Hasil Lengkap Munas NU soal Distribusi Lahan (1)

Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama yg digelar di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 23-25 November 2017 membahas sejumlah persoalan strategis negara, di antaranya mengenai distribusi lahan. Topik ini setaknya dibahas dalam dua forum utama, yakni Komisi Bahtsul Masail Maudluiyah dan Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah. 

Bahtsul Masail Maudluiyah yg fokus pada isu tematik dan penjelasan konseptual (bukan semata halal-haram) menyoroti ketimpangan dalam kepemilikan lahan dan apa saja jalan keluar yg dapat ditempuh oleh negara; sedangkan Bahtsul Masail Qanuniyah yg fokus pada masalah perundang-undangan mengulas landasan yuridis konstitusional dan keagamaan terkait pentingnya distribusi lahan buat kemakmuran bersama.

Dalam kesempatan ini, Redaksi NU Online memuat dua hasil Munas-Konbes NU 2017 tentang distribusi lahan itu dalam dua tahap. Berikut ini ialah hasil lengkap Bahtsul Masail Qanuniyah yg bertajuk “Distribusi Lahan buat Kesejahteraan Rakyat”.

======

Latar Belakang

Belakangan ini muncul isu redistribusi lahan dalam rangka kesejahteraan dan pemerataan ekonomi. Isu ini ramai diperbincangkan bersamaan dgn rencana Presiden Jokowi Widodo membuat kebijakan redistribusi lahan buat mengatasi kesenjangan antarwilayah dan antarkelas sosial. Bahkan Presiden Jokowi telah memerintahkan tiga kementerian yakni Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) buat melakukan reformasi agraria. 

Masalah utamanya sebenarnya bukan sekadar soal kebijakan redistribusi, melainkan tentang konsep dasar, filosofis dan menyeluruh tentang distribusi lahan buat kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat. Dalam konteks ini, negara harus hadir dan berperan sentral buat membangun kebijakan yg berpihak pada rakyat banyak, termasuk supaya tanah berperan dan berfungsi sebagaimana yg diamanatkan oleh konstitusi dan dapat dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT sebagai Pencipta alam semesta. Sungguhnya, yg diharapkan ialah reformasi agraria secara fundamental supaya sejalan dgn tujuan bernegara dan buat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Indonesia. 

Inti dari distribusi lahan ialah terwujudnya keadilan bagi masyarakat dalam penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam yg ada di dalamnya. Oleh sebab itu, program reformasi agraria yg dicanangkan oleh pemerintah ialah bagaimana mengembalikan orientasi reformasi agraria supaya tak sekadar bagi-bagi lahan bagi rakyat, tetapi tak menyentuh akar dari ketimpangan struktur sosial dan ekonomi masyarakat sendiri. Orientasi paling dasar dari reformasi agraria ialah perombakan struktur yg timpang, terutama dalam hal kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam. Seluruh aspek, mulai dari tanah, air, hingga udara harus ditata ulang sesuai dgn semangat kemerdekaan bangsa ini. Jika hal itu dapat dilaksanakan, maka adanya jaminan kepastian hukum kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa-sengketa tanah yg berasaskan prinsip keadilan, tiadanya kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat, bukan lagi sekadar sebuah pernyataan di atas kertas.

Kerangka Konseptual 

Terdapat tiga persoalan pokok yg harus diatasi buat melakukan reformasi agraria dalam konteks distribusi lahan buat kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat; Pertama ialah ketimpangan penguasaan tanah negara. Ketimpangan ini terjadi sebab proses historis di masa lalu, di mana pelaku kekuatan ekonomi raksasa mendapatkan hak pengelolaan lahan dalam skala besar, sementara rakyat di kelas bawah makin kehilangan lahan mereka. Kedua ialah timbulnya konflik-konflik agraria, yg dipicu oleh tumpang tindihnya kebijakan distribusi lahan pada masa lalu, di mana lahan-lahan negara yg diberi izin buat dikelola ternyata tak seluruhnya merupakan lahan negara yg bebas kepemilikan. Ketiga ialah timbulnya krisis sosial dan ekologi di pedesaan. Krisis ini diindikasikan dgn makin terdegradasinya kualitas lahan pertanian di pedesaan, makin menyempitnya lahan buat pertanian yg dimiliki oleh para petani, dan makin berkurangnya jumlah tenaga kerja yg bekerja di sektor produksi pertanian.

