Adab Bertetangga dalam Catatan Hadits Imam Al-Ghazali

Islam tak hanya mengatur hubungan kita dgn Allah, tetapi juga mengatur hubungan kita dgn sesama, bahkan dgn sesama makhluk. Tak terkecuali hubungan dgn tetangga. Di tengah masyarakat supersibuk dan heterogen, seperti di perkotaan sekarang ini, hak-hak tetangga kurang mendapat perhatian, terlebih bila seseorang tahu bahwa tetangganya non-Muslim.

Karena itu, perlu kiranya kita mengingat kembali apa saja hak dan kewajiban kita sebagai tetangga dalam kacamata agama kita. Seberapa besar perhatian agama kita dalam urusan bertetangga? Sejauh mana batasan tetangga kita?

Dalam Mukasyafatul Qulub (Terbitan Darul Kitab al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 2005/1426], halaman 301), Imam Al-Ghazali menguraikan tuntunan Rasulullah SAW dalam bertetangga.

Disampaikannya, dasar penetapan hak bertetangga itu sendiri dapat kita simak, salah satunya, dalam hadits berikut ini, “Tetangga itu ada tiga: tetangga yg memiliki satu hak. Tetangga yg memiliki dua hak. Tetangga yg memiliki tiga hak. Tetangga yg memiliki tiga hak ialah tetangga Muslim sekaligus bersaudara, yaitu hak sesama Muslim, hak saudara, dan hak tetangga. Kemudian tetangga yg memiliki dua hak ialah tetangga Muslim, yaitu hak sesama Muslim dan hak tetangga. Sedangkan hak yg memiliki satu hak ialah tetangga yg musyrik,” (HR At-Thabrani).

Berdasarkan hadits di atas, kewajiban kita memenuhi hak tetangga, bukan saja kepada tetangga Muslim saja, tetapi juga kepada tetangga yg non-Muslim.

Dalam sejumlah hadits lainnya, Rasulullah SAW menekankan pentingnya berbuat baik kepada tetangga, sekaligus ancaman bagi mereka yg mengabaikannya. Antara lain ialah hadits berikut, “Siapa saja yg beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tetangga,” (HR Abu Dawud).

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bahkan mengaitkan hak bertetangga dan kesempurnaan iman. “Tidak sempurna keimanan seorang hamba sampai tetangganya aman dari keburukan-keburukannya,” (HR At-Tharani).

Dalam hadits berikutnya ia berpesan, “Perbaikilah hubungan baik dgn orang yg bertetangga dgnmu, niscaya engkau mau menjadi Muslim yg baik,” (HR Ibnu Majah).

Kemudian, disampaikan oleh Rasulullah SAW, “Malaikat Jibril senantiasa mewasiatkan tetangga kepadaku, sampai-sampai aku mengira bahwa Jibril menetapkan hak waris bagi tetangga (HR Malik).

“Sungguh, dua orang pertama yg bermusuhan pada hari Kiamat ialah dua orang yg bertetangga,” (HR Ahmad).

Pertanyaan berikutnya, sejauh manakah batas tetangga kita? Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW pernah memberikan batasan minimalnya, sebagaimana yg diriwayatkan oleh Az-Zuhri. Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan mengadukan tetangganya. Kemudian Nabi SAW memerintah laki-laki tersebut buat berteriak di depan pintu masjid.

“Ingatlah, empat puluh rumah itu masih tetangga.” Dijelaskan oleh Az-Zuhri, “Maksudnya empat puluh rumah ke arah sana, empat puluh rumah ke arah sana, empat puluh rumah ke arah sana, empat puluh rumah ke arah sana,” kata Rasulullah sambil menunjuk ke empat arah.

Dalam konteks sekarang, tetangga seseorang mungkin saja bertambah ke arah lainnya, seperti ke atas atau ke bawah. Contohnya, orang yg tinggal di apartemen atau di rumah susun.

Ketahuilah bahwa hak tetangga itu bukan saja menghentikan sikap menyakitkan, tetapi juga menahan penderitaan darinya. Dengan kata lain, menghentikan sikap kurang baik atau menahan penderitaan dari tetangga, belum cukup dalam memenuhi hak tetangga. Sebab, masih ada hak lain yg harus dipenuhi, yaitu bersikap lemah lembut dan tetap mendorong mereka kepada kebaikan.

Tak heran bila pada hari Kiamat, seorang tetangga yg miskin mau mengadukan tetangganya yg kaya, “Wahai Rabb, tanyalah tetanggaku ini, mengapa dia menghalangi kebaikannya buatku dan juga menutup pintunya kepada selainku.” 

