Sekte Mu’tazilah ialah sebuah sekte yg mulai berkembang di awal abad kedua Hijriah. Sekte ini diajarkan oleh Washil bin Atha’, seorang murid al-Hasan al-Bashri yg memilih buat menyimpang dari ajaran guru-gurunya. Di kemudian hari, sekte yg ia dirikan dijuluki dgn sekte Mu’tazilah yg diambilkan dari lafadz i’tazal (menyendiri/menyimpang) sebab telah menyimpang dari paham mayoritas umat Islam.
Pada mulanya, Mu’tazilah yg diajarkan Washil bin Atha’ hanya menyimpang dgn penetapan empat kaidah saja, yaitu:
Pertama, menafikan semua sifat dzat Allah yg telah termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits seperti ilm, qudrah, iradah, dan sesamanya. Misalnya, mereka menganggap ilmu Allah tak mungkin Qadim (dahulu) sebab seandainya ilmu Allah dahulu niscaya mau ada dua hal yg dahulu yaitu Allah dan ilmu Allah. Hal ini mustahil sebab tak mungkin ada yg menyamai Allah dalam sifat Qadim (dahulu).
Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan, “Seandainya Allah memiliki ilmu niscaya Allah dapat diukur sejauh mana ilmunya sebagaimana manusia yg dapat diukur tingkat keilmuannya. Dan seandainya Dia memiliki ilmu maka ilmu tersebut mau sirna sebab tak ada yg abadi kecuali Dzat Allah. Seandainya Allah memiliki ilmu niscaya Dia mau membutuhkan anggota tubuh sebagai tempat menyimpan ilmu sebagaimana manusia yg membutuhkan otak dan hati sebagai tempat menyimpan ilmu. Seandainya Allah membutuhkan ilmu-Nya yg ia ciptakan buat mengetahui niscaya Ia ialah Dzat yg membutuhkan kepada ciptaan-Nya dan ini semua tak mungkin secara akal.” Walhasil, mayoritas sekte Muktazilah meyakini Allah mengetahui dgn dzatnya yg abadi tanpa melalui perantara ilmu (al-Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fi Ushul ad-Din, Kairo: Maktabah al-Wahbah Kairo, 1996, h. 212).
Pendapat ini disanggah oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa ilmu Allah ialah bersifat Qadim (dahulu) sebab seandainya ilmu Allah tak bersifat Qadim niscaya Allah awalnya tak mengetahui kemudian menciptakan pengetahuan sebagaimana manusia yg terlahir bodoh tak mengetahui apa-apa kemudian ia belajar dan memiliki ilmu. Hal ini tentu tak mungkin sebab pendapat Mu’tazilah ini menetapkan sifat Naqish (kurang) kepada Allah.
Kedua, menetapkan bahwa kehendak Allah hanya seputar perkara yg baik menurut akal manusia. Mereka meyakini bahwa Allah tak boleh menghendaki keburukan kepada makhluk-Nya sebab hal tersebut bertentangan dgn sifat Maha Penyayg dan Maha Pengasih yg dimiliki Allah. Selain itu, Allah juga harus mengutus nabi dan rasul sebagai pengingat manusia atas perintah dan larangan Allah serta balasan yg mereka dapatkan di hari kiamat. Sedangkan seluruh keburukan yg dilakukan ataupun menimpa manusia ialah akibat dari perbuatan mereka tanpa sedikit pun ada campur tangan dari Allah.
Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan, “Allah hanya menghendaki perkara yg baik sebab Dia telah melarang seluruh perkara maksiat. Bagaimana mungkin Allah marah dan menghukum orang-orang yg bermaksiat di hari kiamat sedangkan Dia sendirilah yg menghendaki perbuatan maksiat tersebut terwujud selama di dunia? Bagaimana mungkin Allah mengutus para nabi dan rasul supaya menyeru manusia meninggalkan maksiat sedangkan maksiat tersebut Allah sengaja wujudkan sendiri?” (al-Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fi Ushul ad-Din, 1996: 233).
