Dalam kajian fiqih, kita kenal Imam Syafi’i sebagai salah satu dari mujtahid mutlak sebagaimana Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka dikategorikan sebagai mujtahid mutlak sebab mampu berijtihad sendiri melalui Al-Qur’an dan al-Sunnah.Â
KH Achmad Siddiq dalam bukunya Khittah Nahdliyyah (1980) menyebutkan, mujtahid mutlaq atau mujtahid mustaqil (bebas) yaitu Imam (tokoh agama) yg mampu berijtihad atau ber-istinbath sendiri dari Al-Qur’an dan al-Sunnah dgn menggunakan metode yg ditemukan atau dirumuskannya sendiri dan diakui kekuatannya oleh para tokoh agama (imam) lainnya.
Mujtahid mutlak memiliki metode tersendiri dalam berijtihad. Itulah mengapa para pendiri mazhab mempunyai keragaman metode dalam menggali hujjah mereka. Di samping itu, metode dasar hukum ini belum pernah dirumuskan secara konkret oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Berbeda dgn Imam Syafi’i yg telah merumuskan metode itu menjadi aspek keilmuan baru disebut ushul fiqh.
Imam al-Fakhr al-Razi dalam bukunya berjudul al-Imam al-Syafi’i Manaqibuhu wa ‘Ilmuhu mengatakan bahwa Imam Syafi’i ialah orang pertama yg menuliskan tentang ilmu ushul fiqh, ia juga yg menyusun pembahasan ushul fiqh, mengklasifikasikan bagian-bagiannya, dan menjelaskan tingkatan dalilnya antara yg kuat dan lemah.
Selanjutnya, Imam al-Razi menambahkan bahwa para ahli fiqih sebelum Imam Syafi’i telah membicarakan masalah ushul fiqh, mereka ber-istidlal dan berargumentasi. Tetapi mereka tak mempunyai aturan baku sebagai rujukan buat mengetahui dalil-dalil syariat, mengetahui metode berargumentasi, dan mengukuhkan dalil yg sama-sama kuat. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i menggagas ilmu ushul fiqh dan meletakkan kaidah-kaidah universal sebagai rujukan buat mengetahui tingkatan dalil-dalil syar’i.
Perumusan ushul fiqh oleh Imam Syafi’i ini dituangkan dalam karyanya bernama al-Risalah. Dalam buku al-Imam al-Syafi’i fi Mazhabaihi al-Qadim wa al-Jadid (1988) karangan KH Nahrawi Abdussalam, karya al-Risalah ini pertama kali dikarang buat Abdurrahman bin Mahdi sebelum Imam Syafi’i datang ke Mesir. Akan tetapi, karya ini belum mencakup seluruh pembahasan ushul fiqih mazhab Syafi’i.
Ketika beliau pergi ke Mesir, beberapa kitabnya tertinggal, termasuk al-Risalah, sehingga beliau menulis kembali kitab tersebut mencakup revisiannya. Kitab al-Risalah yg beredar kini ialah hasil revisi ketika berada di Mesir. Tidak banyak yg berubah dari versi lamanya, sebab Imam Syafi’i hanya meringkas kitab tersebut supaya tak melebar dan tanpa mengurangi esensi ilmu dalam setiap topik pembahasannya. Selain al-Risalah, pemikiran Imam Syafi’i dalam bidang ushul fiqih terdapat juga pada karyanya yg lain, yaitu al-Umm, Ibthal al-Istihsan, dan Jima’ al-Ilm.
Pengembaraan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu tak dapat dianggap hal sepele. Di Makkah, beliau belajar fiqih kepada ahli hadits seperti Muslim bin Khalid al-Zanji (wafat 179 H) dan Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H), di sana pula beliau telah menghafal kitab al-Muwaththa. Setelah itu, ia menuju Madinah dan belajar metode fiqih aliran tradisional kepada Imam Malik bin Anas yg dikenal sebagai tokoh mazhab ahli hadis di Hijaz saat berusia 13 tahun.
Setelah Imam Malik wafat pada tahun pada 179 H, beliau melanjutkan pengembaraan ke Yaman buat bekerja sambil menuntut ilmu. Di sana ia mengaji kepada Abu Ayub Mutharrif bin Mazen al-Shan’ani (wafat 190 H) yg menjabat sebagai hakim kota Sana’a Yaman. Kemudian pada tahun 184 H beliau berkunjung ke Irak dan menemukan perbedaan yg signifikan dgn di Hijaz.
Kendati kota Baghdad merupakan penganut metode fiqih aliran rasional yg diwariskan dari Abdullah bin Mas’ud. Tokoh yg mengusung aliran ini ialah Imam Abu Hanifah dgn ajaran yg berbeda dgn ahli hadits. Imam Syafi’i belajar fiqih rasional kepada Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, pengikut dan penyebar mazhab Hanafi.Â
Mengenai ushul fiqih Imam Syafi’i, beliau mampu menguasai dgn baik dua metode fiqih rasional dan tradisional, sehingga dua hal ini yg menjadi landasan metode fiqihnya. Melalui pengembaraannya, beliau sampai pada pendapat dan sikapnya sendiri yaitu tak melampaui batas, sikap yg baik ialah moderat dan mengambil jalan tengah.
