Apa Perbedaan Syariat Islam & Fiqih?

Pada pemaparan kali ini, kita mau membahas perbedaan antara syariat dan fiqih. Kita mengawalinya dgn definisi syariat. Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Beirut: Darul Afaq, 2001 M, juz III, halaman 137:

وأما الشريعة فهي أن يأتي نص قرآن أو سنة أو نص فعل منه عليه السلام أو إقرار منه عليه السلام أو إجماع

Artinya, “Syariat ialah bila terdapat teks yg jelas (tak multitafsir) dari Al-Quran, teks sunah (hadits), teks yg didapat dari perbuatan Nabi SAW, teks yg didapat dari taqrir Nabi SAW, dan ijma’ para sahabat,” (Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Beirut, Darul Afaq, 2001 M, juz III, halaman 137).

Bisa dipahami dari keterangan di atas bahwa yg disebut sebagai syariat ialah segala tuntunan yg diberikan oleh Allah SWT kepada manusia baik dalam bidang akidah, amaliah, (perbuatan fisik), dan akhlak. Sumber dari tuntunan tersebut dapat didapatkan dari teks yg terdapat dalam Al-Quran, hadits Nabi SAW, dan ijma’ para sahabat.

Hadits Nabi SAW sendiri terbagi atas tiga. Ada kalanya yg berupa ucapan, yg berupa contoh perbuatan yg dilakukan oleh Nabi SAW, dan yg berupa taqrir, yakni kondisi ketika ada sebuah perkataan atau perbuatan yg dilakukan di hadapan Nabi SAW, dan ia mendiamkannya. Diam Rasulullah ialah bentuk dari persetujuan sebab pada prinsipnya mustahil Nabi SAW mendiamkan kemaksiatan berlaku di hadapannya.

Teks-teks ini bukanlah semuanya, tetapi hanya berlaku pada yg bersifat nash, artinya teks yg pemahamannya jelas dan tak multitafsir atau mengundang kontroversi.

Lain halnya dgn fiqih. Pengertian fiqih sebagaimana dijelaskan oleh Imam Abul Hasan Al-Amidi dalam Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam:

العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية

Artinya, “(Fikih ialah) pengetahuan tentang hukum-hukum syariat amaliah yg didapat dari dalil-dalilnya yg terperinci,” (Lihat Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Beirut, Al-Maktabul Islami, 2004 M, juz I, halaman 5).

Dari penjelasan ini kita memahami bahwa fiqih berlaku pada persoalan-persoalan yg berkaitan dgn amaliah atau perbuatan manusia, yg pemahaman hukumnya didapatkan dari sumber hukum melalui serangkaian proses ijtihad.

Karena didapatkan melalui proses ijtihad, maka sama sekali taklah mengherankan bila terdapat perbedaan pendapat antara satu pemikiran dan pemikiran lainnya.

Dari penjelasan tentang pengertian syariat dan fiqih di atas, ada beberapa poin yg dapat kita pahami bahwa:

Pertama, obyek kajian syariat sifatnya lebih umum sebab mencakup akidah, perbuatan, dan akhlak manusia. Sedangkan fiqih hanya berlaku pada amaliah perbuatan manusia, tak membahas persoalan akidah dan akhlak.

Kedua, bahwa sifat “keniscayaan” hanya berlaku pada syariat sebab memang hakikat syariat ialah taken for granted atau diterima begitu saja sesuai dgn apa yg dijelaskan oleh Allah. Sedangkan fiqih tak memiliki keniscayaan semacam itu sebab merupakan produk dari ijtihad masing-masing mujtahid. Perbedaan pendapat pasti ada dalam memutuskan sebuah hukum fiqih, dan Rasulullah tak mempermasalahkan hal tersebut sebab ia menganggap keduanya sebagai sesuatu yg dapat membuahkan pahala sebagaimana hadits yg dikutip oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahihul Bukhari, Beirut, Darul Fikr, 2000 M, juz IX, halaman 108, nomor hadits 7352:

إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

Artinya, “Apabila seorang hakim menghukumi, kemudian ia berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala. Apabila dia menghukumi, kemudian berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala.”

Dengan demikian jelas bahwa sifat fanatisme terhadap sebuah pendapat fiqih ialah sikap yg keliru.

Ketiga, syariat bersifat menyeluruh. Artinya, syariat berlaku bagi manusia siapapun, di manapun dan kapanpun. Sedangkan fiqih tak demikian.

Kita mengambil contoh sederhana syariah dan fiqih. Kewajiban shalat itu merupakan syariah. Siapapun, di manapun, dan kapanpun, seseorang wajib melaksanakan shalat, tetapi buat persoalan apa baju yg dipakai saat shalat, apa saja bacaannya, dan lain-lain, hal itu merupakan bahasan fiqih yg tentu saja ada berbagai macam beda pendapat.

Demikian pemaparan kali, semoga dapat menambah khazanah keilmuan bagi kita semua. Sekaligus menyadarkan kepada kita betapa sia-sianya mempertahankan sikap fanatisme terhadap sebuah pendapat fiqih. Wallahu a’lam. (Muhammad Ibnu Sahroji)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.