah. Kemauan pada keutamaan ganjaran menahan marah, memaafkan kesalahan orang lain, menerima kekurangan orang lain diharapkan dapat mencegahnya buat melampiaskan kemarahannya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah dibuat naik pitam oleh salah seorang warganya. Ia kemudian meminta ajudannya buat memukul warga pembuat ulah tersebut. Namun warga itu justru membaca Surat Ali Imran ayat 134 yg berisi sifat-sifat orang bertakwa, salah satunya mereka yg menahan marah. Ia kemudian menahan ajudannya, “Tahan, Biarkan dia.”
2. Menakuti diri dgn murka Allah dgn mengatakan dalam hati, “Kuasa Allah padaku lebih besar ketimbang kuasaku pada orang tersebut (membuat ulah). Kalau kulampiaskan kemarahanku padanya, aku khawatir Allah menimpakan murka-Nya padaku. Sedangkan aku lebih membutuhkan ampunan-Nya.”
Dalam kitab-kitab suci terdahulu Allah berfirman, “Anak Adam, ingatlah Aku ketika kau marah, maka Aku mau mengingatmu ketika Kumurka.”
3. Mengingatkan diri pada dampak permusuhan dan konflik berkepanjangan di dunia sekiranya dirinya tak takut pada akhirat.
4. Merenungkan keburukan rupanya ketika marah. Manusia yg melampiaskan kemarahannya mau berubah menjadi bentuk lain, yaitu anjing liar dan binatang buas lainnya. Sedangkan manusia yg dapat mengelola kemarahannya menjadi manusia mulia seperti para nabi, para wali, ulama, dan orang bijak lainnya. ia boleh memilih buat menjadi binatang buas atau makhluk mulia seperti para nabi dan manusia suci lainnya.
5. Menakuti dirinya dgn kemarahan yg menjadi sebab yg mendatangkan siksa Allah. Sementara setan terus melakukan propaganda dan bujukan bahwa kalau tak marah, orang-orang mau mengecilkan dan menghinakannya. Sedangkan menahan pelampiasan kemarahan harus diniatkan sebab Allah. Sedangkan di akhirat kelak orang yg menahan marah mau diseur buat diberi ganjaran besar, “Siapa di antara kalian yg mengharapkan ganjaran Allah dgn menahan marah? Dipersilakan berdiri!”
6. Mengingatkan diri bahwa murka Allah yg berlaku atas sesuatu berjalan sesuai kehendak-Nya, bukan kehendak dirinya. Bagaimana ia dapat mengatakan, “Kehendakku lebih utama ketimbang kehendak Allah.” Sedangkan murka Allah lebih besar ketimbang murkanya.
Adapun amal yg dilakukan berupa doa supaya Allah meredakan kemarahan yg menguasai suasana kebatinan seseorang, berwudhu, duduk bila sebelumnya dalam keadaan berdiri atau rebahan bila sebelumnya berada pada posisi duduk.
“Kalau kau marah, diamlah,” pesan Rasulullah saw kepada Ibnu Abbas ra supaya tak melakukan tindakan ofensif dan dekstruktif.
Demikian ikhtiar yg dapat dilakukan ketika api kemarahan membakar dada seseorang. Ia harus mengontrol dirinya dan mengingat (kehinaan) dirinya yg sejatinya tak pantas melampiaskan dorongan kemarahannya.
Pertanyaan “Memang kita ini siapa?” di tengah kekurangan dan kehinaan diri kita layak diajukan ketika kita marah sebab hanya Allah zat yg berhak demikian di tengah kebesaran, kesempurnaan, dan kekuasaan-Nya. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)