Biografi Imam al-Qusyairi: Tokoh Pertama Pelurus Penyimpangan Tasawuf

Tokoh kita satu ini ialah Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Ia juga masyhur dijuluki dgn Abul Qasim al-Qusyairi. Bila dirunut, leluhurnya bersumber dari kabilah Qusyair dari dataran Hadramaut. Kabilah Qusyair ialah salah satu kabilah arab keturunan Rabi’ah bin ‘Amir bin Sha’sha’ah bin Hawazin. Bila dirunut lebih jauh lagi nasab Abul Qasim al-Qusyairi bertemu dgn Nabi Muhammad ﷺ dari kakek Nabi Muhammad yg bernama Adnan.

 

Leluhur Abul Qasim al-Qusyairi hijrah dari tanah Hadramaut menuju kota Naisabur pada kisaran akhir abad pertama Hijriah. Hal ini disebabkan perluasan dinasti Umayyah yg sangat masif hingga dataran Khurasan di negara Irak.

 

Abul Qasim al-Qusyairi lahir pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 376 H di perkampungan Osto yg masih termasuk kawasan kota Naisabur. Keterangan ini merujuk pada kesaksian al-Khathib al-Baghdadi sebagaimana tertuang dalam karyanya, Tarikh Baghdad (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008, 11: 83). Sejak kecil, Abul Qasim al-Qusyairi telah ditinggal wafat oleh ayahnya dan ia pun diasuh oleh seorang ulama sufi bernama Abu Qasim al-Yamani. Di usia remaja, Abul Qasim al-Qusyairi mengembara ke kota Naisabur. Di kota penuh ilmu inilah Abul Qasim al-Qusyairi bertemu dgn Abu Ali ad-Daqqaq, seorang tokoh sufi besar.

 

Rupanya Abu Ali ad-Daqqaq menaruh hati kepada sang murid. Kelak, sang sufi muda ini pun dinikahkan dgn seorang perempuan cantik jelita bernama Fathimah yg tak lain ialah putri dari Abu Ali ad-Daqqaq. Dari pernikahan yg pernuh berkah ini, Abul Qasim al-Qusyairi mendapatkan enam anak laki-laki dan satu anak perempuan.

 

Abul Qasim al-Qusyairi menemui banyak tokoh besar Islam di zamannya. Pada awalnya ia menimba ilmu tasawuf kepada Abu Ali ad-Daqqaq. Bila dirunut silsilah tasawuf Abul Qasim al-Qusyairi ialah Abul Qasim al-Qusyairi dari Abu Ali ad-Daqqaq dari Abu Qasim an-Nashrabadi dari Muhammad Asy-Syibli dari al-Junaid al-Baghdadi dari as-Sirri as-Saqati dari Ma’ruf al-Karkhi dari Dawud at-Tha’I (Lihat kitab Thabaqat al-Fuqaha’ asy-Syafi’iyyah karya Ibnu Shalah hal.525 vol.2 cetakan Muassasah ar-Risalah Kairo tahun 2012).

 

Kemudian setelah puas mengambil ilmu tasawuf, Abul Qasim al-Qusyairi mendalami ilmu tauhid dan ilmu ushul fiqh kepada Ibnu Faurok. Di masa itu, Ibnu Faurok ialah ulama terbesar yg tekun menyebarkan pemikiran Imam Abu Hasan al-Asy’ari. Tak heran bahwa Abul Qasim al-Qusyairi ialah seorang ulama sufi yg juga pembela madzhab Abu Hasan al-Asy’ari. Hal ini juga dibuktikan Abul Qasim al-Qusyairi dgn karyanyanya yg berjudul “Syikayah Ahli Sunnah bi Hikayati Ma Nalahum min al-Mihnah” di dalamya ia membela mati-matian pemikiran Ahlussunnah wal Jama’ah.

 

Setelah wafatnya Ibnu Faurok pada bulan Ramadan tahun 410 H maka Abul Qasim al-Qusyairi melanjutkan menimba ilmu tauhid kepada Abu Ishaq al-Isfiroini (W.418 H). Suatu ketika pernah Abul Qasim al-Qusyairi diuji oleh Abu Ishaq al-Isfiroini atas kefahamannya terhadap ilmu tauhid maka Abul Qasim al-Qusyairi pun dapat menjelaskan secara gamblang perbedaan pendapat diantara Ibnu Faurok dan Abu Ishaq al-Isfiroini dgn sangat jelas. Abu Ishaq al-Isfiroini pun mengatakan “Aku tak menygka engkau telah mencapai level yg sangat tinggi dalam ilmu tauhid, sekarang engkau tak perlu lagi mengikuti kajianku, cukuplah engkau membaca seluruh karya-karyaku dan bila ada yg membuatmu ragu berdiskusilah dgnku”. Kemudian, Abul Qasim al-Qusyairi pun menjadi semakin bersinar dalam ilmu tauhid setelah ia membandingkan pemikiran Ibnu Faurok dan Abu Ishaq al-Isfiroini dgn pemikiran al-Qadhi al-Baqillani yg ia kaji karya-karyanya. (kitab Quthuf min Basathin at-Tasawuf karya Dr. Muhammad Ahmad Salim hal.96 cetakan Maktabah Aiman Kairo 2018).