Beliau menyetujui metode fiqih rasional yg terpusat di Irak dalam menetapkan qiyas sebagai salah satu perbedaan beramal dgn syarat tertentu. Di samping itu, beliau tak menyetujui metode fiqih rasional dalam hal mendasarkan amalan kepada istihsan, sebab hal itu jauh dari tuntutan Al-Qur’an dan hadits, maka dikhawatirkan mau terjebak pada kekeliruan.
Begitu juga beliau tak menyetujui metode rasional yg terlalu selektif memilih dan menerima hadits, sebab hadis ialah sumber rujukan kedua dalam syariat Islam, maka buat menerima hadits cukup dgn syarat hadits ini muttashil (tersambung sanadnya) dan sahih sanadnya.
Gagasan Imam Syafi’i tersebut yg diolahnya sebagai jalan tengah menyikapi problematika metodologi ushul di mana para pengikut mazhab rasional dan tradisional sempat mengalami perdebatan panjang. Rumusan ini menjadi pengantar kemoderatan antara kedua perdebatan itu sehingga terbentuk aliran baru bernama mazhab Syafi’i.
Kiai Nahrawi Abdussalam mengutip definisi pakar syariat bahwa mazhab ialah sekumpulan pemikiran para mujtahid dalam bidang hukum-hukum syariat yg digali berdasarkan dalil-dalil terperinci (tafshil), kaidah-kaidah dan ushul, dan memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu dijadikan kesatuan yg utuh.
Dengan perdebatan panjang mengenai metodologi berfiqih, menjadi acuan berkembangnya diskusi keilmuan syariah. Dengan begitu, tak perlu bagi kita buat membuat mazhab dgn metode ijtihad baru, sebab para ulama salaf telah mengembangkan diskursus keilmuan itu selama generasi ke generasi. Alih-alih, semua konsep fiqih telah disusun rapi melalui para mujtahid mutlak, mujtahid mazhab sampai kepada mujtahid fatwa.Â
Melalui diskusi yg luas, hingga akhirnya pengertian ushul fiqih telah disimpulkan secara singkat oleh Imam Sya’rani yg pendapatnya termaktub dalam buku Bughyah al-Mustarsyidin karangan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi, yakni kembali kepada tingkatan-tingkatan perintah (amar) dan larangan (nahi) yg telah muncul dari al-Qur’an dan al-Sunnah dan kembali kepada mengetahui apa saja yg menjadi ijma para ulama, apa saja yg mereka jadikan qiyas, dan apa saja yg mereka kemukakan dari hasil ijtihad melalui proses menyimpulkan pendapat (istinbath).Â
Â
Beliau menambahkan, terhimpun setiap perkara amar dan nahi menjadi dua tingkatan, yaitu ringan dan berat. Barangsiapa yg merasa dirinya lemah pada suatu hukum, maka ia boleh menggunakan pendapat yg memiliki tingkatan ringan, serta sebaliknya  apabila ia kuat, maka ia gunakan pendapat yg memiliki tingkatan berat.Â
Itulah sebabnya mengapa para ulama kita di Nahdlatul Ulama lebih memilih pada tradisi taqlid mazhab ketimbang percaya pada slogan ‘kembali ke al-Qur’an dan Hadits’. Selain itu, Kiai Achmad Siddiq telah merumuskan secara konkret mengenai prinsip kemoderatan NU dalam bidang syariah yg sangat sesuai dgn karakter Ahlussunnah Wal Jamaah, yaitu:
Pertama, selalu berpegang teguh pada al-Quran dan Sunnah, dgn menggunakan metode dan sistem yg dipertanggungjawabkan dan melalui jalur-jalur yg wajar. Kedua, pada masalah yg telah ada dalil teks yg jelas (qath’i) tak boleh ada campur tangan pendapat akal. Ketiga, pada masalah yg tak tegas dan tak pasti (dhanniyyat), dapat ditoleransi adanya perbedaan pendapat selama masih tak bertentangan dgn prinsip agama.
Sikap itu pula yg tertuang pada buku Khittah Nahdlatul Ulama tentang sikap kemasyarakatan NU di mana cerminan sikap tengah yg berintikan pada prinsip hidup yg menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama.
Nahdlatul Ulama dgn sikap dasar ini mau selalu menjadi kelompok panutan yg bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yg bersifat tatharruf (ekstrem).Â
Ahmad Rifaldi
Pegiat Sejarah dan Ketua Alumni Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok
*Disarikan dari berbagai sumber:
1.   Buku Khittah Nahdliyyah, KH Achmad Siddiq, Balai Buku, 1980.
2.   Buku al-Imam al-Syafi’i Manaqibuhu wa ‘Ilmuhu, Imam al-Fakhr al-Raazi.
3.   Buku al-Imam al-Syafi’i fi Mazhabaihi al-Qadim wa al-Jadid, KH Nahrawi Abdussalam, Maktabah Syabab, 1988.
4.   Buku Khittah Nahdlatul Ulama seri 02/11/85, Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PBNU.
Â