Membahas tentang Tradisi Jahiliyah yg Dihapus Setelah Islam Datang

Sebagai agama yg bijak, Islam tahu bagaimana cara menyikapi tradisi-tradisi yg telah bercokol pada zaman jahiliyah. Ada tradisi yg diadopsi sebab memiliki semangat yg sama dgn nilai-nilai Islam, ada yg dimodifikasi sebab beberapa isinya tak lagi relevan, dan ada pula yg dihapus sama sekali sebab dianggap bertentangan dgn syariat.

Contoh tradisi jahiliyah yg sama dgn nilai-nilai Islam ialah penghormatan terhadap empat bulan haram (asyhurul ḫurum). Sementara tradisi yg mengalami modifikasi seperti ibadah haji yg telah eksis sejak zaman jahiliah, tapi banyak praktik-praktik yg menyimpang. Sedangkan tradisi yg dihapus sama sekali seperti kebiasaan minum khamr dan bermain judi.

Pada pembahasan sebelumnya, penulis telah jelaskan dua model tradisi yg pertama. Pada kesempatan ini, mau dijelaskan model yg ketiga.

Meminum khamr

Dalam kehidupan bangsa Arab zaman jahiliyah, meminum khamr telah menjadi tradisi yg mengakar kuat. Sehingga meminumnya ialah hal wajar, apalagi banyak keuntungan yg diperoleh orang Arab dari minuman tersebut.

 

Menyadari hal itu, Islam tak sera merta melarangnya, tetapi dgn bertahap. Jika dilakukan sekaligus, khawatir mau mendapat penolakan, mengingat minuman ini telah menjadi bagian dari hidup mereka.

Berkaitan dgn hal ini, Imam Fakhruddin ar-Razi mengutip Al-Qaffal mengatakan,

والحكمة في وقوع التحريم على هذا الترتيب أن الله تعالى علم أن القوم قد كانوا ألفوا شرب الخمر ، وكان انتفاعهم بذلك كثيرا ، فعلم أنه لو منعهم دفعة واحدة لشق ذلك عليهم ، فلا جرم استعمل في التحريم هذا التدريج ، وهذا الرفق.

“Hikmah di balik pengharaman khamr secara bertahap ialah sebab tradisi meminum khamr bagi bangsa Arab ketika itu telah melekat kuat, di samping mereka juga merasakan banyak manfaat dari minuman tersebut. Sehingga bila khamr dilarang dgn seketika, jelas mau mempersulit umat. Maka diambillah metode bertahap (tadrîj) sebagai wuduj kasih sayg.” (Ar-Razi, Tafsîr Mafâtiḫul Ghaib, [Beirut: Darul Fikr, 1981], juz VI, h. 43)

Secara detail ar-Razi dalam tafsirnya memaparkan, proses pengharaman meminum khamr sampai menurunkan empat ayat Al-Qur’an. Pertama ialah surat An-Nahl ayat 67 berikut,

وَمِن ثَمَرَٰتِ ٱلنَّخِيلِ وَٱلۡأَعۡنَٰبِ تَتَّخِذُونَ مِنۡهُ سَكَرٗا وَرِزۡقًا حَسَنًاۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ  

Artinya: “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yg memabukkan dan rezeki yg baik. Sesungguhnya pada yg demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yg memikirkan.” (QS. An-Nahl [16]: 67)

Ayat di atas memang menyinggung soal minuman khamr. Redaksinya jelas, minuman memabukkan terbuat dari perasan buah anggur atau kurma. Hanya saja, ketika itu belum diharamkan, sehingga umat Muslim masih mengonsumsinya sebagaimana telah menjadi tradisi.

Sampai kemudian datang Umar bin Khattab, Mu’adz bin Jabal, dan sekelompok sahabat yg mengeluh kepada Nabi Muhammad saw perihal efek negatif akibat mengkonsumsi khamr.

