Membahas tentang Menyikapi Kontak Erat & Isoman ketika Pandemi Covid-19

Banyak orang yg merasa takut dan khawatir setelah mendengar orang terdekatnya terpapar pandemi Covid-19. Apalagi bila dia termasuk orang yg kontak erat dgn kawan atau keluarga dekatnya yg dinyatakan positif terjangkit Covid-19.

Bukan saja sebab khawatir terhadap dirinya sendiri, tetapi juga khawatir sebab mungkin telah berinteraksi dgn orang lain lagi di sekitarnya. Padahal, umumnya orang mengalami kontak erat tanpa kesengajaan sebab sangat sulit buat menghindari paparan pandemi.

Kekhawatiran tersebut sangat beralasan sebab Covid-19 memang terbukti menular dgn cepat dewasa ini. Bukti-bukti ilmiah dan fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemungkinan orang yg kontak erat terpapar dari orang yg dinyatakan positif Covid-19 tetap ada. Namun, tak semua orang yg kontak erat juga positif setelah dites dgn metode yg tersedia.

Kenyataan yg terjadi di lapangan menunjukkan bahwa fenomena kontak erat memerlukan kewaspadaan dan kesadaran diri. Kewaspadaan berbeda dgn kekhawatiran dan ketakutan yg berlebihan. Orang yg waspada dapat mengendalikan diri dgn penuh kesadaran tanpa rasa khawatir dan tanpa takut yg berlebihan.

Kesadaran buat mengikuti prosedur lanjutan apabila dinyatakan termasuk kontak erat membutuhkan rasa kepedulian dan empati terhadap sesama. Orang yg dikategorikan kontak erat berarti mengetahui bahwa orang yg semula dekat dgnnya kini sedang sakit. Selain itu, dia sendiri harus waspada supaya kesehatannya tetap terjaga dan aman bagi orang lain.

Banyak orang yg mempertanyakan, mengapa harus isolasi mandiri padahal hasil tes negatif? Sedangkan negara lain ada yg telah tak ada memberlakukan pembatasan bagi orang yg termasuk kontak erat dgn keharusan isolasi mandiri. Dalam situasi seperti ini, Indonesia termasuk negara yg menerapkan prinsip kehati-hatian sehingga aturan yg diberlakukan masih menganjurkan isolasi mandiri bagi orang yg kontak erat.

Daripada menggerutu sebab disarankan melakukan isolasi mandiri, lebih baik diniatkan buat mengikuti amalan saleh seorang tabi’in yg bernama Mutharrif. Dalam kitab Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun, Imam as-Suyuthi menuliskan:

“Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ghailan bin Jarir, dia berkata, ketika Mutharrif terjangkit thaun, dia melakukan isolasi mandiri” (Kitab Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun karya Imam Suyuthi, Penerbit Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: halaman 170)

Tabi’in yg bernama Mutharrif tersebut memilih buat melakukan isolasi mandiri ketika ada pandemi thaun, meskipun Beliau tak terpapar. Oleh sebab itu, seorang muslim yg dianjurkan melakukan isolasi mandiri meskipun hanya termasuk kategori kontak erat dan tak terpapar pandemi dapat berniat mengambil teladan dari tabi’in ini.

Apabila orang yg termasuk kontak erat dinyatakan negatif terhadap hasil tes, maka dia patut bersyukur. Namun, dia tetap harus mengamati kondisi kesehatan tubuhnya sebagai bentuk kewaspadaan. Masa inkubasi virus yg berkisar 2-3 hari setelah paparan tak mau menampakkan gejala, tetapi setelah 5 hari biasanya mau muncul gejala. Pada masa-masa inilah seseorang diharapkan buat melaksanakan isolasi secara mandiri dan menerapkan protokol kesehatan.

Bila setelah 5 hari tak ada gejala penyakit atau bahkan dinyatakan negatif dgn tes ulang, maka dia dapat beraktivitas kembali dgn tetap menjaga protokol kesehatan. Kesyukuran mendapatkan nikmat kesehatan perlu dipertahankan selalu. Aktivitas rutin yg mungkin sempat terhenti sebab menjalani isolasi mandiri kini dapat dilanjutkan seperti biasa.

