Abu Muzahim al-Khaqani, Penyusun Pertama Ilmu Tajwid

Selain sebagai rujukan paling otoritatif dan valid, Al-Qur’an juga memiliki aturan-aturan secara khusus dalam membaca dan memahaminya. Menjaga kemurnian dan kesakralan pelafalan bacaannya yg memiliki ciri khas tentu menjadi sebuah keharusan bagi umat Islam.

 

Selain itu, buat dapat memahami Al-Qur’an dgn benar, tentu yg diperlukan pertama kali ialah membaca Al-Qur’an dgn benar. Tanpanya mau sangat sulit buat dapat memahami Al-Qur’an, atau mau keliru bila memaksa buat memahaminya. Dalam hal ini, dibutuhkan yg namanya ilmu khusus yg membahas cara baca Al-Qur’an, yaitu ilmu tajwid.

 

Di antara hasil usaha para ulama klasik dalam bidang penjagaan cara membaca Al-Qur’an (ilmu tajwid) ialah beberapa kitab kecil, yaitu; (1) Muqaddimah al-Jazariyyah; dan (2) Tuhfatul Athfal. Dua matan (matn) ini dipelajari di berbagai pondok pesantren, sekolah, majlis ta’lim, bahkan universitas. Puluhan bahkan ratusan buku telah lahir buat menjelaskan dan merinci kedua matan yg penuh berkah ini.

 

Selain dua matan tersebut, ada matan lain yg juga lahir sebagai salah satu bentuk usaha buat menjaga cara membaca Al-Qur’an, yaitu Ra`iyatul Khaqani atau juga dikenal dgn Qashidah Abi Muzahim al-Khaqani allati Qalaha fil Qurra`i wa Husnil Ada`. Hanya saja, perhatian umat terhadap matan ini tak sebesar perhatian mereka terhadap dua matan populer yg telah disebut sebelumnya. Padahal, matan ini merupakan matan tertua yg berbicara tentang tajwid dan cara membaca Al-Qur’an.

 

Sebelum membahas perihal sejarah kodifikasi ilmu tajwid lebih mendalam, ada baiknya bagi penulis buat memulainya dgn menjelaskan definisinya terlebih dahulu demi memperoleh pemahaman yg lebih dalam tentangnya.

 

Definisi Ilmu Tajwid

Syekh Syamsuddin Abul Khair ibn Jazari Muhammad bin Muhammad bin Yusuf (wafat 833 H) dalam kitab at-Tamhid fi Ilmit Tajwid mendefinisikan tajwid sebagai berikut,

 

“Tajwid ialah menghiasi bacaan Al-Qur’an dan memperindah bacaannya. Hal ini dilakukan dgn cara mengeluarkan suatu huruf sesuai dgn tempat keluarnya (makharijul huruf), membacanya sesuai dgn bacaannya dan melafalkan dgn penuh kelembutan. Selain itu, tak boleh berlebih-lebihan dalam mengeluarkan makhrajnya huruf dan sembrono dalam mengucapkannya” (Syekh Syamsuddin, At-Tamhid fi Ilmit Tajwid, [Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1985 M/1405 H, tahqiq: Syekh Ali Husain], h. 59).

 

Berdasarkan definisi di atas, dapat kita pahami bahwa wilayah kajian ilmu tajwid mencakup semua pembahasan perihal bacaan Al-Qur’an secara tematik dan sistematis. Tidak ada satu kalimat dan huruf pun yg terlepas dari ilmu tajwid. Semuanya dibahas secara terperinci dan detail.

 

Permulaan Kodifikasi Ilmu Tajwid

Ilmu yg membahas cara baca Al-Qur’an ini telah bermula sejak awal mula datangnya Islam, yaitu pada masa Rasulullah. Sebab, Allah sendirilah yg memerintah buat membaca Al-Qur’an dgn tajwid dan tartil. Hanya saja, pada masa itu belum ditemukan pengodifikasian secara khusus.