 

Selain itu, Imam Abul Qasim al-Qusyairi juga tercatat pernah menimba ilmu fiqh madzhab Syafi’I kepada al-Imam Abu Bakar at-Thusi di kota Naisabur. Saygnya, perjalanan keilmuan Abul Qasim al-Qusyairi di kota Naisabur harus terhenti sebab ia difitnah oleh seorang pejabat beraliran mu’tazilah bernama Manshur bin Muhammad al-Kandari. Abul Qasim al-Qusyairi pun diusir dari kota Naisabur hingga ia pun terpaksa menetap dan mengajar di kota Baghdad atas izin khalifah al-Qaim bi Amrillah. Kelak, Abul Qasim al-Qusyairi mau kembali lagi ke kota Naisabur ketika masa pemerintahan Alb Arselan sepulangnya dari haji ke Baitullah. Dan nantinya Abul Qasim al-Qusyairi wafat di kota Naisabur pada hari minggu tanggal 16 bulan Rabi’ al-Akhir tahun 465 H. Ia wafat dgn meninggalkan 31 buah karya dalam berbagai fan ilmu.

 

Meluruskan Ilmu Tasawuf

Pada masa Abul Qasim al-Qusyairi terdapat dua aliran besar tasawuf. Pertama, aliran mereka yg masih mengikuti jalan para ulama sufi terdahulu dalam berakhlak dan beradab sedangkan. Kedua, aliran mereka yg mengaku sebagai golongan sufi tetapi mengingkari ajaran syariat dan mereka telah melakukan kesesatan dalam bertasawuf.

 

Menyikapi hal ini rupanya Abul Qasim al-Qusyairi tak tinggal diam. Ia pun menulis sebuah karya monumental berjudul “Risalah Qusyairiyyah”. Dengan kitab ini ia menegaskan bahwa tasawuf dan syariat haruslah berjalan beriringan, tak boleh saling bertolak belakang. Tak ayal, Abul Qasim al-Qusyairi ialah tokoh sufi yg paling awal meluruskan ajaran tasawuf dari jurang kesesatan. Bahkan, Abul Qasim al-Qusyairi dgn karya “Risalah Qusyairiyyah” lebih dulu hadir sebelum Imam Muhammad al-Ghazali yg lahir tahun 450 H dgn karya “Ihya Ulumiddin”.

 

Ia menekankan bahwa seorang sufi harus berpijak pada aqidah yg benar sebelum ia menyusuri jalan tasawuf. Dalam kitab Risalah Qusyairiyyah, ia menukil pendapat Abu Ali ad-Daqqaq, “Wajib bagi seorang sufi pada permulaannya buat mengikuti aqidah yg benar yg jauh dari keraguan, kesamaran, dan kesesatan. Ia juga harus berpegang teguh pada ilmu yg berdasarkan argumentasi akal dan dalil yg kuat.”

 

Abul Qasim al-Qusyairi juga berpendapat bahwa seorang sufi hanya mampu mendekat kepada Allah dgn aqidah yg benar dan sepenuhnya mengikuti syariat Islam. Dalam kitab Lathaif al-Isyarat, ia berpendapat, “Hakikat iman ialah membenarkan (at-tashdiq) kemudian mengukuhkan (at-tahqiq) dan hal ini hanya dapat dicapai dgn pertolongan Allah (at-taufiq), membenarkan dgn akal, serta mengukuhkan dgn jerih payah beribadah. Maka yg dinamakan orang beriman ialah mereka yg benar aqidahnya kemudian mereka sungguh-sungguh dalam jerih payahnya beribadah kepada Allah”.

 

Dalam bertasawuf, Abul Qasim al-Qusyairi mewasiatkan empat nilai penting sebagaimana yg ia jelaskan dalam kitab Risalah Qusyairiyyah yaitu kewajiban memegang teguh syariat dan menjaga adab dalam menjalankan syariat, kewajiban beradab terhadap guru spiritual, kewajiban mengikuti ajaran aqidah yg benar, dan kewajiban memerangi hawa nafsu.

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.