Diskusi Seputar Khilafah dua (Tanggapan atas Tanggapan)

Alhamdulillah, saya senang sekali banyak yg memberikan respon pada artikel saya berjudul “Mengkonversi Sistem Pemerintahan (Pengantar Diskusi Seputar Khilafah)”. Saya tentu lebih senang lagi apabila para pemberi komentar menulis nama dan alamatnya dgn lengkap supaya di antara kita dapat terus bersilaturrahmi. Tidak perlu menggunakan nama samaran supaya tak terkesan takut menyampaikan kebenaran. Jika kita benar kenapa harus takut? Sebagai seorang muslim yg beriman, yg harus kita takuti hanyalah Allah SWT semata.

Beragam pemikiran yg telah disampaikan dalam komentar, walaupun sebahagian berbentuk pertanyaan namun pada hakikatnya ialah pemikiran yg sangat cerdas dan cemerlang baik yg pro maupun yg kontra. Bagi yg sejalan dgn pemikiran saya tentu tak perlu saya respon dan saya mengucapkan terima kasih atas aplusnya, sedangkan yg masih belum sepaham, mari kita lanjutkan berdiskusi.

<>

Saya salut dgn ghirah islamiyahnya beberapa saudara kita sehingga seolah-olah apa yg telah diterapkan pada permulaan zaman khilafah bersumber dari sistem atau hukum Islam 100%, tak pernah mengadopsi secuilpun hukum asing yg kufur. Tidak ada hukum atau teori lain yg terinfiltrasi ke dalam sistem pemerintahan khilafah.

Kalau saja kita mau jujur dan bersabar membaca referensi klasik seperti Adab Al-Kabir dan Adab Ash-Shaghir karya Ibn Al-Muqaffa’ (adab disini berarti tata pemerintahan) atau kitab Khudainamah /Siyar Muluk terjemahan Ibnul-Muqaffa’ tentang cerita raja-raja persia, Al-Bidayah wan Nihayah karangan Ibnu Katsir , Al-Kaamil fit-Tarikh karya Ibnu Al-Atsir, dan kitab-kitab sejarah yg lain bahwa sejak zaman para sahabat r.a. banyak sekali sistem dari luar lingkungan Islam yg kemudian diadopsi oleh sistem khlilafah seperti sistem diwan yg digunakan oleh Sayyidina Umar r.a. buat administrasi negara, itu berasal dari persia, sistem wizarah (kementrian), hijabah (protokoler), dan sistem-sistem lain umumnya itu berasal dari Persia, Romawi, Arab kuno, dan lain-lain.

Jika memang benar-benar semua bagian sistem yg digunakan oleh para khalifah itu berasal dari Islam sendiri, tentu kita pasti dapat menemukan di dalam Al-Qur’an dan al-Hadits, bahwa sistem pemerintahan yg diridahi Allah SWT itu bagaimana, serta tata cara pemilihan khalifah seperti apa. Ternyata keterangan itu, tak kita temukan, yg ada hanya hasil ijtihad para ulama atau interpretasi dari teks Al-Qur’an ataupun as-Sunnah bukan teks itu sendiri yg dapat saja masih interpretible. Jika memang ada tek Al-Qur’an dan al-Hadist yg menerangkan model khilafah mendunia tolong ditunjukkan!

Selanjutnya buat beberapa saudara saya, barangkali lebih tepat tak menggunakan istilah kufur, sebutlah saja dgn istilah kovensional, sistem madani, atau sistem umum. Jika semua yg dari luar Islam dianggap kufur, bagaimana dgn apa yg sedang kita lakukan saat ini, yaitu berkomunikasi melalui internet. Setujukah anda? Anda menyatakan bahwa kita sedang berkomunikasi dgn cara yg kufur? Karena yg menciptakan komputer, internet, dan lain sebagainya itu ialah orang-orang Non Muslim bahkan Yahudi.

Ikhwan dan akhwat HTI yg saya hormati. Kalau kita membuka lembaran sejarah di dalam piagam Madinah sebagai Dustur Negara Madinah di situ tak tertera ungkapan bahwa negara berasaskan Al-Qur’an dan al-Hadits (syariat Islam). Yang ada hanya penjelaskan bahwa baik orang Islam atau Yahudi dan Non Muslim yg lain semua ialah umat yg harus menjalankan kewajiban dan menerima persamaan hak kewarganegaraan sama-sama membela negara dari serangan musuh dan sama-sama mendapatkan sanksi bila melanggar sesuai dgn kesepakatan. Subhanallah, Nabi Muhammad SAW itu memang negarawan ulung. Bahwa menurut beliau ada urusan duniawi dan ukhrawi, urusan duniawi ini diserahkan kepada ahlinya antum a’lamu bi umuri dunyakum, tapi negara tetap dinahkodai oleh nilai agama yg esensial dan prinsipil.

