Khutbah I
وقال تعالى يَا اَيّÙهَا الَّذÙيْنَ آمَنÙوْا اتَّقÙوْا اللهَ Øَقَّ تÙقَاتÙه٠وَلاَ تَمÙوْتÙنَّ Ø¥Ùلاَّ وَأَنْتÙمْ Ù…ÙسْلÙÙ…Ùوْنَ. صدق الله العظيم.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yg diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ûd RA:
“Aku bertanya kepada Rasulullâh SAW, ‘Amalan apakah yg paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab: ‘Shalat tepat pada waktunya.’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Berjihad di jalan Allah.’ Rasulullah menyebutkan (ketiga) hal itu kepadaku, seandainya aku bertanya lagi tentu Rasulullah mau menambahkan lagi.â€
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari jihad di jalan Allah bukanlah prioritas pertama sebab ada yg lebih tinggi dan disukai oleh SWT dari pada jihad, yakni shalat di awal waktu dan berbakti kepada orang tua. Hal itu dapat kita ketahui dari urutan kalimat atau redaksi dalam hadits di atas, yakni: 1. الصَّلاَة٠عَلَى وَقْتÙهَا (shalat di awal waktu), 2. بÙرّ٠الْوَالÙدَيْن٠(berbakti kepada kedua orang tua), dan 3. الْجÙهَاد٠ÙÙÙŠ سَبÙيل٠الله٠(jihad di jalan Allah).
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Ketiga hal di atas, yakni: sahalat di awal waktu, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad di jalan Allah kesemuanya ialah perintah Allah SWT sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an:
1. أَقÙم٠الصَّلَاةَ, Tegakkanlah shalat, (Al-Isra’, 78)
2. وَبÙالْوَالÙدَيْن٠إÙØْسَانًا, Berbaktilah kepada kedua orang tua (Al-Isra, 23)
3. وَجَاهَدÙواْ ÙÙÙŠ سَبÙيل٠الله, Berjihadlah di jalan Allah (Al-Baqarah, 218)
Jika kita bandingkan antara berbakti kepada kedua orang tua dgn jihad di jalan Allah maka berbakti kepada kedua orang tua harus lebih didahulukan dari pada jihad sebab ia menempati urutan kedua, sedangkan berjihad berada di urutan ketiga. Dari sisi hukum Islam, berbakti kepada kedua orang tua hukumnya fardhu ain yg berarti mengikat atau berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali. Sedangkan jihad di jalan Allah, menurut jumhur ulama, hukumnya fardhu kifayah yg berarti bila telah ada sebagian orang yg melakukannya, maka sebagian yg lain tak wajib melakukannya sehingga tak serta merta terkena dosa sebab ketak ikut sertaannya. Dalam keadaan tertentu, hukum jihad di jalan Allah dapat berubah menjadi fardhu ain.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Beberapa tahun terakhir ini, terutama sejak reformasi, beberapa kekerasan atas nama agama terjadi dimana-mana di berbagai daerah di Indonesia. Kekerasan itu dilakukan oleh sekelompok orang yg terlatih atas nama jihad dgn mengorbankan orang-orang yg tak bersalah. Pertanyaannya ialah apakah mereka mendapatkan izin dari kedua orang tuanya buat melakukan kekerasan yg tak hanya menewaskan orang lain tetapi juga menewaskan diri sendiri tersebut?
Pertanyaan di atas penting buat dijawab sebab bila tak mendapatkan izin dari kedua orang tua, maka siapa pun sebetulnya tak diperbolekan pergi berjihad. Rasulullah SAW sendiri tak berani memberangkatkan seseorang buat pergi berjihad di jalan Allah bila orang tersebut tak mendapat izin dari orang tuanya. Padahal jihad yg diserukan Rasulullah SAW ialah jihad yg dijamin dapat dipertanggungjawabkan keabsahan dan kebenarannya di hadapan Allah SWT, dan bukan jihad yg kontroversial apalagi jihad yg keliru sama sekali.
Sikap Rasulullah SAW yg tak bersedia memberangkatkan seseorang pergi ke medan jihad tanpa izin kedua orang tuanya dapat kita lihat pada kandungan hadits yg diriwayatkan dari `Abdullâh bin `Amr RA berikut ini:
“Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullâh, lalu dia minta idzin ikut berjihad. Rasulullâh bertanya: ‘Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Lelaki itu menjawab, “Ya.†Rasulallâh bersabda, “Berjihadlah di sisi keduanya!â€
Hadits tersebut mengandung maksud bahwa seseorang yg hendak berjihad harus mendapatkan izin dari kedua orang tuanya sebab jihad (dalam arti perang di jalan Allah) itu mempertaruhkan nyawa. Hanya kedua orang tuanya yg berhak memberi izin berjihad, baik orang itu telah berkeluarga maupun belum. Hal ini tentu dapat kita mengerti sebab kehadiran seseorang ke dunia ini melalui kedua orang tuanya dimana sang ibu dahulu sewaktu melahirkannya membutuhkan perjuangan yg luar biasa dgn nyawa sebagai taruhannya.