Reformasi agraria dapat dilaksanakan melalui dua jalan; pertama ialah melalui penataan pada sistem politik dan sistem hukum pertanahan dan keagrariaan. Jalan ini tak sepenuhnya menjadi tugas dan kewenangan fungsi BPN-RI, tetapi mengharuskan kita buat dari waktu ke waktu mengembangkan, berinteraksi, dan berkomunikasi dgn pihak-pihak yg terkait dgn ini, baik lembaga-lembaga negara maupun masyarakat supaya terjadi check and balances dan sistem pengawasan yg ketat dan terkendali. Jalan yg kedua ialah dapat melalui apa yg disebut “land reform plus”, yaitu land reform yg di dalamnya menampung ciri terpenting berupa distribusi dan redistribusi atas aset tanah pada masyarakat yg berhak yg kemudian disertai pula dgn mekanisme bagi negara buat memberikan jalan bagi masyarakat yg ikut dalam program distribusi dan redistribusi ini buat dapat memanfaatkan tanahnya secara baik dan produktif. Dalam konteks ini, pemerintah harus mau berinvestasi maksimal buat memfasilitasi masyarakat dalam penggarapan atau pemanfaatan hasil dari distribusi dan redistribusi tanah tersebut.

Cara di atas pada gilirannya mau berdampak positif bagi upaya peningkatan produksi di bidang pertanian secara tetap dan terus menerus, dgn cara mengakhiri sistem penguasaan tanah secara tak terbatas dan besar-besaran oleh beberapa orang yg tak mengerjakan tanahnya secara intensif atau bahkan menelantarkan tanahnya serta mempekerjakan buruh tani secara kurang wajar. Kebijakan redistribusi tanah dalam rangka land reform juga merupakan sarana yg dapat mempengaruhi lingkaran kemiskinan, kebodohan dan stagnasi, serta merupakan suatu permulaan pembaharuan yg pengaruhnya dapat meratakan jalan ke arah perkembangan di bidang pertanian.

Di berbagai negara di dunia, reformasi agraria merupakan jawaban yg muncul terhadap masalah ketimpangan struktur agraria, kemiskinan, ketahanan pangan, dan pembangunan perdesaan. Berbagai negara secara beragam mengimplikasikan program pembaruannya sesuai dgn struktur dan sistem sosial, politik, dan ekonomi yg dianutnya. Namun demikian, terdapat kesamaan cara pandang dalam meletakkan konsep dasar pembaruannya, yaitu keadilan dan kesejahteraan rakyat. Reformasi agraria sebagai strategi dan langkah pembangunan telah terbukti dalam sejarah dan dalam pengalaman negara-negara lain mampu mengatasi persoalan-persoalan mendasar dan sekaligus mampu mewujudkan kehidupan bersama yg lebih berkeadilan.

Secara garis besar, langkah-langkah konkret yg harus dilakukan dalam kebijakan distribusi tanah dalam konteks reformasi agraria harus menjawab beberapa persoalan di berbagai aspek yg sangat luas, yg meliputi aspek sosial-ekonomi, sosial-politik, dan mental-psikologis, yakni: 1) Penguatan kerangka regulasi dan pembaharuan hukum pertanahan. 2) Penataan penguasaan dan pemilikan tanah obyek reformasi agraria yg disertai dgn adanya legalisasi dan kepastian hukum. 3) Mengakhiri pengisapan feodal secara menyeluruh dan bertahap. 4) Pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan, dan produksi atas lahan. 5) Penguatan kelembagaan pelaksana reformasi agraria di pusat dan daerah. 6) Perencanaan persediaan dan perbuatan bumi, air, dan kekayaan alam yg terkandung di dalamnya secara berencana sesuai dgn daya kesanggupan dan kemampuannya.

Landasan Yuridis Konstitusional

Dalam pasal 33 UUD 1945 secara tersirat ditegaskan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yg terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan buat sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam konteks pertanahan, negaralah yg menentukan bagaimana dan siapa saja yg dapat memiliki, menguasai, dan menggunakan tanah yg tersebar diseluruh wilayah negeri ini melalui mekanisme dan aturan yg berlaku. Inilah yg menjadi landasan yuridis konstitusional tentang perlunya reformasi agraria dan distribusi tanah buat keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Sebenarnya, kebijakan reformasi agraria yg termasuk di dalamnya redistribusi lahan telah dirancang sejak lama. Hanya saja dalam perjalanan waktu kemauan itu tertutup oleh hiruk pikuk kekuasaan yg semakin jauh dari keberpihakannya pada rakyat. Pada awalnya panitia reformasi agraria dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 131 Tahun 1961 dan kemudian di ubah melalui Keputusan Presiden No. 262 Tahun 1964. Pada tahun 1980, dgn pertimbangan bahwa panitia land reform yg ada tak memadai dgn perkembangan dewasa ini, maka ditetapkan organisasi dan tata penyelenggaraannya yg disesuaikan dgn pertimbangan dewasa ini, yaitu melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1980.

Keputusan presiden ini kemudian ditindaklanjuti dgn dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri No.37 Tahun 1981 tentang Pembentukan Panitia Pertimbangan Land Reform dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 1981 mengenai Perincian Tugas dan Tata Kerja Pelaksanaan Land Reform. Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1980 Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa pelaksanaan land reform ditugaskan kepada Menteri Dalam Negeri serta para gubernur kepala daerah, bupati/walikota madya kepala daerah, camat, dan kepala desa yg bersangkutan selaku wakil pemerintah pusat di daerah, lebih lanjut mengenai perincian tugas masing-masing diatur dalam Pasal 2, 3, 4 dan 5 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 1981.

Seiring perjalanan waktu, reformasi agraria yg dicanangkan itu dapat dikatakan kurang berhasil atau bahkan gagal mencapai tujuan yg hakiki. Salah satu sebabnya ialah sebab hampir semua kebijakan reformasi agraria itu bersifat paternalistik, yakni cenderung menyandarkan diri pada kedermawanan pemerintah (reform by grace) semata. Akibatnya begitu pemerintah berganti, maka habislah hasil-hasil positif yg mungkin pernah dicapai oleh pelaksanaan reformasi agraria tersebut.

Oleh sebab itu, buat menjamin keberlanjutan reformasi agraria supaya tak bergantung pada “pasar politik” semacam ini, maka diperlukan reformasi agraria yg didasarkan atas pemberdayaan rakyat “land reform by leverage” atau “pembaruan agraria melalui dongkrak”. Artinya, walaupun undang-undangnya dibuat oleh pemerintah pusat, tetapi pelaksanaannya amat fleksibel. Bahkan wewenang pelaksanaan undang-undang itu tak harus berada di tangan pemerintah tetapi di tangan asosiasi tani regional atau bahkan lokal sebab rakyat tani setempatlah yg paham betul bagaimana kondisi daerahnya.

Terkait kebijakan redistribusi tanah, yg dimaksudkan ialah pembagian tanah-tanah yg dikuasai oleh negara dan telah ditegaskan menjadi objek land reform yg diberikan kepada para petani penggarap yg telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961. Pembagian tanah ini bertujuan buat memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat khususnya para petani dgn cara mengadakan pembagian tanah yg adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah sehingga melalui pembagian tersebut dapat dicapai pembagian hasil yg adil dan merata.

Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial sebagaimana dijelaskan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Pokok Agraria). Penggunaan tanah harus disesuaikan dgn keadaannya dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yg memilikinya maupun bermanfaat bagi negara dan masyarakat secara keseluruhan. Artinya, bila hak atas tanah apapun yg ada pada seseorang, taklah dapat dibenarkan dipergunakan semata-mata buat kepentingan pribadi terlebih bila hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Jika tanah-tanah yg telah diberikan hak oleh negara, misalnya berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yg namun ternyata tak diusahakan, tak dipergunakan, atau tak dimanfaatkan sesuai dgn keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya, maka hal tersebut tergolong sebagai tanah terlantar. Tanah yg ditelantarkan oleh si pemegang hak (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah lainnya), menurut peraturan perundang-undangan, Badan Pertanahan Nasional dapat menghapus hubungan hukum si pemegang hak dan tanahnya tersebut dgn menetapkannya sebagai tanah terlantar yg dapat diredistribusi kepada masyarakat lain yg dapat menggarap dan memanfaatkannya secara produktif.

