Betulkah Pilpres 2019 Pertarungan Pro Komunis & Pro Khilafah? Ini Pendapat Gus Nadir

– Kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres 2019) yg mau dilangsungkan pada 17 April 2019 dikabarkan tak lepas dari pertarungan ideologi antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo.

Kita memasuki babak baru: pertarungan ideologis antara pendukung Komunisme dan pendukung Khilafah.

Kubu Jokowi dikesankan sebagai mereka yg mendukung kembalinya Partai Komunis Indonesia (PKI), yg telah dibubarkan pada tahun 1966 oleh Jenderal Soeharto.

Sementara itu, kubu Prabowo dianggap sebagai tempat berkumpulnya kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yg telah dibubarkan pada tahun 2017 oleh Presiden Jokowi, dgn alasan HTI hendak mengubah ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara Khilafah.

Namun benarkah Pilpres 2019 ini merupakan pertarungan ideologis antara Pro-Komunis dgn Prof-Khalifah?

Saya berargumentasi bahwa terlalu sederhana buat melihat dinamika Pilpres 2019 dalam frame semacam ini.

Pertarungan ideologi ini mengerucut sejak Hendropriyono (Mantan Kepala BIN – Badan Intelijen Negara) memberikan keterangan pers pada 28 Maret 2019.

Jenderal purnawirawan ini mengatakan Pilpres kali ini ialah pertarungan antara Pancasila vs Khilafah. Tentu yg dimaksud Hendro ialah pasangan Capres 01 (Jokowi-Ma’ruf Amin) bila terpilih mau terus mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara, sedangkan pasangan Capres 02 (Prabowo-Sandiaga Uno) berpotensi mengubah haluan negara menjadi Khilafah.

Pernyataan Henddo ini disambut dgn hestek #PancasilavsKhilafah oleh para buzzer politik kubu 01 dan sempat menjadi trending topic. Buzzer kubu 02 membalas dgn hestek #PKIvsPancasila yg juga kemudian menjadi trending topic.

Kubu 02 memang telah sejak lama memainkan isu PKI ini buat menyerang Jokowi. Bermula dari Pilpres 2014, lima tahun sebelumnya, ketika tabloid Obor Rakyat menuduh mempertanyakan silsilah keluarga Jokowi yg selama ini beredar. Ibu Jokowi juga diragukan sebagai ibu asli.

Sosok Jokowi dianggap memanipulasi data pendidikannya. Para buzzer 02 terus menggoreng isu ini di tahun 2019 dan dikesankan bahwa Jokowi selama 5 tahun terakhir telah berusaha menutupi sosok dia dan keluarganya yg sebenarnya.

Baca Juga:  Felix Siauw: Khilafah Harus Tegak, Pemerintah Merendahkan Ulama dan Menjual Negeri

Ditambah lagi dgn tuduhan bahwa sejumlah anak tokoh PKI sekarang bergabung di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yg menjadi basis utama kekuatan politik Jokowi.

Dipilihnya KH Ma’ruf Amin sebagai Cawapres Jokowi, salah satunya, buat menepis tuduhan Jokowi sebagai Pro-PKI. Narasi yg dikembangkan sejak Pilkada DKI tahun 2017 bahwa Jokowi itu anti Islam dicoba buat dihapuskan dgn digandengnya Kiai Ma’ruf.

Untuk itulah para buzzer kubu Jokowi mengangkat hestek #02vsNU.

Dengan hestek #02vsNU dikesankan bahwa serangan terhadap ideologi negara, Jokowi dan Kiai Ma’ruf sejatinya ialah serangan dari kubu 02 yg didukung FPI, HTI dan Islam garis keras lainnya, terhadap Nahdlatul Ulama (NU) ormas Islam terbesar di Indonesia.

Hal ini mengingat Kiai Ma’ruf ialah representasi dari Kiai Senior di tubuh NU, dan selama ini NU diklaim sebagai yg paling terdepan menjaga NKRI dari PKI di tahun 1966, dan dari HTI di tahun 2017. Lewat hestek ini dikesankan bahwa Pilpres 2019 ialah pertarungan antara kubu 02 melawan NU.

Sekali lagi, tentu saja ini terlalu menyederhanakan kompleksitas dan dinamika politik di Indonesia.

Pilpres 2019 jelas bukan pertarungan antara NU dgn 02. Tidak boleh dilupakan bahwa ada sejumlah tokoh NU yg juga terang-terangan mendukung kubu 02. Sejumlah ulama NU yg selama ini memiliki problem tersendiri dgn Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memutuskan mendukung 02. Nama-nama seperti Gus Najih, Cak Anam dan Habib Abu Bakar Assegaf, sekadar menyebut contoh, ialah ulama dan tokoh NU yg berada di kubu 02.

