Hari-hari Penuh Ujian Sang Imam Penggagas Istishlah & Istihsan

Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, bahwa mazhab Mâlikî dan mazhab Hanbali, keduanya ialah mazhab penerima konsepsi istishlâh (maslahatu al-mursalah), yaitu suatu metode penarikan maslahat dari suatu objek hukum yg sedang diamati. Jika kita terpaku pada pemaknaan maslahat saja tanpa adanya ilustrasi gambaran kehidupan Sang Imam, ada muncul kekhawatiran bahwa yg dinamakan sebagai istishlâh ialah mencari kemudahannya saja tanpa berani menghadapi risiko.

Baca juga: 
• Prioritas Maslahat dalam Fiqih Maqashid Mazhab Maliki
• Prinsip Kemaslahatan dalam Fiqih Imam Ahmad ibnu Hanbal

Bagaimanapun juga konsep ini cenderung sering menjebak fuqahâ’ sehingga kemudian ia bersikap tasâhul (menggampangkan) di dalam hukum tanpa berusaha mencari konsepsi idealitasnya. Konsep idealitas yg dimaksud di sini ialah ihtiyâth (kehati-hatian dalam menggali hukum), sebagaimana salah satu ciri khas mazhab Syâfi’i. 

Penting diketahui bahwa Imâm Ahmad Ibnu Hanbal Al-Syaibâni ialah murid dari Sang Imam al-Syâfi’i. Di dalam sebuah teks disebutkan bahwa al-Thabârî (pemilik kitab Tafsir Al-Thabâri) pernah menolak menyebut Imâm Ahmad sebagai mujtahid. Beliau lebih suka menyebut pendiri mazhab Hanbali ini sebagai muttabi’ dari Imâm al-Syâfii disebabkan sebab dalam banyak hal, ia mengadopsi pemikirannya.

Suatu ketika pernah keluar pernyataan, bahwa Imam Ahmad ibnu Hanbal, apabila dihadapkan pada sebuah problem fiqih, dalam kondisi ia belum mengetahui solusi dalil pemecahannya, maka ia mau merujuk ke al-Syâfii. Sikap ini diambil khususnya apabila dia belum menjumpainya di dalam teks-teks hadîts yg berhasil dihimpunnya. Itulah sebabnya, warna pemikiran fiqih mazhab Hanbali terkadang memiliki kesesuaian dgn mazhab al-Syâfii di dalam perihal hukum, meskipun juga warna dari pola pemikiran Mâlikiyah juga kerap mewarnai fiqih Hanbali ini.

Lantas bagaimana penerapan maslahat itu sendiri digambarkan oleh Sang Imam Ahmad ibnu Hanbal? Kita dapat merujuk pada sejarah saat beliau dihadapkan pada satu problem yg beliau sendiri selaku individu yg terlibat dalam masalah hukum itu. Kebetulan masalah tersebut ialah berkaitan dgn persoalan tauhid. Masa itu dikenal dgn masa ayyâmu al-mihnah (hari-hari penuh dgn ujian). Para ahli sejarah Islam menyebutnya sebagai masa inkuisisi, yaitu masa penuh cobaan  bagi Sang Imam.

Saat itu, Bani Abbâsiyyah menduduki puncak kekuasaannya dgn pusat pemerintahan di Damaskus Siria yg berhasil direbutnya dari wilayah kekuasaan Bani Umayyah. Adapun Bani Umayyah memiliki pusat pemerintahan di Madînah. Saat peristiwa ayyâmu al-mihnah ini terjadi, tampuk kekhalifahan Banî Abbâsiyah (Damaskus) dipegang oleh khalifah al-Makmun (218 H). Bentuk mihnah ini ialah Sang Khalifah memberikan “dekret” bahwasanya wajib bagi setiap hakim (qâdlî), ahli hadits (muhaddits) dan imam-imam masjid di Baghdad memiliki i’tiqad (keyakinan) bahwa “Al-Qur’an ialah makhluk”. Seorang Imam dan qâdli mau dinilai baik, manakala ia menjawab bahwasanya Al-Qur’an ialah makhluk ciptaan Allah SWT. Sebaliknya, ia mau dinilai buruk manakala ia menjawab bahwasanya Al-Qur’an bukanlah makhluk. 

Peristiwa ini mengantarkan Imam Ahmad ibnu Hanbal ke penjara selama beberapa kali sebab beliau menolak buat mengatakan hal itu. Ia tetap berkeyakinan bahwasanya Al-Qur’an ialah Kalam Allah SWT yg bersifat Qadîm sebagaimana Qadîmnya Dzat Allah SWT. Puncaknya, beliau pernah diekstradisi dari Baghdad pada masa khalifah Al-Wasiq. Imbasnya kemudian, pada masa kekhalifahan Al-Mutawakkil (232 H), ideologi negara yg menyatakan bahwa Al-Qur’an ialah makhluk dicabut. 