Apabila hasil tes orang yg termasuk kontak erat dinyatakan positif, maka dia perlu bersabar. Dia perlu tetap berprasangka baik terhadap Allah SWT dan juga tak menyalahkan orang yg menjadi sumber kontak eratnya. Selanjutnya, tentu dia perlu memperhatikan gejala yg mungkin muncul. Apabila tak ada gejala yg timbul tentu perlu bersyukur, sedangkan bila bergejala perlu berikhtiar buat mendapatkan pengobatan.

Bagaimana dgn orang yg menjadi sumber kontak erat yg telah jelas positif berdasarkan hasil tes Covid-19? Seringkali orang ini merasa sangat bersalah apabila ada orang di sekitarnya yg kontak erat ternyata juga terpapar pandemi. Perasaan bersalah ini sangat manusiawi, tetapi tak boleh membuat dirinya tertekan. Semua yg telah terjadi perlu disadari sebagai bagian takdir dari Allah SWT.

Seringkali orang yg menjadi sumber kontak erat tak menyadari bahwa dirinya terinfeksi Covid-19. Sangat mungkin tak ada gejala yg muncul pada orang tersebut atau hanya mengalami gejala ringan seperti penyakit flu biasa. Dalam keadaan tak tahu tersebut, dia beraktivitas dan berinteraksi dgn orang lain sehingga ketika dinyatakan terinfeksi, orang di sekitarnya menjadi yg termasuk kontak erat.

Pasien sumber kontak erat perlu isoman dan menjalani pengobatan. Ketika dinyatakan sakit dgn ataupun tanpa gejala disertai hasil tes yg positif Covid-19, seseorang yg menjadi sumber kontak erat juga perlu memperbanyak doa. Doa buat dirinya supaya segera diberi kesehatan dan doa kebaikan buat orang lain yg termasuk kontak erat dgn dirinya. Disertai dgn permohonan maaf, dia dapat menyampaikan doa-doa kebaikan yg banyak buat orang-orang di sekitarnya.

Orang-orang yg termasuk kontak erat juga perlu merespon dgn bijak permohonan maaf dari orang yg menjadi sumber awal kontak erat. Selain tak menyalahkannya, respon positif dan dukungan perlu diberikan buat orang yg menjadi sumber kontak erat ini sebab umumnya dialah yg jelas mengalami sakit.

Orang yg sakit doanya didengar Allah SWT dan dianggap seperti doanya malaikat. Maka orang yg menjadi sumber awal kontak erat ini sangat perlu dimintai doa yg baik.

Dalam kitab Thibbun Nabawi, Al-Hafiz Adz-Dzahabi menyampaikan sebuah hadits tentang anjuran minta doa kepada orang yg sakit:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Umar radiyallahu ‘anh, bila engkau menemui orang yg sakit maka mintalah kepadanya supaya berdoa buatmu sebab doa orang sakit itu sama dgn doa para malaikat.” (Al-Hafidz Adz-Dzahabi,Thibbun Nabawi, Beirut, Dar Ihyaul Ulum, 1990: halaman 291)

Dalam konteks ketika ini, menemui orang yg sakit tak harus kontak langsung tetapi dapat melalui media yg ada. Orang sakit yg sedang isoman sebab Covid-19 tak dapat ditemui secara langsung.

Sikap yg selayaknya diterapkan dari fenomena kontak erat ini ialah tak saling menyalahkan orang lain. Hal ini membutuhkan keikhlasan dan rasa empati disertai dgn kesadaran diri buat bertanggungjawab terhadap kesehatan pribadi. Apabila hal-hal positif ini dimunculkan, maka mau menumbuhkan kemauan buat saling menjaga dan mendoakan terhadap orang-orang di sekitarnya.
Ustadz Yuhansyah Nurfauzi





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.