Ketentuan Bagi Hasil Tanaman Tumpang Sari pada Akad Mukhabarah

Mukhabarah dan Muzara’ah didefinisikan sebagai akad yg sama, hanya beda asal sumber benihnya. Jika sumber asal benihnya dari petani penggarap (amil/muzari’), maka disebut muzara’ah. Namun bila asal benihnya dari pemilik tanah/lahan, maka akad itu disebut mukhabarah. Keduanya sama-sama dipandang sebagai akad syirkah (kerja sama), yaitu kerja sama antara pemilik lahan dan petani penggarap.

Adapun syirkah ‘inan ialah akad kerja sama melakukan suatu aktivitas produksi melalui pengumpulan berupa modal dgn jenis dan macam yg sama buat dikelola bersama. Obyek produksi dari syirkah inan yg mau kita bahas kali ini ialah pertanian. Jenis pertaniannya berupa tanaman yg ditumpangsarikan ke tanaman utama, yg diperoleh melalui akad musaqah.

Obyek tanaman kedua akad muzara’ah dan mukhabarah ini sama-sama berupa tanaman substitusi, atau tanaman tambahan. Alhasil, tanaman pada akad ini bukan tanaman utama sehingga keberadaan obyek tanaman pun tak boleh mengganggu tanaman utama itu. Ini ialah syarat paling utama yg harus dipahami oleh para petani.

Untuk akad tumpang sari tanaman yg ditentukan melalui akad muzara’ah, telah jelas bahwa akad tersebut ternyata maqbul (diterima) bila dimasukkan ke dalam bagian dari syirkah ‘inan. Nah, bagaimana kalau menggunakan model akad mukhabarah? Apakah juga termasuk maqbul dalam akad syirkah ‘inan tersebut?

 

Investasi Pertanian dalam Akad Muzara’ah

Sebagaimana kita tahu, bahwa kunci dari akad mukhabarah ialah benih berasal dari pemilik lahan (rabbul mal). Sementara yg dikehendaki dari akad mukhabarah (muqtadhal ’aqdi) ialah bagi hasil dalam bentuk nisbah hasil produksi lahan yg didapat. Semisal, bagi mukhabir (petani penggarap) mendapatkan nisbah ⅕ hasil panenan, atau ¼-nya. Sisanya ialah milik pemilik lahan (rabbul mal). Apakah akad seperti ini boleh?

Sebenarnya, fokus utama dalam kajian mukhabarah ini terletak pada proses menghargai kerja mukhabir dalam bentuk angka jadi (ma’lum). Mengapa demikian? Sebab syirkah ‘inan itu menghendaki jenis modal yg sama.

Jika pemilik lahan dapat mengkalkulasi kebutuhan penanaman suatu benih tanaman sehingga produksinya dalam bentuk angka taksiran, lantas buat mukhabir, angka modal yg disertakannya ini mau dihitung dalam bentuk apa dan dgn atas dasar patokan nilai apa? Apakah dgn nilai kerja yg dilakukan atau atas dasar nilai yg lain?

Jika modal petani penggarap ditentukan berdasarkan kerja, maka bukankah mukhabir sendiri juga berperan selaku musaqy (amil) dalam akad musaqah yg diambilnya? Dengan kata lain, mukhabir selaku musaqy (amil) memiliki tugas merawat tanaman utama yg di situ juga ada tanaman yg harus dijaga dgn akad mukhabarah.

Dalam syariat, dua akad itu boleh digabungkan manakala keduanya dapat dipisahkan kalkulasinya (tafriqus shafqah). Sementara dalam lahan itu, mukhabir kerjanya hanya satu, namun dgn dua obyek akad (mukhabarah dan musaqah). Ia bertanggung jawab terhadap akad musaqah yg telah dibangun duluan. Sementara ia juga harus bertanggung jawab terhadap akad mukhabarah yg disubstitusikan sebab adanya tumpang sari itu.

 

Mengenal 3 Jenis Akad Bagi Hasil Pengelolaan Tanah

Dalam menghadapi persoalan ini, umumnya penyelesaian dari masyarakat petani kita, khususnya di Jawa, ialah dgn jalan mengikutsertakan nisbah bagi hasil tanaman mengikuti tanaman utamanya. Jika dalam akad musaqah, pihak petani mendapatkan nisbah bagi hasil â…• hasil panen misalnya, maka demikian pula berlaku pada nisbah bagi hasil akad mukhabarah. Artinya, ia juga harus mendapatkan nisbah bagi hasil yg sama dari total hasil panen tanaman substitusinya.

