Rasulullah saw pernah bersabda bahwasannya bila Allah swt mencintai seseorang maka Ia mau mengujinya. kalau orang itu sabar, maka Allah swt mau menjadikannya orang mulia (mujtaba). Dan bila ia ridha (rela) maka Allah swt mau menjadikannya sebagai orang pilihan yg istimewa (musthafa).<>
الØمد لله, الØمد لله الذى شرع علينا الجهاد, ÙˆØرم علينا الÙساد,  وأَشْهَد٠أَنْ لاَ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‡ÙŽ Ø¥Ùلاَّ الله٠وَØْدَه٠لاَ شَرÙيْكَ لَه٠شهادَةَ أدخرها ليوم المعاد, وَأَشْهَد٠أَنَّ سَيّÙدنا Ù…ÙØَمَّدًا عَبْدÙه٠وَرَسÙوْلÙه٠الداعى بقوله ÙˆÙعله إلى الرشاد. اللهمّ صَلّ وسّلّÙمْ علَى عَبْدÙÙƒÙŽ وَرَسÙوْلÙÙƒÙŽ Ù…ÙØَمّد٠وعَلى آلÙÙ‡ وأصْØَابÙÙ‡Ù Ù‡Ùدَاة٠الأَنَام٠ÙÙ‰ انØاء البلاد. أمَّا بعْدÙ, Ùيَا أَيّÙهَا النَّاس٠اتَّقÙوا الله٠تَعَالَى بÙÙÙعْل٠الطَّاعَات٠…
Hadirin Jama’ah Juma’ah Rahimakumullah
Marilah dalam kesempatan ini kita bersama meniti ketaqwaan kita dan menigkatkannya sehingga kwalitas hidup ini semkin membaik. Sesungguhnya ketaqwaan itu ialah baro mater kesuksesan hidup ini. Dan hendaklah kita semua tetap berpegang kepada norma-norma syariat yg diajarkan Rasulullah saw. Sebagaimana beliau ajarkan pula cara bersabar menghadapi kehidupan ini.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Tema khutbah jum’ah kali ini sebenarnya bersumber dari sebuah hadits pendek yg berbunyi:
اÙذَا اَØَبَّ الله٠عَبْدًا اÙبْتَلَاهÙ, ÙَاÙنْ صَبَرَ اجْتَبَاه٠وَانْ رَضÙÙŠÙŽ اصْطَÙَاهÙ
bila Allah swt mencintai seseorang maka Ia mau mengujinya. kalau orang itu sabar, maka Allah swt mau menjadikannya orang mulia (mujtaba). Dan bila ia ridha (rela) maka Allah swt mau menjadikannya sebagai orang pilihan yg istimewa (musthafa).
Jika diperhatikan dgn seksama maka sesungguhnya Allah swt mencintai kita. Hampir semua umat muslim di dunia ini selalu dalam ujian-Nya. Ada yg diuji dgn kegemerlapan dan kekayaan harta, ada yg diuji dgn kekurangan uang. Ada yg dicoba dgn jabatan. Ada pula yg diuji dgn kondisi keluarga. Dan masih banyak lagi ujian-ujian lainnya.
Namun demikian, jarang dari kita yg sadar bahwa segala fenomena di sekitar kita pada hakikatnya ialah cobaan yg berfungsi sebagai ujian kehidupan. Bagaimanakah seseorang menyelesaikan ujiannya? Bagaimanakah proses penyelesian itu. Sebagaian dari kita melenggang menyelesaikan ujian dgn caranya sendiri. Dan sebagian yg lain menyelesaikan ujian sesuai dgn petunjuk dan aturan syariah. Dan ada lagi yg malah menikmati ujian itu dgn membiarkannya tanpa ada usaha penyelesaian.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Hadits yg disebutkan di atas dgn jelas mengkatagorikan dua kelompok yg berbeda dalam penyelesaian ujian dan cobaan. Satu kelompok menghadapi cobaan itu dgn kesabaran dan satu kelompok menghadapinya dgn kerelaan. Mereka yg mampu menghadapi dgn kesabaran itulah para mujtaba dan mereka yg menghadapi dgn kerelaan itulah musthafa.