Penetapan suatu area sebagai tanah terlantar dan membagikannya kepada yg berhak (redistribusi tanah) yg kemudian menghapus hubungan pemegang hak dgn tanah tersebut merupakan amanat UU Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penetapan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 PP Nomor 11 tahun 2010, bahwa perbuatan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan buat kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara serta buat cadangan negara lainnya.

Landasan Keagamaan

Dalam kehidupan manusia, kebutuhan mau tanah ialah bagian dharury (asasi) buat kelangsungan hidup. Begitu juga, tanah harus terdistribusi secara adil supaya dapat digarap dan dimanfaatkan secara produktif buat memenuhi kebutuhan hidup manusia. Islam telah menegaskan bahwa peredaran kekayaaan, termasuk tanah, tak boleh terkonsentrasi pada segelintir orang atau golongan.

مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

Artinya, “Apa saja harta rampasan (fai) yg diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yg berasal dari penduduk kotakota maka ialah buat Allah, buat Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yg dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yg diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yg dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS al-Hasyr: 7)

تفسير القرطبي – (ج ١٨ / ص ٦١) ـ

ومعنى اآلية: فعلنا ذلك في هذا الفئ، كي ال تقسمه الرؤساء واالغنياء واالقوياء بينهم دون الفقراء والضعفاء، الن أهل الجاهلية كانوا إذا غنموا أخذ الرئيس ربعها لنفسه، وهو المرباع

Artinya, “Pengertian ayat di atas ialah bahwa harta fai’ itu diperbuatkan; supaya tak hanya dibagikan kepada pemimpinpemimpin, orang-orang kaya, dan orang-orang kuat di antara mereka semua, bukan orang-orang fakir dan lemah. Sebab Orang jahiliyah (zaman dahulu), ketika mendapat harta fai’, para pemimpin, dan penguasa mengambilnya terlebih dahulu seperempatnya buat mereka.”

Dalam mengomentari ayat tersebut, Dr Wahbah Az-Zuhaily mengatakan di dalam Tafsir Al-Munir, juz XXVIII, halaman 81: 

وهذا مبدأ إغناء الجميع، وتحقيق السيولة للكل

Artinya, “Ini ialah prinsip kewajiban memberi kecukupan kepada semua dan terjadinya pencairan kekayaan bagi semua.”

وَلَا يَنْبَغِي لِلْامَاِم أَنْ يُقْطِع َمِنَ الْمَوَاتِ إلَّا مَا قَدَرَالْمُقْطَعُ عَلَىِ إحْيَائِهِ ؛لأِنَّ  فِي إقْطَاعِهِ أَكْثَرَمِنْ هَذَا الْقَدْرِ تَضْيِيقًا عَلَى النَّاسِ فِي حَقٍّ مُشْتَرَكٌ بَيْنَهُمْ، مِمَّا لاَ فَائدَةَ فِيه، فيَدْخُل بِه ِالضرَرُعَلَى المُسْلِمِينَ

Artinya, “Imam wajib mendistribusikan tanah terlantar sesuai dgn kemampuan pihak penerima dalam mengelolanya. Sebab, pemberian lahan yg melebihi batas kemampuannya yg dapat berakibat mempersempit pihak lain buat memperoleh apa yg menjadi hak bersama di antara mereka termasuk hal yg tak berguna sehingga menyebabkan mudarat bagi kaum Muslimin,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua belas, juz VI, halaman 430)

قَال أَصْحَابُنَا إِنَّهُ إذَا حَجَّرَ أَرضًا وَلَم يَعْمُرهَا ثَلاَثَ سِنِينَ أخَذَهَا الإمَام أَوْ دَفَعَهَا إِلَى غَيْرِهِ لأِنَّ التحْجِير لَيْسَ بِإحْيَاءٍ لِيَتَمَّلَكَهَا بِهِ لأنّ الإحْيَاءَ هُوَاَلْعِماَرةُ وَالتحْجِيرُ لِلْإعْلاَمِ

Artinya, “Para ulama dari kalangan ةadzhab kami (Madzhab Hanafi) berpendapat bahwa sungguh ketika seseorang memberikan garis batas (tahjir) lahan dan ia tak mengelolanya selama tiga tahun maka imam dapat mengambilnya dan memberikannya kepada pihak lain. Sebab, tahjir (pengkaplingan lahan) bukanlah masuk kategori menghidupkan lahan supaya dapat memilikinya. Karena menghidupkan lahan ialah mengelolanya, sedang pemagaran lahan ialah buat sekadar pemberitahuan (i’lam),” (Lihat Badruddin Al-‘Aini, ‘Umdatul Qari, Beirut, Darul Fikr, cetakan pertama, 1421 H/2001 M, juz XV).

