Ketika menghadapi suatu masalah atau memiliki hajat tertentu, kita melakukan ikhtiar-ikhtiar manusiawi termasuk salah satunya ialah berdoa kepada Allah SWT. Celakanya kita menganggap ikhtiar atau doa kita itu sebagai sebab atas pemenuhan hajat atau keberhasilan kita dalam melewati masalah tersebut.
Hal ini tentunya merupakan sebuah kekeliruan cara pandang kita terhadap ikhtiar manusiawi termasuk doa dalam kaitannya dgn pertolongan Allah di mana hubungan doa dan pertolongan Allah merupakan relasi sebab akibat atau kausalitas. Kekeliruan cara pandangan ini kiranya perlu diluruskan sebagai disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut ini:
Artinya, “Jangan maknai permintaanmu sebagai sebab atas pemberian Allah yg itu menunjukkan kekurangpengertianmu terhadap-Nya. Hendaklah sadari bahwa permintaanmu ialah pernyataan kehambaan dan pemenuhan atas hak-hak ketuhanan.â€
Menurut Syekh Ibnu Athaillah, kausalitas doa dan pemberian Allah lazimnya dipahami oleh mereka yg makrifatullahnya belum sempurna sehingga Allah dipahami secara mekanis, bahwa doa merupakan sebab atas pemberian-Nya. Hal ini berbeda dgn ahli makrifat yg memandang doa sebagai manifestasi dari kehambaan mereka dan pemenuhan atas hak-hak ketuhanan.
Hikmah Syekh Ibnu Athaillah ini diulas lebih lanjut oleh Syekh Syarqawi. Menurutnya, segala bentuk ibadah dan amal saleh termasuk doa yg dapat dipahami sebagai bentuk tawajuh seorang hamba kepada Allah jangan diniatkan sebagai sebab atas anugerah-Nya. Niatkan itu semua sebagai bentuk pengabdian manusia kepada Allah SWT. Penjelasan Syekh Syarqawi dapat disimak dalam redaksi sebagai berikut:
Artinya, “(Jangan maknai permintaanmu sebagai sebab atas pemberian Allah), jangan niatkan permintaan dan tawajuhmu kepada-Nya melalui doa atau amal saleh buat mendapat anugerah-Nya dan meyakininya sebagai sebab yg berpengaruh atas itu, (yg itu menunjukkan kekurangpengertianmu terhadap-Nya) terhadap Allah, yg itu menunjukkan kau tak memahami rahasia dan hikmah perintah Allah buat berdoa. Rahasia dan hikmahnya itu disebutkan Syekh Ibnu Athaillah sebagai berikut, (Hendaklah sadari bahwa permintaanmu ialah pernyataan kehambaan), yaitu buat menyatakan dirimu sebagai hamba, hina, dhaif yg tak dapat cukup ketimbang-Nya (dan pemenuhan atas hak-hak ketuhanan). Sifat ketuhanan menuntut kerendahan dan ketundukan para hamba. Allah tak memerintahkan hamba-Nya berdoa kecuali buat menyatakan kefakiran mereka terhadap-Nya dan kerendahan mereka di hadapan-Nya, bukan buat mereka jadikan sebab demi mendapat permohonan dan meraih kemauan mereka. Inilah pemahaman ahli makrifat terhadap Allah. Dari sini permintaan dan permohonan mereka kemudian tak pernah putus sekalipun Allah telah mengabulkan permohonan dan memberikan permintaan serta hajat mereka. Mereka tak membedakan pemberian dan penahanan Allah sehingga mereka tetap menjadi hamba Allah dalam keadaan apapun sebagaimana Allah ialah tuhan mereka dalam kondisi apapun. Adalah sebuah keburukan seorang hamba yg memalingkan wajah dari pintu Tuhannya,†(Lihat Syekh Sarqawi, Syarhul Hikam, Indonesia, Al-Haramain, tanpa catatan tahun, juz II, halaman 9).
Mengapa hubungan kausalitas doa dan anugerah Allah sebagai kekeliruan yg mengandung bahaya? Anggapan keduanya sebagai hubungan kausalitas itu berbuntut panjang. Ada konsekuensi logis dari cara pandang kausalitas tersebut. Syekh Ahmad Zarruq mengulas masalah ini lebih jauh. Menurutnya, hubungan kausalitas itu dapat mempengaruhi rasa syukur dan ridha kita terhadap Allah. Celakanya kalau kita terjebak dan masuk ke dalam kelompok orang-orang yg kufur nikmat dan tak ridha atas putusan-Nya sebagai penjelasan Syekh Ahmad Zarruq berikut ini:
Artinya, “Letak ketakpahaman terhadap-Nya sebab logika kausalitas ialah bahwa bila diberi, mereka tak bersyukur. Kalau pun bersyukur, rasa syukurnya kendur sebab mereka memperhatikan sebab atas pemenuhan hajat mereka sebab manusia biasanya lebih bahagia atas pemberian Allah tanpa memakai sebab dibanding sebuah pemberian-Nya dgn memakai sebab tertentu. Kalau tak diberi, mereka tak ridha. Kalau pun ridha sebab tak diberi, mereka tak melihat pilihan Allah, tetapi melihat kelalaian diri mereka sebagai hamba Allah. Pandangan mereka seperti ini tak sempurna. Tetapi yg dituntut dari mereka ialah seperti yg dikatakan oleh Syekh Ibnu Athaillah, yaitu “Hendaklah sadari bahwa permintaanmu ialah wujud pernyataan kehambaan dan pemenuhan atas hak-hak ketuhanan,†(Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 141).
Hikmah Syekh Ibnu Athaillah ini bukan sama sekali menyarankan kita buat berhenti atau tak berdoa. Hikmah ini membuka pandangan kita terhadap doa sebagai ikhtiar yg sama statusnya dgn bentuk ikhtiar manusiawi lainnya. Hikmah ini hanya mengingatkan kita buat menggeser cara pandang kita terhadap doa.
Hikmah ini mengajak kita buat menyadari siapa diri kita di hadapan Allah SWT. Oleh sebab itu hikmah ini mendorong kita buat tetap berdoa kepada Allah dalam kondisi apapun baik dalam menghadapi masalah yg signifikan maupun tak, dalam kondisi berhajat maupun dalam kondisi cukup, sebagai bentuk kehambaan kita sebagai makhluk-Nya. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)