 

“Wahai Rasulullah, berikan kami fatwa tentang khamr. Minuman itu telah membuat akal menjadi terganggu dan harta tergerus,” kata mereka. Kemudian turunlah ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 219 berikut,

يَسْئَلُوْنَكَ نَكَ عَنِ ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِۖ قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٞ كَبِيرٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثۡمُهُمَآ أَكۡبَرُ مِن نَّفۡعِهِمَاۗ  وَ يَسْئَلُوْنَكَ مَاذَا يُنفِقُونَۖ قُلِ ٱلۡعَفۡوَۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّكُمۡ تَتَفَكَّرُونَ  

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa yg besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’. Dan mereka bertanya kepadamu apa yg mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan’. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 219)

Ayat ini belum menghukumi khamr sebagai minuman haram. Hanya saja, Allah swt memberi penjelasan bahwa selain khamr memiliki banyak manfaat seperti dapat diperjualbelikan buat memperoleh penghasilan, minuman ini juga memiliki dampak buruk yg lebih banyak dibanding manfaatnya. Secara logika, orang pasti mau cenderung memilih mana yg lebih maslahat, yaitu tak meminum khamr. 

Dengan kata lain, motif ayat tersebut ialah buat menggiring opini publik terhadap persepsi minuman khamr supaya lebih baik ditinggalkan. Dengan turunnya ayat ini, sebagian masyarakat mulai meninggalkan khamr. Sampai kemudian Abdurrahman bin Auf mengundang banyak orang buat meminum khamr hingga mabuk. Dalam keadaan masih mabuk, sebagian dari mereka melaksanakan shalat. Kebetulan yg dibaca ialah surat Al-Kafirun, tapi terjadi kesalahan dgn redaksi,

قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ  

Artinya: “Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku mau menyembah apa yg kamu sembah.” 

Semestinya ada la nafi (لا) sebelum kata أَعۡبُدُ sehingga artinya ‘tidak menyembah’, bukan ‘menyembah’. Jelas ini bukan persoalan sepele sebab mengubah ayat Al-Qur’an yg berbahaya secara akidah, yaitu mengakui sesembahan orang-orang kafir. Kemudian turunlah Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 43,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ 

Artinya: “Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk…” (QS. An-Nisa [4]: 43)

Setelah turun ayat tersebut, jumlah orang yg mengkonsumsi khamr sangat sedikit. Sampai kemudian sejumlah kaum Anshar berkumpul buat meminum khamr, ikut serta di dalamnya Sa’d bin Abi Waqash. Begitu telah mabuk, mereka tampak saling berbangga diri dan bersahut dgn syair (sesuatu yg lumrah di bangsa Arab ketika itu). Dalam keadaan masih mabuk, Sa’ad menggubah sebuah syair yg menyinggung kaum Anshar. 

Merasa tersinggung, salah seorang dari Anshar memukul Sa’d dgn tulang rahang unta sampai Sa’d terluka. Dari kejadian itu, Umar bin Khattab mengadu kepada Rasulullah dan memohon kepada Allah, “Ya Allah, berilah kami penjelasan yg memuaskan terkait khamr.” Lalu turunlah Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 90,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ  

Artinya: “Hai orang-orang yg beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban buat) berhala, mengundi nasib dgn panah, ialah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah [5]: 90) (ar-Razi, juz VI, h. 43)

Sejak ketika itulah khamr secara resmi diharamkan oleh Islam, tepatnya pada tahun tiga hijriah atau setelah peristiwa perah Uhud. Perang Uhud sendiri terjadi pada bulan Syawal tahun tiga hijriah. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’ânil ‘Adzîm, [Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2006], juz VIII, h. 156)

Bersamaan dgn pengharaman khamr pula, ayat di atas juga mengharamkan tradisi bangsa Arab lainnya, yaitu permainan judi yg dalam bahasa Arab disebutkan dgn kata al-maisir.

Melalui proses pengharaman minuman khamr di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam memberantas tradisi yg menyimpang dari syariat dan telah mengakar kuat di masyarakat, Islam tetap bermain bijak, tak gegabah. Ini menjadi metode dakwah yg sangat penting supaya Islam mudah diterima oleh lapisan masyarakat mana pun.

Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.