Sahabat kita dapat saja orang yg terjalin ukhuwah Islamiyah (saudara segama), ukhuwah wathaniyah (saudara sebangsa), atau ukhuwah basyariyah (saudara sesama manusia).
Sahabat kita dapat jadi orang menyapa kita dgn “assalamu alaikum,†“selamat pagi,†“selamat menempuh hidup baru,†orang yg hadir dalam susah-senang kita, atau orang yg menemani kita menghabiskan waktu sekian jam di kedai kopi.
Namun, sahabat sejati kita di jalan Allah ialah orang yg mengantarkan pikiran kita ke jalan Allah meskipun tak akrab atau tak saling kenal. Syekh Ibnu Athaillah menyatakan sebagai berikut:
Artinya, “Jangan bersahabat dgn orang yg keadaannya tak membuatmu bangkit dan ucapannya tak menunjukimu kepada Allah.â€
Kata “keadaan†(hâl) dapat diartikan sebagai sesuatu yg bersifat nonverbal. Ia dapat bermakna perilaku keseharian yg menjadi ungkapan nonverbal. Kata ini sering kita dengar dalam ungkapan “Lisânul hâl afshahu min lisânil maqâl†atau “bahasa†nonverbal lebih efektif ketimbang bahasa verbal.
Sahabat sejati ialah orang yg keadaan dan ucapannya dapat mengubah seseorang dari lalai ke terjaga, dari maksiat ke tobat, dari gemar dunia ke zuhud dan seterusnya, meski tak selalu dai, penceramah, atau ustadz-ustadzah. Bahkan diamnya sahabat sejati itu justru membawa orang di dekatnya sampai ke hadirat Allah. Inilah sejatinya ukhuwah Islamiyah. Singkatnya, sahabat sejati itu orang yg mengantarkan seseorang menjadi naik kelas sebagai keterangan Syekh Ibnu Ajibah berikut ini:
Artinya, “Menurut saya, orang yg keadaannya membuatmu bangkit ialah orang yg ketika kaulihat kau menjadi ingat Allah yg sebelumnya kau dalam keadaan lalai. Ketika kau melihatnya, keadaanmu bangkit menjadi terjaga. Bisa jadi sebelumnya kau sangat cinta dunia. Ketika melihat orang itu, semangatmu bangkit buat zuhud. Boleh jadi sebelumnya kau tengah berenang dalam lautan maksiat. Ketika melihatnya, kau bangkit buat tobat kepada Allah. Ada kala kau dalam kondisi al-jahil billah. Tetapi ketika melihatnya, kau bangkit beralih menjadi al-arif billah. Dan seterusnya, dan seterusnya. Sedangkan orang yg ucapannya menunjukimu kepada Allah ialah orang yg berbicara dgn kekuatan Allah, menunjukimu kepada-Nya, dan lenyap selain-Nya. Bicaranya tulus sepenuh hati. Diamnya mengantarkanmu bangkit menuju Allah Yang Maha Ghaib. Keadaan orang ini membenarkan ucapannya. Ucapannya sesuai dgn ilmunya. Persahabatan dgn orang seperti ini sama halnya dgn eliksir yg mengubah keadaan suatu benda,†(Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, Beirut, Darul Fikr, juz I, halaman 74-75).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, eliksir pada pengertian ilmu kimia ialah zat cair yg oleh para ahli zaman dahulu (abad pertengahan) diharapkan dapat mengubah logam menjadi emas dan dapat memperpanjang kehidupan tanpa batas (usia). Dalam kajian farmasi, eliksir merupakan obat yg serbaguna (buat menyembuhkan segala penyakit) atau ramuan buat menyiapkan obat secara farmasi (seperti larutan dgn gula, etanol, atau bahan lain) yg memberi rasa enak.