NU mentauladani sunnah politik Nabi Muhammad SAW berdasarkan contoh dari Nabi SAW, para sahabat, dan Ulama yg diikuti oleh kaum ahlussunnah tak terlalu memusingkan sistem pemerintahan dan negara, terserah mau pakai kerajaan terpusat, multi nation, multi dinasti dan lain-lain, tetapi syariat tetap harus diterapkan secara damai, bertahap, tanpa harus dipaksakan dan sesuai dgn kesepakatan anak bangsa.

Maka dari itu, setiap negara yg mayoritas penduduknya muslim menganut sistem fiqih yg berbeda –beda yg disepakati anak bangsa atau keputusan negara, ada yg Hanafi, Syafii, Hanbali dan Maliki. Ulama Indonesiapun termasuk NU memperjuangkan eksistensi peradilan agama dan kementrian agama buat mengurusi masalah keislaman, bahkan tak sedikit kader NU yg menjabat kepala Kantor Urasan Agama, Kakandepag, Kepala Pengadilan Agama, Kanwil Depag bahkan ada yg menjadi menteri agama.

Tentang pernyataan bahwa “negara mau aman, terentaskan dari kemiskinan, menghilangkan kejahatan dan lain-lain, bila menganut sistem khilafah (Syariah Islam), dgn penuh kerendahan hati,” terpaksa saya ajukan pertanyaan begini: Benarkan sistem khilafah itu menjamin keamanan negara? Sementara dalam catatan sejarah pada masa sayyidina Abu Bakar RA, Sayyidina Usman RA dan Sayyidina Ali RA terjadi kekacauan politik yg luar biasa (chaos).

Bisakah dikatakan aman suatu negara apabila kholifah atau presidennya mati terbunuh ditangan lawan politiknya, lihat saja sayyidina Umar RA wafat tertusuk pedang oleh Abu Lu’luk al-Majusi, sayyidina Usman RA wafat terbunuh sebagai syahid ditangan ribuan demonstran yg menuduh beliau melakukan nepotisme, sayyidina Ali RA wafat sebab tikaman belati oleh Abdurrahman Ibnu al-Muljam yg sebelumnya terjadi dua kali perang saudara yaitu Perang Jamal dan Perang Siffin yg telah menelan ribuan korban sahabat nabi wafat sebagai syuhada sebab membela ijtihadnya masing-masing?

Di masa sayyidina Umar terjadi fase kemiskinan dan kelaparan yg dahsyat sampai dihentikan hukum potong tangan, belum lagi cucu Rasulullah SAW Sayyidina Hasan RA, yg sangat kita cintai diduga wafat sebab diracun oleh lawan politiknya, begitu juga Sayyidina Husain RA meninggal sebagai syahid dgn sangat mengenaskan sebab didzalimi oleh lawan politiknya yg sampai saat ini masih terasa traumatik kesejarahannya. Pembunuhan sayyidana Husaen RA tersebut juga dilakukan oleh Khalifah yg mengatasnamakan syariat Islam dan berdasarkan hadits. Idza buyi’a likhalifataini faqtul al-akhar minhuma (apabila telah dibai’at dua orang khalifah bunuhlah salah seorang di antara keduanya) (HR Muslim No 3444).

Riwayat di atas semakin meneguhkan hati saya bahwa dari catatan sejarah sistem apapun tak mau menhilangkan kejahatan secara total. Yang wajib bagi kita ialah amar ma’ruf nahi munkar dan implementasinya sesuai dgn hasil ijtihadnya masing-masing, begitu juga mengentaskan kemiskinan dan lain sebaginya yg penting itu bukan sistem tapi supremasi hukum atau penegakkan hukum.