Pendapat ini disanggah oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa seluruh takdir yg baik dan buruk ialah dari Allah serta perbuatan makhluk tak lepas dari izin kehendak-Nya. Seandainya ada perbuatan maksiat yg tak dikehendaki Allah terjadi niscaya Allah memiliki sifat lemah sebab tak mampu menggagalkan maksiat yg tak Dia kehendaki wujud. Oleh sebab itu di sini perlu dibedakan antara ridha dan kehendak-Nya. Ahlussunnah wal Jama’ah mencontohkan, ada hal yg diridhai dan dikehendaki Allah terjadi seperti imannya sahabat Abu Bakar dan ada hal yg tak diridhai Allah tetapi dikehendaki Allah buat terjadi seperti kafirnya Abu Jahal.
Ketiga, menetapkan bahwa orang yg fasiq dan durhaka kepada Allah tak termasuk golongan orang yg beriman dan juga bukan termasuk golongan orang kafir. Mereka berpendapat bahwa orang fasik dan ahli maksiat tak dapat disebut sebagai orang beriman. Karena hanya orang yg baik dan menjauhi maksiat yg pantas disebut orang beriman. Di sisi lain, orang yg fasik dan ahli maksiat juga bukan dari golongan orang kafir sebab mereka telah membaca syahadat dan masih beriman kepada Allah. Akan tetapi, nantinya orang yg fasik dan ahli maksiat yg tak mau bertaubat mau dihukum kekal di neraka dgn siksa yg lebih ringan ketimbang yg didapatkan oleh orang-orang kafir. Sekte Muktazilah menyebut kaidah ini dgn al-manzilah baina manzilatain. Mereka mengambil dalil pendapat ini dari redaksi ayat:
بَلٰى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَّاَحَاطَتْ بِهٖ خَطِيْۤـَٔتُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Bukan demikian! Barang siapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya” (QS Al-Baqarah ayat 81).
Padahal, menurut mayoritas ulama ahli tafsir redaksi perbuatan dosa (sayyi’ah) yg dimaksud ayat ini ialah dosa kekafiran bukan sekadar perbuatan dosa besar (Syekh Muhammad Thahir Ibnu Asyur, At-Tahrir wa at-Tanwir, Tunisia: Dar Sahnun, 1997, vol. I, h. 581).
Keempat, menetapkan bahwa salah satu dari dua kelompok sahabat Nabi yg bertikai di perang jamal sebagai orang fasik yg mau kekal di neraka selama mereka tak mau bertaubat dan menyesali perbuatannya. Mereka berpendapat bahwa tak ada dua kebenaran yg wujud dalam satu pertikaian. Pasti ada satu kelompok yg salah dan berdosa dan ada satu kelompok yg benar. Selain itu, mereka juga meyakini salah satu di antara dua golongan yg bertikai di antara pengikut Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyyah sebagai orang yg tak pantas sebagai pemimpin umat Islam. Oleh sebab itu, mereka tak mendukung salah satu dari keduanya sebagai pemimpin umat Islam. (Lihat kitab al-Milal wa an-Nihal karya Abu Fattah Muhammad Abdul Karim asy-Syahrasytani, Kairo: Muassasah al-Halabi, 1968, vol. I, h. 49).
Tentu hal ini tak sesuai dgn pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah yg meyakini para sahabat sebagai orang-orang yg mulia sebab dari pengajaran para sahabatlah guru-guru kita terdahulu mempelajari agama Islam. Menuduh para sahabat seperti sahabat Ali bin Abi Thalib dan sahabat Mu’awiyah sebagai orang fasik berakibat fatal sebagaimana dalam Hadits disebutkan
قال رسول الله لا تسبوا أصحابي لعن الله من سب أصحابي
Rasulullah bersabda, “Jangan kalian mencaci para sahabatku, Allah melaknat orang yg mencaci para sahabatku” (HR ath-Thabrani).
Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo
Aliran Mu’tazilah: Pemikiran & Sanggahannya
Sekte Mu’tazilah ialah sebuah sekte yg mulai berkembang di awal abad kedua Hijriah. Sekte ini diajarkan oleh Washil bin Atha’, seorang murid al-Hasan al-Bashri yg memilih buat menyimpang dari ajaran guru-gurunya. Di kemudian hari, sekte yg ia dirikan dijuluki dgn sekte Mu’tazilah yg diambilkan dari lafadz i’tazal (menyendiri/menyimpang) sebab telah menyimpang dari paham mayoritas umat Islam.
Â
Pada mulanya, Mu’tazilah yg diajarkan Washil bin Atha’ hanya menyimpang dgn penetapan empat kaidah saja, yaitu:
Â
Pertama, menafikan semua sifat dzat Allah yg telah termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits seperti ilm, qudrah, iradah, dan sesamanya. Misalnya, mereka menganggap ilmu Allah tak mungkin Qadim (dahulu) sebab seandainya ilmu Allah dahulu niscaya mau ada dua hal yg dahulu yaitu Allah dan ilmu Allah. Hal ini mustahil sebab tak mungkin ada yg menyamai Allah dalam sifat Qadim (dahulu).
Â
Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan, “Seandainya Allah memiliki ilmu niscaya Allah dapat diukur sejauh mana ilmunya sebagaimana manusia yg dapat diukur tingkat keilmuannya. Dan seandainya Dia memiliki ilmu maka ilmu tersebut mau sirna sebab tak ada yg abadi kecuali Dzat Allah. Seandainya Allah memiliki ilmu niscaya Dia mau membutuhkan anggota tubuh sebagai tempat menyimpan ilmu sebagaimana manusia yg membutuhkan otak dan hati sebagai tempat menyimpan ilmu. Seandainya Allah membutuhkan ilmu-Nya yg ia ciptakan buat mengetahui niscaya Ia ialah Dzat yg membutuhkan kepada ciptaan-Nya dan ini semua tak mungkin secara akal.†Walhasil, mayoritas sekte Muktazilah meyakini Allah mengetahui dgn dzatnya yg abadi tanpa melalui perantara ilmu (al-Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fi Ushul ad-Din, Kairo: Maktabah al-Wahbah Kairo, 1996, h. 212).
Â
Pendapat ini disanggah oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa ilmu Allah ialah bersifat Qadim (dahulu) sebab seandainya ilmu Allah tak bersifat Qadim niscaya Allah awalnya tak mengetahui kemudian menciptakan pengetahuan sebagaimana manusia yg terlahir bodoh tak mengetahui apa-apa kemudian ia belajar dan memiliki ilmu. Hal ini tentu tak mungkin sebab pendapat Mu’tazilah ini menetapkan sifat Naqish (kurang) kepada Allah.
Â
Â
Kedua, menetapkan bahwa kehendak Allah hanya seputar perkara yg baik menurut akal manusia. Mereka meyakini bahwa Allah tak boleh menghendaki keburukan kepada makhluk-Nya sebab hal tersebut bertentangan dgn sifat Maha Penyayg dan Maha Pengasih yg dimiliki Allah. Selain itu, Allah juga harus mengutus nabi dan rasul sebagai pengingat manusia atas perintah dan larangan Allah serta balasan yg mereka dapatkan di hari kiamat. Sedangkan seluruh keburukan yg dilakukan ataupun menimpa manusia ialah akibat dari perbuatan mereka tanpa sedikit pun ada campur tangan dari Allah.
Â
Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan, “Allah hanya menghendaki perkara yg baik sebab Dia telah melarang seluruh perkara maksiat. Bagaimana mungkin Allah marah dan menghukum orang-orang yg bermaksiat di hari kiamat sedangkan Dia sendirilah yg menghendaki perbuatan maksiat tersebut terwujud selama di dunia? Bagaimana mungkin Allah mengutus para nabi dan rasul supaya menyeru manusia meninggalkan maksiat sedangkan maksiat tersebut Allah sengaja wujudkan sendiri?†(al-Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fi Ushul ad-Din, 1996: 233).