Apakah perjuangan seorang ibu yg sedemikian berat itu boleh diabaikan sang anak begitu saja sehingga ia pergi berjihad tanpa restu atau izinnya? Tentu saja tak! Oleh sebab itu, sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas, Rasululllah SAW memerintahkan supaya laki-laki yg hendak ikut berjihad bersama Rasulullah SAW itu supaya pulang menemui kedua orang tuanya buat berbakti kepada mereka. Rasulullah mengatakan, ÙÙŽÙÙيهÙمَا ÙَجَاهÙد, “Berjihadlah di sisi keduanya!â€. Artinya berbakti kepada kedua orang tua itu juga termauk jihad di jalan Allah meski tak secara langsung.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Dalam hadits lain yg diriwayatkan Ibnu Majah, dikatakan bawa seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya datang mau berjihad bersamamu, mencari wajah Allah dan (surga) di kehidupan akhirat, dan sesungguhnya kedua orangtua saya benar-benar menangis. Beliau Rasulullah SAW menjawab: “Kembalilah kepada keduanya, buatlah mereka berdua tertawa sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis.â€
Hadits tersebut menegaskan bahwa bila orang tua tak mengizinkan seseorang pergi berjihad bersama Rasulullah SAW, maka orang tersebut harus mengurungkan niatnya. Jika orang tua menangisi kepergian sang anak ke medan jihad sebab memang tak memberikan izin, maka sang anak harus kembali ke rumah dan melakukan sesuatu yg dapat menyenangkan hati kedua orang tuanya hingga mereka dapat tertawa bahagia buat menghapus kecemasan dan kesedihan yg mereka rasakan sebelumnya.  Â
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Mengingat arti pentingnya izin orang tua dalam jihad, maka orang tua harus dapat memilah mana jihad yg dapat dipertanggungg jawabkan kepada Allah dan mana yg tak. Jihad yg dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Allah ialah jihad sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW bersama para sahabat. Dalam jihad seperti itu saja, Rasulullah tak berani melanggar hak orang tua dalam kaitannya dgn izin keterlibatan seseorang. Rasulullah SAW sangat menghargai hak orang tua buat mengizinkan atau tak menginjinkan seseorang berjihad di medan perang.  Â
Dalam konteks Indonesia, contoh jihad yg mirip dgn apa yg dilakukan Rasulullah SAW ialah jihad sebagaimana dilakukan para pahlawan kita dahulu dalam rangka mengusir penjajah yg telah menindas dan menyengsarakan bangsa kita. Perjuangan mengusir penjajah sebagaimana diserukan para ulama, terutama kiai-kiai NU, lewat seruan jihad yg kemudian dikenal dgn Resolusi Jihad 1945 menjadi wajib dilaksanakan. Para penjajah memang harus dilawan dan diusir demi mempertahankan kemerdekaan yg telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Bapak Proklamator kita – Soekarno- Hatta. Apalagi para penjajah itu bukanlah orang-orang yg beriman tauhid alias kafir.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Kembali kepada pertanyaan saya di awal, apakah para pelaku kekerasan atas nama agama di tanah air mendapatkan izin dari kedua orang tuanya?
Tentu tak mudah buat mendapatkan jawaban pasti sebab diperlukan sebuah penelitian. Tetapi bila pertanyaan itu dikembalikan kepada kita dan diubah menjadi, “Apakah sebagai orang tua kita mengizinkan anak-anak kita melakukan kekerasan seperti itu?â€
Sebagai orang tua tentu kita tak mengizinkan dgn berbagai alasan kita masing-masing. Tetapi persoalannya ialah para pelaku kekerasan itu umumnya telah melepaskan diri dari ikatannya dgn orang tua yg dibuktikan dgn sulitnya komunikasi diantara mereka. Mereka telah lama menghilang dari rumah. Dengan kata lain mereka telah tak patuh lagi kepada kedua orang tua. Mereka lebih patuh dan setia kepada guru sekaligus pimpinannya. Mengapa demikian? Â
Jawabnya, sebab mereka telah dicuci otaknya dan diindoktrinasi bahwa orang-orang yg tak sepaham dgn mereka dan menghalang-halangi jihad mereka ialah orang-orang kafir. Oleh sebab itu mereka tak segan-segan buat mengkafirkan orang tua sendiri bila tak sepaham dgn mereka. Jika orang tua sendiri telah diyakini kafir, maka menurut keyakinan mereka, izin dari orang tua buat berjihad tak mereka perlukan.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Anak ialah amanah dari Allah kepada kita. Anak menjadi tanggung jawab kita baik di dunia maupun di akherat. Tidak ada mantan anak sebagaimana tak ada mantan orang tua. Hubungan anak dan orang tua bersifat abadi. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban kita buat mendidik anak-anak kita menjadi waladun shalih – anak yg saleh. Kesalehan seperti itu mau lebih mudah dicapai ketika hubungan anak dan orang tua senatiasa baik, dimana orang tua selalu menyaygi dan melidungi anak-anaknya. Sebaliknya, anak-anak selalu hormat dan berbakti kepada kedua orang tua. Insya Allah selama anak-anak kita masih hormat dan patuh kepada kita sebagai orang tua, mereka tak mau mudah terbawa arus yg menyeret mereka kepada tindakan kekerasan yg tak semestinya. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita dan keluarga kita masing-masing. Amin, ya rabbal alamin. Â
Khutbah II
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta