Para wali Allah dipercaya sebagai orang suci yg dekat dgn Allah. Tetapi apakah kesucian mereka yg kita pahami serupa dgn derajat kemakshuman seperti status kesucian para nabi (ishmatul anbiya)? Pertanyaan ini mengemuka dalam kajian tasawuf.
Abul Qasim Al-Qusyairi menjelaskan bahwa hamba-hamba Allah yg mencapai derajat kewalian tak memiliki kemakshuman seperti derajat kesucian para nabi. Meski demikian, para wali ialah hamba-hamba yg mendapatkan bimbingan, penjagaan, dan pemeliharaan Allah (mahfuzh).
Ketika mereka terjatuh dalam sebuah kekhilafan, Allah segera menyelamatkan mereka. Kekhilafan para wali bukan mustahil. Kekhilafan mereka tak mencabut status kewalian mereka.
Ùإن قيل هل يكون الولي معصوماً قيل أما وجوباً، كما يقال ÙÙŠ الأنبياء Ùلا. وأما أن يكون Ù…ØÙوظاً Øتى لا يصر على الذنوب إن Øصلت هنات أو Ø¢Ùات أو زلات، Ùلا يمتنع ذلك ÙÙŠ وصÙهم
Artinya, “Jika ditanya, ‘Apakah wali itu makshum?’ Dijawab, adapun pasti sebagaimana kemakshuman para nabi, tentu tak. Tetapi wali itu bersifat mahfuzh sehingga ia tak terjebak dalam dosa secara terus menerus bila terjadi petaka, celaka, atau kegelinciran. Semua itu tak mencegah pada sifat kewalian mereka,†(Abul Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 191).
Imam Al-Qusyairi mengangkat percakapan Imam Junaid Al-Baghdadi perihal ahli makrifat yg terjebak dalam dosa besar. Imam Junaid menjawab pertanyaan tersebut dgn menerangkan kuasa Allah.
ولقد قيل للجنيد العار٠يزني يا أبا القاسم؟ Ùاطرق ملياً، ثم رÙع رأسه وقال وكان أمر الله قدراً مقدرواًÂ
Artinya, “Imam Junaid Al-Baghdadi pernah ditanya, ‘Apakah orang dgn maqam makrifat dapat berzina wahai Abaul Qasim (panggilan buat Imam Junaid)?’ Ia terdiam dan menundukkan kepala sejenak. Setelah itu ia mengangkat kepala dan membaca Surat Al-Ahzab ayat 38, ‘Keputusan Allah itu suatu ketetapan yg pasti berlaku,’†(Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H: 191).
Terkait hal ini, Ibnu Athaillah pada hikmah pertama Kitab Al-Hikam-nya mengatakan bahwa salah satu tanda ketergantungan pada amal (dalam taqarrub kepada Allah) ialah turunnya harapan ketika terjatuh dalam sebuah dosa.
As-Syarqawi dalam mengomentari hikmah ini menjelaskan bahwa orang-orang dgn status makrifat tak memandang dirinya sedikitpun sehingga dapat diandalkan. Mereka justru menyaksikan pelaku hakiki ialah Allah. Mereka hanya tempat pengejawantahan kehendak-Nya. (As-Syarqawi, Syarhul Hikam: 3).
Jika tergelincir dalam sebuah dosa, yg mereka saksikan ialah perbuatan dan ketetapan Allah sebagaimana yg mereka saksikan pada pelaksanaan ibadah mereka atau pancaran cahaya ilahi di hati mereka. Mereka sama sekali tak memandang kekuatan dan daya mereka. Dengan demikian, dua kondisi (terjatuh pada dosa atau pelaksanaan ibadah) bagi mereka sama saja sebab mereka tenggelam dalam lautan tauhid.
Rasa takut dan harap para wali Allah tetap proporsional. Sebuah maksiat tak mengurangi takut mereka kepada Allah. Sedangkan kebaikan dan ibadah mereka tak menambah harap mereka kepada Allah. Inilah yg disebut derajat makrifat (maqamul ‘irfan). (As-Syarqawi, Syarhul Hikam: 3-4).
Kedudukan kelompok ahli makrifat berbeda dgn kelompok murid dan abid (ahli ibadah) yg bergantung pada amal perbuatan. Karena ketergantungan pada selain Allah, kedua kelompok ini kehilangan harapan kepada Allah ketika melakukan kekhilafan dan merasa besar ketika ibadahnya meningkat. (As-Syarqawi, Syarhul Hikam: 3-4). Wallahu a’lam.
Penulis: Alhafiz Kurniawan
Editor: Abdullah Alawi
Â