Â
Pendapat ini disanggah oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa seluruh takdir yg baik dan buruk ialah dari Allah serta perbuatan makhluk tak lepas dari izin kehendak-Nya. Seandainya ada perbuatan maksiat yg tak dikehendaki Allah terjadi niscaya Allah memiliki sifat lemah sebab tak mampu menggagalkan maksiat yg tak Dia kehendaki wujud. Oleh sebab itu di sini perlu dibedakan antara ridha dan kehendak-Nya. Ahlussunnah wal Jama’ah mencontohkan, ada hal yg diridhai dan dikehendaki Allah terjadi seperti imannya sahabat Abu Bakar dan ada hal yg tak diridhai Allah tetapi dikehendaki Allah buat terjadi seperti kafirnya Abu Jahal.
Â
Â
Ketiga, menetapkan bahwa orang yg fasiq dan durhaka kepada Allah tak termasuk golongan orang yg beriman dan juga bukan termasuk golongan orang kafir. Mereka berpendapat bahwa orang fasik dan ahli maksiat tak dapat disebut sebagai orang beriman. Karena hanya orang yg baik dan menjauhi maksiat yg pantas disebut orang beriman. Di sisi lain, orang yg fasik dan ahli maksiat juga bukan dari golongan orang kafir sebab mereka telah membaca syahadat dan masih beriman kepada Allah. Akan tetapi, nantinya orang yg fasik dan ahli maksiat yg tak mau bertaubat mau dihukum kekal di neraka dgn siksa yg lebih ringan ketimbang yg didapatkan oleh orang-orang kafir. Sekte Muktazilah menyebut kaidah ini dgn al-manzilah baina manzilatain. Mereka mengambil dalil pendapat ini dari redaksi ayat:
Â
بَلٰى مَنْ كَسَبَ سَيّÙئَةً وَّاَØَاطَتْ بÙهٖ خَطÙيْۤـَٔتÙهٗ ÙَاÙولٰۤىٕÙÙƒÙŽ اَصْØٰب٠النَّار٠ۚ Ù‡Ùمْ ÙÙيْهَا خٰلÙدÙوْنَ
Â
“Bukan demikian! Barang siapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya†(QS Al-Baqarah ayat 81).
Â
Padahal, menurut mayoritas ulama ahli tafsir redaksi perbuatan dosa (sayyi’ah) yg dimaksud ayat ini ialah dosa kekafiran bukan sekadar perbuatan dosa besar (Syekh Muhammad Thahir Ibnu Asyur, At-Tahrir wa at-Tanwir, Tunisia: Dar Sahnun, 1997, vol. I, h. 581).
Â
Â
Keempat, menetapkan bahwa salah satu dari dua kelompok sahabat Nabi yg bertikai di perang jamal sebagai orang fasik yg mau kekal di neraka selama mereka tak mau bertaubat dan menyesali perbuatannya. Mereka berpendapat bahwa tak ada dua kebenaran yg wujud dalam satu pertikaian. Pasti ada satu kelompok yg salah dan berdosa dan ada satu kelompok yg benar. Selain itu, mereka juga meyakini salah satu di antara dua golongan yg bertikai di antara pengikut Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyyah sebagai orang yg tak pantas sebagai pemimpin umat Islam. Oleh sebab itu, mereka tak mendukung salah satu dari keduanya sebagai pemimpin umat Islam. (Lihat kitab al-Milal wa an-Nihal karya Abu Fattah Muhammad Abdul Karim asy-Syahrasytani, Kairo: Muassasah al-Halabi, 1968, vol. I, h. 49).
Â
Tentu hal ini tak sesuai dgn pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah yg meyakini para sahabat sebagai orang-orang yg mulia sebab dari pengajaran para sahabatlah guru-guru kita terdahulu mempelajari agama Islam. Menuduh para sahabat seperti sahabat Ali bin Abi Thalib dan sahabat Mu’awiyah sebagai orang fasik berakibat fatal sebagaimana dalam Hadits disebutkan
Â
قال رسول الله لا تسبوا أصØابي لعن الله من سب أصØابي
Â
Rasulullah bersabda, “Jangan kalian mencaci para sahabatku, Allah melaknat orang yg mencaci para sahabatku†(HR ath-Thabrani).
Â
Â
Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo
Â
Uncategorized