Secara teoritis istilah musthafa hanya layak disandang oleh Rasulullah saw. Dialah Nurul Musthafa cahaya pilihan, dialaha habibil musthafa, sayyidil musthafa, nabiyyil musthafa. Hanya Rasulullah saw lah al-musthafa. Manusia sempurna yg rela di lempar kotoran unta oleh kaumnya sendiri padahal dia memiliki pilihan buat membalasnya sebagaimana ditawarkan oleh Jibril. Dialah nabi kita Muhammad saw yg rela menggembala kambing padahal dia ialah manusia paling berwibawa. Dia lah manusia yg rela diusir dari tanah airnya sendiri dalam hijrahnya menuju Madinah. Dialah yg rela menahan tentara buat tak menyerang Mekah dan memilihi perjanjian Hudzibiyyah. Sungguh al-Musthafa memang hanya layak disandang olehnya. Kemampuannya menanggung pengorbanan dan penghinaan padahal di satu sisi telah tersedia buatnya kemampuan melakukan perlawanan.
Jama’ah jum’ah yg berbahagia
Jika al-musthafa hanya layak buat junjungan kita, Rasulullah saw maka sebagai umatnya taklah berlebihan bila kita mau meneladaninya dgn berusaha menjadi al-mu’min al-mujtaba. Al-mujtaba sebagaimana dalam konteks hadits di atas ialah orang yg sabar dalam menghadapi ujian kehidupan. Sabar memiiki banyak rujukan kalimat dan makna. Seorang sufi mendefinisikan Sabar sebagai sebuah ketahanan diri menghadapi keadaan tanpa merasa gusar, tak mengeluh apalagi bercerita kepada sesama. Baik keadaan itu senang ataupun susah. Al-Junaid al-baghdadi berkata dalam Risalah Qusyairiyah sabar ialah meeguk kepahitan tanpa wajah cemberut “ تجرع المرارة بغير تعبيس†. Sementara Abu Usman berpendapat bahwa sabar ialah menjalani cobaan dgn sikap yg sama dgn menjalani kenikmata.
Demikian, sebab pada hakikatnya cobaan itu tak hanya berbentuk kesulitan, namun kesenangan dan kebahagiaan juga sebuah ujian, kemasyhuran dan kehinaan juga cobaan.
Karena itu Ibn Abbas berkata sebagaimana dikutip oleh Imam Ghazali dalam Ihya ulumuddin bahwa sabar menurut al-Qur’an hanya ada tiga macam. Pertama, sabar kepada kewajiban-kewajiban Allah. Kedua, sabar menghindar dari larangan Allah swt. Ketiga, sabar terhadap musibah Allah swt. dan kesabaran ketiga inilah yg memiliki derajat paling luhur. Dari ketiga bentuk ini Imam al-Qusyairi dalam kitabnya meyebutkan bahwa sabar ada dua macam, yaitu sabar terhadap sesuatu yg sedang diupayakan dan sabar terhadap sesuatu yg ada tanpa diupayakan.
Sabar terhadap sesuatu yg diupayakan ialah sabar dalam meniti syariat yg diperintahkan Allah swt. dan menghindarkan diri dari larangannya. Diantara sabar dalam konteks ini ialah selalu menekuni fardhu yg lima pada setiap awal waktu. Bersabar menjalankan shalat sunnah dhuha, meskipun kondisi ekonomi belum menandakan perubahan. Tetap menadhulukan shalat berjama’ah meskipun teman sekitar mengajak makan siang. Ataupun juga berusaha menolak ajakan rekan buat mencari kesenangan. Berusaha menghindarkan diri dari berjumpa kemaksiatan dan juga memilih hidup tetap sederhana dari pada berfoya-foya.
Mengenai hal ini kisah kesabaran Nabi Ibrahim dalam menyembelih anaknya merupakah tamsil yg sesuai. Bagaimana nabi Ibrahim sabar mentaati perintah Allah, dan Nabi Ismail sabar menghadapi hal yg tak dimaukannya.