Dengan demikian, ia mendapat dua jatah penerimaan sebesar ⅕ total hasil panenan, baik dari akad musaqah maupun mukhabarah. Akad ini sekian lama berlaku di kalangan petani, dan tampaknya belum ada penjelasan dari ulama’ yg mengingkarinya atau menyatakannya sebagai akad yg fasid (rusak) atau sebagai akad yg shahih (benar).

 

Ketentuan Lahan Garapan dalam Akad Muzara’ah

Namun, dalam konteks akad syirkah ‘inan Mazhab Syafii, sebenarnya akad ini tak dapat diterima sebab tiga alasan utama, yaitu: 

1. Tidak dapat dipilah antara kalkulasi kerjanya mukhabir, sehingga modal yg disertakannya pun menjadi tak dapat diprediksi/ditaksir.  

2. Karena kerja mukhabir tak dapat diprediksi, maka amal mukhabir menjadi masuk sebagai kelompok ijarah fasidah, disebabkan unsur tak diketahuinya upah (ujrah) pengelolaan tanaman substitusi, meskipun diberi berupa nisbah hasil panen. Sebagaimana berlaku dalam akad ijarah, syarat ijarah menjadi shahihah (benar) dalam timbangan syara’ ialah mana kala diketahuinya upah (ujrah ma’lumah) yg mau diberikan. Pemberian ujrah dgn nisbah bagi hasil tanaman menandakan bahwa ujrah tersebut masuk unsur ijarah fasidah disebabkan ketakmaklumannya.

3. Tanpa keberadaan ujrah yg dapat diprediksi, maka penentuan nisbah bagi hasil pun menjadi akad yg rusak, khususnya bila dilihat dari kacamata syirkah inan. 

Sekali lagi, pandangan ini ialah berangkat dari pemikiran akad syirkah inan yg diakui secara mu’tabar dalam Mazhab Syafii. Sebab mazhab ini memandang satu-satunya akad syirkah yg disahkan ialah syirkah inan. Fondasi dari syirkah inan ialah syirkah milik (syirkatul amlak) dan bukan kerja sama dalam akad (syirkatul aqdi). Perbedaan keduanya terletak pada status kepemilikan modal, jadi bukan sekadar persatuan akad. Mungkin ada yg bertanya, bagaimana kalau dimasukkan dalam syirkatul aqdi saja?

Jika dimasukkan dalam syirkatul’aqdi memang ada peluang buat dapatnya model mukhabarah ini diterima. Sebab, dalam syirkatul aqdi, yg dikehendaki ialah hasil dan pembagian kerja semata. Tidak ada rincian mengenai modal yg diikutsertakan oleh dua pihak yg saling menjalin kerja sama. Namun, konsep syirkatul ’aqdi ini tak diterima di kalangan Syafiiyah sebab kewajiban tafriqus shafqah (kalkulasi nilai).

Adapun konsep ini diterima di kalangan tiga mazhab lainnya, selain Mazhab Syafii. Itulah sebabnya, Mazhab Syafii tak dapat menerima konsep mukhabarah dan mengharamkannya dgn alasan di belakang hari berpotensi menimbulkan permasalahan antara pemilik lahan dan petani penggarapnya. Untuk itu berlaku kaidah: 

الخروج من الخلاف مستحب

Artinya, “Keluar dari perkara yg berpotensi menimbulkan perselisihan ialah yg disunnahkan.”

Apa yg terjadi pada akad mukhabarah ini tak berlaku bagi akad muzara’ah sebab unsur kejelasan akad dan dapat terkalkulasi keikutsertaan modal petani.

Lain halnya dgn tiga mazhab selain Syafiiyah. Mereka menyatakan hukum mukhabarah sebagai akad yg diperbolehkan dan memasukkannya ke dalam rumpun syirkah abdan, atau syirkah wujuh, atau syirkah mufawadhah.

Alasan yg dipergunakan ialah adanya kemaslahatan yg mu’tabar dari akad ini, yaitu peningkatan pendapatan petani. Mereka berangkat dari pemikiran, bahwa hakikatnya disyariatkannya akad musaqah, muzara’ah dan mukhabarah ini ialah atas dasar ta’awun (tolong menolong), yaitu pertolongan pemilik lahan terhadap petani yg tak memiliki lahan supaya penghasilannya bertambah. Demikian yg berlaku sebaliknya, pertolongan petani terhadap pemilik lahan. Wallahu a’lam bis shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.