Lebih lanjut, Rasulullah SAW memaparkan hak-hak tetangga:

أَتَدْرُونَ مَا حَقُّ الْجَارِ؟ إِنِ اسْتَعَانَكَ أَعَنْتَهُ، وَإِنِ اسْتَقْرَضَكَ أَقْرَضْتَهُ، وَإِنِ افْتَقَرَ عُدْتَ عَلَيْهِ، وَإِنْ مَرِضَ عُدْتَهُ، وَإِنْ مَاتَ شَهِدْتَ جَنَازَتَهُ، وَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ هَنَّأْتَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ مُصِيبَةٌ عَزَّيْتَهُ، وَلَا تَسْتَطِيلَ عَلَيْهِ بِالْبِنَاءِ، فَتَحْجُبَ عَنْهُ الرِّيحَ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَإِذَا شَرَيْتَ فَاكِهَةً فَاهْدِ لَهُ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَأَدْخِلْهَا سِرًّا، وَلَا يَخْرُجْ بِهَا وَلَدُكَ لِيَغِيظَ بِهَا وَلَدَهُ، وَلَا تُؤْذِهِ بِقِيثَارِ قَدْرِكَ إِلَّا أَنْ تَغْرِفَ لَهُ مِنْهَا  أَتَدْرُونَ مَا حَقُّ الْجَارِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَبْلُغُ حَقُّ الْجَارِ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّنْ رَحِمَ اللهُ

Artinya, “Apakah kalian tahu hak tetangga? Jika tetanggamu meminta bantuan kepadamu, engkau harus menolongnya. Jika dia meminta pinjaman, engkau meminjaminya. Jika dia fakir, engkau memberinya. Jika dia sakit, engkau menjenguknya. Jika dia meninggal, engkau mengantar jenazahnya. Jika dia mendapat kebaikan, engkau menyampaikan selamat buatnya. Jika dia ditimpa kesulitan, engkau menghiburnya. Janganlah engkau meninggikan bangunanmu di atas bangunannya, hingga engkau menghalangi angin yg menghembus buatnya, kecuali atas izinnya. Jika engkau membeli buah, hadiahkanlah sebagian buatnya. Jika tak melakukannya, maka simpanlah buah itu secara sembunyi-sembunyi. Janganlah anakmu membawa buah itu supaya anaknya menjadi marah. Janganlah engkau menyakitinya dgn suara wajanmu kecuali engkau menciduk sebagian isi wajan itu buatnya. Apakah kalian tahu hak tetangga? Demi Dzat yg menggenggam jiwaku, taklah hak tetangga sampai kecuali sedikit dari orang yg dirahmati Allah,” (HR At-Thabarani).

Dalam hadits lainnya disebutkan, termasuk mengganggu dan menyakiti perasaan tetangga walaupun hanya dgn memukul hewan peliharaannya, “Jika engkau melempar anjing tetanggamu, sejatinya engkau telah menyakiti tetanggamu.”

Tidak ringan ganjaran seorang yg menyakiti perasaan tetangganya. Sebab pernah disampaikan kepada Rasulullah SAW, “Sesungguhnya, si fulanah selalu berpuasa di siang hari dan shalat malam di malam hari, namun dia suka menyakiti para tetangganya.” Berliau bersabda, “Dia mau ada di neraka.”

Begitu pun saat kita memasak makanan. Khawatir aromanya mengganggu tetangga, kita diperintahkan buat membaginya, sebagaimana riwayat Abu Dzar. “Jika engkau memasak makanan, maka perbanyaklah airnya. Kemudian lihatlah sebagian ahli bait yg menjadi tetanggamu, lalu ciduklah sebagian itu buat mereka.”

Sebuah kisah menarik dalam menjaga hak tetangga pernah terjadi pada seorang laki-laki yg mengeluhkan banyaknya tikus di rumahnya. Seorang kawannya menyarankan, “Mengapa engkau tak memelihara kucing saja?” Laki-laki tersebut menjawab, “Aku takut, bila mendengar suara kucing, tikus-tikus di rumahku lari ke rumah tetangga. Sedangkan aku tak mau keadaan yg tak aku sukai ini dialami oleh mereka.”

Ditambahkan oleh Al-Ghazali, termasuk hak tetangga ialah diberi ucapan salam lebih dahulu, tak terlalu lama bila diajak bicara, tak banyak ditanya, dijenguk bila sedang sakit, dihibur bila sedang mendapat musibah, mendapat ungkapan bela sungkawa, mendapat ucapan selamat saat mendapat kebahagiaan, didampingi saat mendapat kegembiraan, dimaafkan saat melakukan kesalahan, ditutupi kekurangan-kekurangannya, tak diganggu tempat tinggalnya, seperti dipakai menyimpan barang, tak dialiri saluran airnya oleh air dari rumah kita, tak dikotori halamannya oleh tanah kita, tak dipersempit jalan menuju rumahnya, tak mengintip barang bawaan yg dibawa ke rumahnya, ditutupi aib keburukannya, diringankan kesulitan dan kebutuhannya, dijaga rumahnya saat dia berpergian, tak diintip pembicaraannya, dijaga kehormatannya, tak diganggu pelayannya, berlemah-lembut kepada anaknya terutama melalui pembicaraan, ditunjukkan ke jalan yg belum diketahuinya, baik urusan dunia maupun urusan akhirat.

Itulah sejumlah hak tetangga di tengah kaum Muslimin, sebagaimana yg diriwayatkan ‘Amr ibn Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi SAW.

Perlakuan itu tak saja diberikan kepada tetangga kita yg latar belakangnya beragama Islam, tetapi juga kepada tetangga kita yg non-Muslim. Bahkan, demi menjaga hak dan kehormatan tetangga, Al-Hasan tak mempermasalahkan memberikan daging kurban kepada tetangga yg non-Muslim, baik Yahudi maupun Nasrani. Wallahu a’lam.

(Ustadz M Tatam Wijaya)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.