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yg diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu mau mendapatiku termasuk orang-orang yg sabar.”
Sementara sabar terhadap apa yg tak diupayakan ialah mengkondisikan diri tetap segar, bugar dan berseri menghadapi segala yg telah ditentukan oleh Allah swt.
Jama’ah Jum’ah yg berbahagia
Semoga kita menjadi bagian orang-orang yg sabar. Orang-orang yg tak mudah mengeluh, kecuali hanya pada Allah. Orang-orang yg selalu bermuka riang dan orang-orang yg tak mudah putus asa. Itulah tanda-tanda orang bersabar. Rasulullah saw sendiri pernah berkata ketika ditanyakan masalah iman kepanya, beliau menjawab:
الإيْمَان٠الصَّبْر٠وَالسّمَاØÙŽØ©Ù
Iman ialah keteguhan hati dalam bersabar dan murah hati
Dan yg pasti Allah swt telah meyiapkan posisi orang-orang sabar di atas standard dgn tiga ratus derajat buat mereka yg sabar beribadah, enam ratus derajat buat mereka yg sabar menghindar dari ma’shiat dan sembilan ratus derajat bagi mereka yg sabar atas musibah.  Sebagaimana dijelaskan dalam an-Nahl ayat 96 :
ولا نجزين الذين صبروا
Dan sesungguhnya Kami mau memberi balasan kepada orang-orang yg sabar dgn pahala yg lebih baik dari apa yg telah mereka kerjakanÂ
Demikianlah khutbah jum’ah kali ini, somoga dapat memberikan inspirasi kepada kita semua. Renungkanlah bagaimana kesabaran menjadi jalan alternatif dalam menyelasaikan kehidupan manusia.
Â
بَارَكَ الله٠لÙيْ ÙˆÙŽÙ„ÙŽÙƒÙمْ ÙÙيْ اْلقÙرْآن٠اْلعَظÙيْم٠وَنَÙَعَنÙÙŠ وَإيَّاكÙمْ Ùبمَا ÙÙيْه٠مÙÙ†ÙŽ اْلآياَت٠وَالذكْر ÙالْØÙŽÙƒÙيْم٠وَتَقَبَّلَ Ù…ÙÙ†Ùّي ÙˆÙŽÙ…ÙنْكÙمْ تÙلاَوَتَه٠إنَّه٠هÙÙˆÙŽ السَّمÙيْع٠اْلعَلÙيْمÙ
Khutbah II
اَلْØَمْد٠لله٠عَلىَ اÙØْسَانÙه٠وَالشّÙكْر٠لَه٠عَلىَ تَوْÙÙيْقÙه٠وَاÙمْتÙنَانÙÙ‡Ù. وَاَشْهَد٠اَنْ لاَ اÙÙ„ÙŽÙ‡ÙŽ اÙلاَّ الله٠وَالله٠وَØْدَه٠لاَ شَرÙيْكَ لَه٠وَاَشْهَد٠اَنَّ سَيّÙدَنَا Ù…ÙØَمَّدًا عَبْدÙه٠وَرَسÙوْلÙه٠الدَّاعÙÙ‰ اÙلىَ رÙضْوَانÙÙ‡Ù. اللهÙمَّ صَلّ٠عَلَى سَيّÙدÙنَا Ù…ÙØَمَّد٠وÙعَلَى اَلÙه٠وَاَصْØَابÙه٠وَسَلّÙمْ تَسْلÙيْمًا ÙƒÙثيْرًا