عَنِ الحَارِثِ بْنِ بِلاَلِ اَلْمُزَنِيِّ ،عَنْ أَبِيه ، أَنَّ رَسُول اللهَ ﷺ أَقْطَعَهُ اَلْعَقيِقَ أَجمَعَ ، قَال :فَلَمَّا كَان عُمَرُ قَال لِبِلاَلٍ: إِنَّ رَسُول الله ﷺ  لَم يقْطِعْكَ لِتَحْجُرهُ عَنِ النَّاسِ، ِإنَّماأَقْطَعكَ لِتَعْمَلَ، فَخُذْ مِنْهَا ما قَدَرتَ عَلَى عِمارتِهِ وَرُدَّ البَاقي

Artinya, “Dari Al-Harits bin Bilal bin Al-Harits Al-Muzani dari bapaknya, bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan lembah (al-aqiq/dekat kota Madinah) seluruhnya. Sayyidina Umar RA pada masa jabatannya berkata kepada Bilal RA, ‘Sungguh Rasulullah SAW tak memberikan lembah tersebut buat kamu pagari, tetapi beliau SAW memberikannya kepadamu supaya kamu mengelolanya. Karenanya, ambillah dari lembah tersebut sesuai kemampuanmu dalam mengelolanya dan kembalikan sisanya,” (Lihat Ibnu ‘Asakir, Tarikhu Madinati Dimasyqi, Beirut, Darul Fikr, 1995 M, juz X, halaman 426).

الثالثُ اُسْتُثْنَى مِنَ اْلقَعاِدَةِ صُوَرٌ اَلأولَى لِلْإِمَام الْحِمَى وَلَوْ أَراَد مَنْ بَعْدَهُ نَقْضَهُ فَلَهُ ذَلِك َفِي الأَصَحِّ لأِنَّهُ لِلْمَصْلَحَةِ

Artinya, “Yang ketiga, dikecualikan dari kaidah al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad (ijtihad tak dapat dibatalkan dgn ijtihad lain) beberapa bentuk. Pertama, diperbolehkan bagi imam (negara) mengeluarkan kebijakan penetapan hima (kawasan lindung). Apabila generasi setelahnya bermaksud membatalkan kebijakan tersebut, maka boleh menurut pendapat yg lebih sahih (al-ashshah) dgn pertimbangan kemaslahatan,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha`ir, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403, h. 104).

Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Tanah harus dikembalikan pada fungsi dasarnya sebagai alat produksi buat kesejahteran rakyat secara adil dan merata. Dengan demikian, tanah tak boleh dimonopoli kepemilikan dan penggarapannya, yg dapat mengakibatkan ketimpangan.

2. Perlu adanya payung hukum yg kuat dan komprehensif buat menjamin kepastian hukum bagi kebijakan distribusi lahan melalui reformasi agraria secara fundamental dan menyeluruh. Pengaturan tentang distribusi lahan diintegrasikan ke dalam RUU Pertanahan.

3. Konglomerasi penguasaan lahan konsesi yg tak proporsional harus diredistribusi melalui mekanisme hukum yg sah. Pemerintah berkewajiban menyiapkan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan lahan hasil redistribusi tersebut.

4. Kebijakan reformasi agraria dan distribusi lahan buat kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat harus dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan, tak bergantung pada kebijakan politik rezim kekuasaan yg berganti-ganti.

5. Proses dan mekanisme pelaksanaan reformasi agraria dan distribusi lahan harus transparan dan terbuka kepada publik, dapat dikontrol dan diawasi secara ketat oleh negara dan masyarakat.

Tim Perumus Bahtsul Masail Ad-Diniyyah Al-Qanuniyyah

KH. Abdul Muhaimin

KH. Busyro Musthofa

KH. Syafruddin

KH. Romadhon Chotib

H. Zaini Rahman

H. Asrori S. Karni

H. Muhammad Mustafid

H. Daniel Zuchron

H. Syamsuddin Slawa

(Red: Mahbib Khoiron)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.