 

Bacaan-bacaan Rasulullah tentu menjadi referensi paling otoritatif bagi para sahabat. Semua permasalahan tentang cara membaca Al-Qur’an langsung diputuskan oleh mereka berdasarkan arahan secara langsung dari Nabi. Oleh sebabnya, belum ditemukan satu kodifikasi ilmu yg membahas secara khusus tentang cara baca Al-Qur’an saat itu. Cara baca mereka masih kuat dan utuh dgn mengacu pada bacaan Rasulullah secara langsung saat bersamanya.

 

Masa sahabat pun selesai, dan diganti oleh masa tabiin (orang-orang yg menututi sahabat). Pada masa itu perkembangan Islam semakin luas, tentu juga banyak pemeluknya yg semakin beragam; dari berbagai bangsa dgn tipikal sosial dan geografis yg plural. Akibatnya, terjadilah asimilasi bangsa Arab dgn bangsa-bangsa lainnya sehingga banyak umat Islam yg membaca Al-Qur’an dgn gaya dan kehendak sendiri, tanpa metode dan tanpa ilmu.

 

Penyebaran Islam yg terus meluas tak lantas bersamaan dgn menjadikan pemeluknya dapat membaca Al-Qur’an dgn benar dan tepat sesuai dgn bacaan yg dicontohkan oleh Rasulullah. Dari sinilah, ilmu yg membahas secara khusus perihal cara membaca Al-Qur’an dgn benar mulai dibutuhkan.

 

Tepat pada abad kedua setelah hijrah, lahirlah seorang anak yg kemudian menjadi ulama tersohor yg berhasil mengodifikasikan ilmu tajwid, dia ialah Imam Abu Muzahim al-Khaqani, yg kemudian dikenal dgn kitab karangannya yg berjudul Qashidah Raiyyah fil Qurra wa Husnil Ada. Pendapat ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh al-Jazari dalam kitabnya, Ghayatun Nihayah fi Thabqatil Qurra:

 

هُوَ أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ فِي التَّجْوِيْدِ

 

Artinya, “Dia (Abu Muzahim) ialah orang pertama yg menyususun perihal (ilmu) tajwid.”

 

Biografi Abu Muzahim al-Khaqani

Nama lengkapnya ialah Abu Muzahim Musa bin ‘Ubaidillah bin Yahya bin Khaqan Al-Khaqani Al-Baghdadi. Ia lahir di Baghdad, tahun 248 H, dan wafat bulan Dzulhijah tahun 325 H. (862-937 M). Beliau satu zaman dgn Imam Abu Bakr bin Musa, yg lebih dikenal dgn nama Ibn Mujahid (wafat 324 H) penyusun kitab As-Sab’ah fil Qiraat. Keduanya memiliki banyak memiliki guru dan murid yg sama.

 

Menurut Syekh Ibn Al-Jazari, keluarga Abu Muzahim merupakan keluarga bangsawan pada masa Kesultanan Dinasti ‘Abbasiyyah. Ayahnya ‘Ubaydillah ialah seorang menteri pada masa Khalifah Al-Mutawakkil (Ja’far bin Mu’tashim bin Rasyid 205-247 H.). Begitupula saudaranya Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Ubaidillah. Jabatan ayahnya sebagai menteri masih berlanjut pada masa pemerintahan Khalifah Ahmad bin Ja’far Al-Mutawakkil.

 

Abu Muzahim menghabiskan hari-harinya di Baghdad, tepatnya di wilayah tempat ayahnya bertugas. Namun, menurut beberapa riwayat, beliau juga pernah tinggal di Makkah dan Madinah. Pada saat usianya 15 tahun ayahnya wafat, namun ia tetap berada dalam lingkungan kesultanan sebab salah seorang saudaranya juga merupakan seorang menteri.

 

Namun yg patut ditiru dan diteladani dari sosok Abu Muzahim ialah sikap acuhnya pada dunia. Beliau meninggalkan dunia dan menyibukkan dirinya dalam menysiarkan ajaran Islam. Beliau meriwayatkan hadits, mengajarkan Al Qur`an, dan berpegang teguh pada syariat Islam. Beliau juga merupakan orang yg sangat dalam pengetahuannya dalam bahasa Arab, sya’ir, dan seorang ahli tajwid. (Ibnu Al-Jazari, Ghayatun Nihayah, halaman 419).

