Bagaimana Tanggung Jawab Utang kepada Orang Meninggal yg Tak Punya Ahli Waris?

Kematian ialah suatu keniscayaan bagi semua orang. Suatu saat kita pasti mengalaminya. Kematian bukanlah akhir dari suatu perjalanan kehidupan manusia, justru dgn kematian kehidupan lain di akhirat baru dimulai. Karena itu langkah terbaik ialah bagaimana semaksimal mungkin menjalankan ibadah dan amal saleh sesuai dgn kemampuan yg kita miliki. Kita beramal seakan-akan besok mau meninggal, dan mengerjakan kehidupan duniawi seakan-akan hidup selamanya. Dengan begitu niscaya mau tercapai keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.

Harta bukanlah tujuan, tapi sarana mempertahankan hidup dan beribadah. Namun, banyak diantara kita yg berusaha mengantisipasi keadaan sepuluh tahun, lima puluh tahun bahkan seratus tahun yg mau datang, tanpa jarang yg mengantisipasi kehidupan akhirat.

Sehubungan dgn harta, utang-piutang merupakan salah satu hal penting yg dibahas dalam fiqih. Karena dalam sebuah hadits diterangkan bahwa Rasulullah Saw. tak mau menshalati jenazah yg masih menanggung utang. Karena orang yg meninggal masih dalam keadaan menanggung utang, di akhirat kelak mau dituntut dan dimintai pertanggungjawaban.
Oleh sebab itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga melunasi utang-utangnya. Kalau memang tak mampu, hendaknya meminta kerelaan dain (pihak yg memberi utang) buat membebaskannya. Dalam istilah fiqih hal ini disebut dgn istilah ibra’.

Kewajiban membayar utang tak gugur meski telah meninggal. Sebab dgn kematian mau terjadi proses pewarisan atau peralihan kepemilikan dari si jenazah kepada ahli warisnya. Termasuk harta yg diwariskan ialah utang-utang yg diberikan kepada si jenazah kepada orang lain semasa hidupnya.

Dengan demikian, madin (pihak yg berutang) diwajibkan  membayar utangnya kepada ahli waris almarhum atau almarhumah. Adalah beban madin buat berusaha mencari mereka guna membayar utang.

Pertanyaannya, bagaimana bila ahli waris tak diketahui tempatnya? Seandainya semua ahli waris tak ditemukan, dan madin pun tampak putus asa, tak ada harapan sama sekali, kondisi ini tak secara otomatis menggugurkan kewajiban. Dia masih terbebani melunasinya. Bagaimana caranya? Hal itu diatur dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, yakni dgn menyerahkan utang itu buat kepentingan umat Islam.

Jika di daerahnya kebetulan ada usaha pembangunan masjid atau madrasah, utang tersebut dapat disumbangkan. Meski jumlahnya mungkin tak seberapa dibandingkan dgn biaya yg dibutuhkan buat pembangunan itu. Karena yg penting, si madin menemukan saluran buat melunasi utangnya.

Dalam hukum utang-piutang, bila utang beras 10 kilogram, maka membayarnya juga dgn jumlah dan kualitas yg sama pula. Utang seratus ribu rupiah membayarnya juga seratus  ribu rupiah. Itu ialah kewajiban dan ketentuan minimal. Dalam suatu hadis Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya yg terbaik diantara kalian ialah yg paling baik dalam membayar utang” (Muttafaq Alaihi)

Membayar utang dgn baik, artinya membayar degan jumlah lebih besar atau dgn kualitas lebih baik, disamping tak mengulur-ulur waktu kalau pada kenyataanya telah sanggup melunasi. Hanya saja, harus diingat, tambahan yg dibayarkan haruslah dilakukan dgn sukarela dan tak disyaratkan pada saat akad peminjaman dilakukan. Hal itu betul-betul berdasarkan ketentuan dari si madin. Sebab kalau diwajibkan atau disyaratkan pada saat akad, maka hukumnya malah menjadi haram. Sebab,  hal itu termasuk praktik riba, yg nyata-nyata diharamkan Islam, sebab berlawanan dgn semangat saling membantu dan persaudaraan, at-ta’awun wa al-ukhuwah.

Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU


Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada Kamis, 16 Februari 2012 pukul 15:03. Redaksi mengunggahnya ulang dgn sedikit penyuntingan.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.