Jadi, tak mungkin Pilpres ini direduksi menjadi pertarungan antara NU dan 02. Ulama NU memang mayoritas mendukung 01, tapi ada juga yg mendukung 02.

Pilpres 2019 ini juga tak benar merupakan pertarungan ideologi antara Pancasila vs Khilafah, seperti yg disampaikan Hendropriyono.

Baca Juga:  Hapus Konten Radikal di Buku Pelajaran Agama, Menag: Materi Khilafah Masih Ada

Prabowo dalam debat pilpres keempat beberapa malam lalu tegas mengatakan bahwa tak mungkin dia mau mengganti Pancasila dgn Khilafah kalau dia menang kelak.

Sebagai purnawirawan militer yg telah disumpah setia pada Pancasila, Prabowo malah menantang balik: “Saya lahir dari rahim ibu Nasrani. Tidak masuk akal saya membela khilafah.”

Yang terjadi ialah Prabowo dan HTI saling menunggangi sebab memiliki lawan yg sama. Prabowo menolak khilafah, tapi menerima dukungan dari HTI. Ini sebab Prabowo hendak mengesankan bahwa dia membela ulama dan membela Islam. Citra Prabowo sebagai Capres hasil ijtima ulama harus dia pertahankan.

Di sisi lain, anggota eks HTI juga tak mungkin memberikan suaranya dalam Pilpres kepada Prabowo. Hal ini disebabkan menurut mereka pemilu itu merupakan bagian dari sistem demokrasi, sedangkan demokrasi ialah sistem kufur.

Jadi mereka mau abstain (golput) dari Pilpres, seperti yg telah mereka lakukan pada Pemilu sebelumnya. Mereka membenci Jokowi yg telah membubarkan HTI. Dengan seolah mendukung Prabowo, mereka berharap Prabowo mau menghidupkan kembali HTI kelak bilalau 02 menang pemilu —setidak-tidaknya dgn membiarkan mereka tetap beroperasi mempromosikan ide khilafah, seperti yg dilakukan pemerintahan SBY sebelumnya.

Pilpres 2019 ini juga tak benar dianggap sebagai pertarungan antara PKI dan Khilafah. Jokowi telah membantah tuduhan bahwa dia PKI. Sebagaimana Prabowo juga membantah bahwa dia pendukung Khilafah. Bantahan keduanya ini disampaikan dalam momen debat Pilpres keempat, pada 30 Maret 2019.

Lantas apa yg harus diwaspadai dalam pelaksanaan Pilpres dan pasca Pilpres kelak.

Yang harus diwaspadai bersama ialah kerusuhan ketika Pilpres dan setelahnya. HTI yg seolah-olah mendukung kubu 02 sebenarnya tengah berharap terjadi kegaduhan dan Pilpres gagal terlaksana. Kalau Pilpres dibatalkan akibat kericuhan maka bukan kubu 01 atau 02 yg mau menang, melainkan HTI.

Baca Juga:  Pesan Pemilu dari Gus Mus: Kalau Kalah Legowo, Kalau Menang Tak Euforia Berlebihan

Ini sebab HTI hendak menunjukkan bahwa demokrasi tak cocok buat Indonesia, negeri Muslim terbesar di dunia. Mereka telah siap menawarkan solusi khilafah kalau perjalanan demokrasi di Indonesia berjalan mundur ke belakang. Ini siasat HTI.

Potensi kerusuhan pasca Pilpres juga harus diwaspadai. Ini dipicu oleh pernyataan Amien Rais yg mengatakan bilalau kubu 02 kalah oleh kecurangan, mereka tak mau menggugat hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK), tapi langsung menggunakan people power.

Boleh jadi Amien Rais merasa tak ada gunanya menempuh jalur peradilan sebab tahun 2014 mereka telah lakukan dan ternyata MK menolak gugatannya.

Pernyataan Amien Rais ini sangat berbahaya sebab berpotensi memprovokasi pertumpahan darah. Perbedaan bukan diselesaikan dgn mekanisme demokrasi berdasarkan negara hukum, tapi dgn kekuatan massa.

Tentu saja massa dari kubu 01 tak mau tinggal diam bilalau ancaman Amien Rais terbukti. Apalagi Jokowi telah memerintahkan pendukungnya buat semua berbaju putih pada hari-H Pilpres, sehingga mau semakin jelas mana kubu 01 dan kubu 02 di TPS nanti.

Pilpres ialah pesta demokrasi. Semua orang harus dapat bergembira menyambutnya dan menunaikan hak demokrasi dgn nyaman dan aman. Semua pihak sebaiknya selepas memilih nanti harus dapat menyanyikan penggalan lagu Indonesia Raya ini: “Marilah kita berseru: Indonesia berSATU.”

Dikutip utuh dari Status FB Gus Nadirsyah Hosen
(04/04/19)
.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.