 

Selain semangat dalam menekuni qiraat Al-Qur’an, Abu Muzahim al-Khaqani juga semangat buat mengambil riwayat hadits dari para ulama ahli hadits, di antaranya ialah: Syekh Abbas bin Muhammad Ad-Duri, Syekh Muhammad bin Ismail At-Tirmidziy, Syekh ‘Ubaidillah bin Abi Sa’d Al-Warraq, Syekh Ishaq bin Ya’qub Al-Aththar, Al-Harits bin Abi Salamah, Imam ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dan ulama lainnya pada masa itu.

 

Pujian Ulama kepada Abu Muzahim al-Khaqani

Lahirnya Abu Muzahim al-Khaqani memberikan pengaruh yg sangat besar pada keberlangsungan ajaran Islam, khususnya dalam ilmu Al-Qur’an. Baygkan, seandainya Allah tak melahirkan sosok sepertinya yg sukses mengodifikasikan ilmu tajwid, tentu cara baca Al-Qur’an umat Islam saat ini masih banyak yg salah dan tak terarah.

 

Oleh sebabnya, kecerdasan, kehebatan dan luasnya ilmu pengetahuan yg dimiliki Abu Muzahim al-Khaqani mendapatkan apresiasi dan pujian dari para ulama, di antaranya dari Syekh Abu Umar ad-Dani (wafat 440 H), dalam salah satu kitabnya ia memujinya dgn pujian yg sangat istimewa, beliau mengatakan,

 

كَانَ فِي أَبِي مُزَاحِم مِنَ الْمَنَاقِبِ الْمَحْمُوْدَةِ وَالْأَخْلَاقِ الشَّرِيْفَةِ ظَاهِرِ النُّسُكِ مَشْهُوْرِ الْفَضْلِ وَافِرِ الْحَظِّ مِنَ الدِّيْنِ وَالْعِلْمِ حُسْنِ الطَّرِيْقَةِ سُنِّيًّا جَمَاعِيًّا

 

Artinya, “Dalam diri Abu Muzahim terdapat karakter yg terpuji, akhlak yg mulia, ahli ibadah yg nyata, terkenal keutamannya, pengetahuan yg luas dalam agama dan gudangnya ilmu, memiliki thariqah yg baik, seorang penganut Ahlussunnah wal Jamaah” (Abu Umar ad-Dani, Syarah Qasidah Al-Khaqani, [Bairut: Darul Kutubil ‘Ilmiah], h. 18).

 

Syekh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi (wafat 748 H) juga memberikan apresiasi dan pujian kepada Imam Abu Muzahim, dalam kitabnya dinyatakan,

 

اَلْاِمَامُ الْمُقْرِئُ الْمُحَدِّثُ، أَبُوْ مُزَاحِم مُوْسَى بِنْ عُبَيْدِ اللهِ بن يَحْيَى بن خَاقَانْ، اَلْخَاقَانِي اَلْحَافِظُ البَغْدَادِي

 

Artinya, “Seorang imam, pakar qiraat, pakar hadits, Abu Muzahim Musa bin ‘Ubaidillah bin Yahya bin Khaqan Al-Khaqani, seorang hafizh, berkebangsaan Baghdad.” (Ad-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, [Mu’assasah ar-Risalah, cetakan ketiga: 1985 M/1405 H, tahqiq: Syekh Syu’ib], juz XV, h. 94).

 

Demikian sejarah singkat awal mula kodifikasi ilmu tajwid, sekaligus biografi dan latar belakang penyusun. Semoga dgn mengetahui sejarahnya, kita dapat lebih mencintai Al-Qur’an dan senang buat membacanya, sekaligus berhati-hati dalam melafalkan huruf dan kalimatnya.

 

 

Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan.


 

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.