Pengalaman yg sama juga terjadi pada pengasas istihsân, yaitu Imam Abû Hanîfah. Dalam sebuah riwayat yg disampaikan oleh Ubaidillah ibnu Amr disebutkan bahwa sang imam pernah menerima dera (cambuk) dari kekhalifahan Abû al-Manshûr sebanyak 110 kali cambukan. Masalahnya sederhana, yaitu beliau menolak diangkat sebagai hakim negara (qâdli). Apa sih beratnya menjadi seorang qâdli? Bukankah beliau sang imam saat itu ialah seorang pakar hukum di bidang fiqih? Mengapa beliau menolak dan justru lebih memilih buat menolak jabatan yg disampaikan oleh seorang kepala negara? Inilah uniknya. Padahal, beliau ialah pengasas istihsân itu. [Ahmad Ibnu Ali Ibnu Tsabit Ibnu Ahmad Ibnu Muhdi al-Baghdâdî, Tarikh Al-Baghdâdî, Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 2001: 13/326]. 

Yang menarik buat kita cermati di sini ialah, mengapa para pengasas istihsân dan istishlâh seolah tak menggunakan kaidah yg mereka ajarkan? Andaikan Imam Abû Hanîfah tak menolak jabatan qâdli, dapat jadi beliau tak mau menerima hukum dera. Demikian juga, Imam Ahmad ibnu Hanbal, andaikan beliau cukup dgn mengatakan bahwa “Al-Qur’an ini (yg ada di tangan) ialah makhluk,” bukankah itu mau lebih menyelamatkan”. Namun, kedua hal itu tak dilakukan oleh masing-masing Imam. Tampaknya ada pertimbangan dasar yg menyebabkan keduanya menolak apa yg dipaksakan oleh sang khalifah kepada beliau. Lantas apa yg menjadi dasar pertimbangannya?

Baca juga: 
• Sejarah Khalifah Umar Menerapkan Maslahah Mursalah
• Menelusuri Fiqih Maqashid Imam Abu Hanifah

Ada beberapa kemungkinan yg menyebabkan beliau bersikukuh buat tak menerapkan kaidah yg diasaskannya. Pertama, ialah beliau menimbang bahwa apa yg dipaksakan kepada beliau ialah hal yg bersifat prinsipil. Apa yg dipaksakan kepada Imam Ahmad ibnu Hanbal ialah berhubungan dgn masalah i’tiqad (keyakinan) sebagai buah dari i’tiqad Mu’tazilah yg saat itu menjadi mazhab resmi negara. Istishlâh dalam urusan i’tiqad merupakan bagian yg dilarang disebabkan ada kekhawatiran masyarakat yg mengetahuinya menjadi salah duga bahwa apa yg dinyatakan oleh sang imam ialah pandangan baru hasil ijtihad beliau. 

Pernyataan Al-Qur’an ialah makhluk dapat menunjuk pada dua makna majâzî dan makna haqîqî. Khawatirnya masyarakat menganggapnya sebagai bermakna haqîqî, padahal sang imam bermaksud pada makna majâzî yaitu Al-Qur’an yg ada di tangan yg terdiri atas lembar mushaf dan dicetak. Maka tak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an tersebut ialah makhluk. Adapun hakikinya Al-Qur’an ialah Kalam Allah SWT yg bersifat Qadîm sebagaimana Qadimnya Dzat Allah SWT yg bersifat al-Kalîm. Jadi, dalam hal ini beliau (Ahmad ibnu Hanbal) menolak penerapan istishlâh buat hal yg berhubungan dgn i’tiqâd. 

Kedua, ada dugaan beliau menolak ialah semata buat menghindari masalah politis yg saat itu tengah marak terjadi. Sebagaimana diketahui bahwa pada masa sang imam, tengah gencar-gencarnya dilakukan perburuan hadits. Keberpihakan Imam pada salah satu dinasti, mau dapat berakibat resistensi kelompok yg berada di kubu yg berseberangan. Padahal, dari kubu yg berseberangan tersebut terdapat sejumlah perawi hadits yg tak ditemukan di kubu lainnya. Misalnya ialah hadits yg meriwayatkan tentang perihal ahlu bait Nabi, dan hal ihwal Nabi ketika berada di lingkungan keluarga. Sudah pasti, hadits-hadits yg berhubungan dgn hal tersebut ada pada para perawi yg berkaitan langsung dgn keluarga Nabi, seperti Siti Aisyah radliyallâhu ‘anhâ. Jadi, hikmah penolakan Sang Imam ialah bermanfaat besar bagi keselamatan riwayat hadits guna menggali hukum yg terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur’an al-Karîm. Adanya maslahat yg lebih besar tersebut dikenal dgn istilah fathu al-dzarî’ah, antitesa dari manhaj antisipatif saddu al-dzarîah.

Namun, bagaimanapun juga, sikap sang imam ini secara tak langsung juga membawa pengaruh bagi para pengikutnya buat merumuskan batasan-batasan kebolehan menerapkan istihsân dan istislâh. Batas-batas inilah yg kelak lebih memperkaya wacana penerapan kedua instrumen hukum ini buat diaplikasikan dalam menggali hukum fiqih di era-era berikutnya, khususnya dalam bidang ekonomi syarîah. Wallâhu a’lam bish shawâb. 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.