Bagi saya Hulafa’ Al-Rurrasyidun itu tak bersalah sebab mereka semua mujtahid yg berusaha menegakkan hukum semampu mereka dalam pilihan ijtihat yg tegas, jelas dan memperhatikan kemaslahahatan. Sudah barang tentu hukum itu harus ditegakkan bukan diganti, maka NU terus berusaha menegakkan hukum ini sesuai dgn kemempuan ijtihadnya. NU pun mengkampanyekan jihad melawan korupsi, mencerdaskan umat Islam dgn mendirikan pesantren dan sekolah bahkan sampai perguruan tinggi yg berjumlah ribuan lembaga sepanjang untaian kepulauan nusantara. Di dalamnya dikaji Al-Quran dan al-Hadits beserta ilmu-ilmu yg melengkapinya, ikhtiar mengamalkannya secara optimal dimulai dari sholat berjmaah, meninggalkan maksiat dan berakhlaqul karimah.

Dalam amar ma’ruf nahi mungkar NU menggunakan cara pendekatan psikologis mendekati para napi, bromocorah, PSK buat diajak bertobat kepada Allah SWT, mengkampanyekan anti mo-limo: madon, madat, maling dan lain sebagainya. Sistem apapun tak mungkin menghilangkan kejahatan manusia, sebab fitrah manusia itu memang dapat berbuat salah dan sebagai buktinya ialah Allah SWT menyediakan neraka walaupun juga menyediakan surga.

Menurut saya ini ialah tantangan bagi kita buat beramar makruf nahi munkar dan berdakwah sembari mencari strategi yg efektif demi tumbuh kembangnya Islam dan pemancangan akarnya yg kokoh di atas bumi sembari menyadari bahwa kita hanya berusaha dan Allah jua yg menentukan. Innaka la tahdy man ahbabta walakinnallaha yahdy man yasya’ (Al-Qashash: 56). Kejahatan itu bukan sesuatu yg perlu ditakutkan, tapi didekati dgn mauidhah hasanah dan mujialah billaty hiya ahsan. Walau kunta Fadhdhan gholidhal qolbi lan fadhdhu min haulik (Ali Imran: 159). Kalau engkau keras, orang-orang yg kamu dekati mau lari, jadi harus lembut. Pelan tapi pasti. Basysyiru wa la tunaffiru (HR. Bukhari No 67). Berilah mereka kabar gembira, jangan buat mereka lari. Inilah prinsip ahlussunnah yg dipegang NU.

Tentang pernyataan bahwa pemilihan presiden yg dianggap hanya berdasarkan pada hukum manusia dan khilafah berdasarkan kepada hukum syara’, bukankah khalifah Abu Bakar RA dan Ali RA itu dipilih oleh rakyat sebagaimana wa amruhum syura bainahum (dan persolan mereka dimusyawarahkan di antara mereka pula), lantas apa perbedaannya kalau dalam realita sama-sama dipilih oleh rakyat?

Tentang pernyataan bahwa sistem DPR, DPD yg dianggap sistem kufur, saya kira ini keterlaluan, dan yg menyatakan itu sepertinya merasa menjadi hakim dalam menkafirkan orang. Padahal ketua MPR DPR DPD itu orang baik-baik, baik yg periode ini maupun periode sebelumnya, bahkan buat ketua DPD, KH. Mahmud Ali Zain, Saya pernah berkumpul dgn beliau selama tujuh tahun. Dalam penilaian saya, beliau itu termasuk orang shalih, baik ibadahnya yg komplit mulai dari yg wajib sampai yg sunnah atau semangat juangnya yg terus berkobar hingga saat ini. Beliau memperjuangkan kemajuan Pondok Pesantren di Indonesia. Saya sebagai orang yg sama-sama tahu dari segi pengamalan keagamaannya. Dan setahu saya tugas-tugas lembaga tersebut ialah tugas mulia yg tak bertentangan dgn Islam bila ada oknum yg tak menjalankan tugas dgn baik tentu tak dapat di generalisasi terhadap semua lembaga tersebut

Tentang harapan diadakannya dialog, alangkah bahagianya andaikata yg mulia Ustadz Ismail Yusanto (Jubir HTI) berkenan hadir dan berdiskusi dgn kami dan teman-teman kami di Lembaga Bahtsul Masail PCNU Jember sambil duduk santai, minum teh hangat dan menikmati kurma ajwah (buah kurma yg konon pohonnya ditanam langsung oleh Rasulullah SAW), dan membuka kitab-kita tafsir dan hadits dgn pikiran jernih. Kami dgn senang hati dan tangan terbuka mau menyambut beliau dgn penuh kehangatan sebagai ikhwan sesama muslim. Mari kita lanjutkan. Saya selalu menungu respon dari semuanya.

KH Muhyiddin Abddusshomad
Penulis buku “Fiqih Tradisionalis” dan Ketua PCNU Jember





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.