Sedangkan orang yg sombong, tak sanggup mengendalikan hawa nafsu, suka memuji diri sendiri, atau yg menghitung ilmu dan amalnya bukanlah sahabat sejati di jalan Allah sebagai disebutkan oleh Syekh Zarruq berikut ini:
Artinya, “Menurut saya, orang yg keadaannya tak membuatmu bangkit dan ucapannya tak menunjukimu kepada Allah ialah orang yg belum mengalami hakikat, tak menaikkan semangatnya dari makhluk, senang pada dirinya (nafsunya), merasa tinggi di hadapan sesamanya, menghitung ilmu dan amalnya, dan memuji dirinya ketika menghadap dan berpaling dari Allah, meskipun amal dan ilmunya banyak, serta luas pandangan dan pemahamannya. Sedangkan orang yg keadaannya membuatmu bangkit dan ucapannya menunjukimu kepada Allah ialah orang yg menaikkan semangatnya jauh ketimbang makhluk dan hatinya penuh oleh pandangan terhadap hakikat. Saat kau melihatnya, kau mau mendapatinya sibuk dgn Allah. Bila ia berbicara, maka ia menunjukimu kepada Allah,†(Lihat Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah,2010 M/1431 H, halaman 58).
Sementara Syekh Syarqawi memaknai sahabat sejati di jalan Allah ialah orang yg menyandarkan hajat hidupnya kepada Allah, tak selalu dalam arti pasif. Sandaran hidup kepada Allah bermakna menghadapkan keperluan hidupnya hanya kepada Allah di tengah ikhtiarnya.
Sahabat sejati di jalan Allah juga ialah orang yg beragama secara tawasuth, itidal, dan tawazun. Ia mengamalkan agama secara proporsional tanpa ekstrem, yaitu melewati batas dalam mengamalkan (ifrath) atau mengabaikan norma agama (tafrith). Ia beragama dan hidup wajar-wajar saja di tengah masyarakat. Ia tak mengejar pencitraan di tengah khalayak.
Artinya, “(Jangan bersahabat dgn orang yg keadaannya tak membuatmu bangkit dan ucapannya tak menunjukimu kepada Allah). Ia ialah orang yg keadaan dan semangatnya tak berkaitan dgn Allah dan ucapannya tak memberikan petunjuk kepada-Nya sekalipun ia ialah seorang abid dan zahid. Murid dilarang bersahabat dgn orang seperti ini. Lain cerita kalau persahabatan dgn orang yg keadaannya membuatmu bangkit dan ucapannya menunjukimu kepada Allah, dalam arti semangatnya berkaitan dgn Allah, naik jauh meninggalkan makhluk. Ia tak menyandarkan hajatnya kecuali kepada Allah SWT. Ia tak memasrahkan urusannya kecuali kepada-Nya. Ia tak memasukkan manusia dalam pandangannya. Ia tak menganggap mereka dapat memberikan mudharat atau manfaat. Ia juga tak menghitung dirinya sendiri sehingga ia tak melihat dirinya dalam amal yg dilakukan dan tak memandang andil dirinya. Segala amalnya mengalir sesuai dgn tuntunan agama tanpa ekstrem melebihi batas (ifrath) atau abai terhadap agama (tafrith). Inilah sifat al-arif billah. Murid dianjurkan bersahabat dgn orang ini seperti ini meskipun amal dan ibadah sunah orang ini tak banyak sebab persahabatan ini mendatangkan manfaat duniawi dan keagamaan. Pasalnya, dari persahabatan itu tabiat dapat ‘menular.’ Lain cerita pergaulan dgn orang yg tak memiliki sifat seperti yg disebut terakhir ini. Interaksi lahiriyah dgn mereka ini sama sekali tak bermanfaat,†(Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Indonesia, Al-Haramain, 2012 M, juz I, halaman 37).
Hikmah ini mengingatkan kita buat waspada dalam mencari sahabat dalam pergaulan. Hikmah ini mendorong kita buat mencari sahabat sejati, yaitu sahabat bijaksana yg sebab akhlaknya baik dalam bicara maupun perangainya menuntun kita dekat dgn Allah.
Hikmah ini mengajak kita buat mencari sahabat sejati yg ucapan dan perilakunya membekas dalam diri kita buat berbenah diri. Hikmah ini jelas memaksa kita buat bergaul secara intensif dgn orang yg mendekatkan kita kepada Allah meski persahabatan itu tak selalu dibangun atas nama ukhuwah Islamiyah secara formal.
Sahabat sejati kita di jalan Allah boleh jadi ialah penjual makanan langganan kita yg “mengajarkan†kita arti istiqamah, sabar, syukur, keikhlasan, ridha, qanaah, dan lain sebagainya. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)