اَمَّا بَعْد٠Ùَياَ اَيّÙهَا النَّاس٠اÙتَّقÙوااللهَ ÙÙيْمَا اَمَرَ وَانْتَهÙوْا عَمَّا Ù†ÙŽÙ‡ÙŽÙ‰ وَاعْلَمÙوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكÙمْ بÙاَمْر٠بَدَأَ ÙÙيْه٠بÙÙ†ÙŽÙْسÙه٠وَثَـنَى بÙمَلآ ئÙكَتÙه٠بÙÙ‚ÙدْسÙه٠وَقَالَ تَعاَلَى اÙنَّ اللهَ وَمَلآ ئÙكَتَه٠يÙصَلّÙوْنَ عَلىَ النَّبÙÙ‰ يآ اَيّÙهَا الَّذÙيْنَ آمَنÙوْا صَلّÙوْا عَلَيْه٠وَسَلّÙÙ…Ùوْا تَسْلÙيْمًا. اللهÙمَّ صَلّ٠عَلَى سَيّÙدÙنَا Ù…ÙØَمَّد٠صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلّÙمْ وَعَلَى آل٠سَيّÙدÙناَ Ù…ÙØَمَّد٠وَعَلَى اَنْبÙيآئÙÙƒÙŽ وَرÙسÙÙ„ÙÙƒÙŽ وَمَلآئÙكَة٠اْلمÙقَرَّبÙيْنَ وَارْضَ اللّهÙمَّ عَن٠اْلخÙÙ„ÙŽÙَاء٠الرَّاشÙدÙيْنَ اَبÙÙ‰ بَكْرÙوَعÙمَروَعÙثْمَان وَعَلÙÙ‰ وَعَنْ بَقÙيَّة٠الصَّØَابَة٠وَالتَّابÙعÙيْنَ وَتَابÙعÙÙŠ التَّابÙعÙيْنَ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ بÙاÙØْسَان٠اÙلَىيَوْم٠الدّÙيْن٠وَارْضَ عَنَّا مَعَهÙمْ بÙرَØْمَتÙÙƒÙŽ يَا اَرْØÙŽÙ…ÙŽ الرَّاØÙÙ…Ùيْنَ
اَللهÙمَّ اغْÙÙرْ Ù„ÙلْمÙؤْمÙÙ†Ùيْنَ وَاْلمÙؤْمÙنَات٠وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ وَاْلمÙسْلÙمَات٠اَلاَØْيآء٠مÙنْهÙمْ وَاْلاَمْوَات٠اللهÙمَّ اَعÙزَّ اْلاÙسْلاَمَ وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽØ£ÙŽØ°Ùلَّ الشّÙرْكَ وَاْلمÙشْرÙÙƒÙيْنَ وَانْصÙرْ عÙبَادَكَ اْلمÙÙˆÙŽØÙ‘ÙدÙيَّةَ وَانْصÙرْ مَنْ نَصَرَ الدّÙيْنَ وَاخْذÙلْ مَنْ خَذَلَ اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽ دَمّÙرْ اَعْدَاءَالدّÙيْن٠وَاعْل٠كَلÙمَاتÙÙƒÙŽ اÙÙ„ÙŽÙ‰ يَوْمَ الدّÙيْنÙ. اللهÙمَّ ادْÙَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزÙÙ„ÙŽ وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ وَسÙوْءَ اْلÙÙتْنَة٠وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ مَا ظَهَرَ Ù…Ùنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدÙنَا اÙنْدÙونÙيْسÙيَّا خآصَّةً وَسَائÙر٠اْلبÙلْدَان٠اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمÙيْنَ. رَبَّنَا آتÙناَ ÙÙÙ‰ الدّÙنْيَا Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙÙÙ‰ اْلآخÙرَة٠Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙ‚Ùنَا عَذَابَ النَّارÙ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْÙÙسَنَاوَاÙنْ لَمْ تَغْÙÙرْ لَنَا وَتَرْØَمْنَا Ù„ÙŽÙ†ÙŽÙƒÙوْنَنَّ Ù…ÙÙ†ÙŽ اْلخَاسÙرÙيْنَ. عÙبَادَالله٠! اÙنَّ اللهَ يَأْمÙرÙنَا بÙاْلعَدْل٠وَاْلاÙØْسَان٠وَإÙيْتآء٠ذÙÙ‰ اْلقÙرْبىَ وَيَنْهَى عَن٠اْلÙÙŽØْشآء٠وَاْلمÙنْكَر٠وَاْلبَغْي يَعÙظÙÙƒÙمْ لَعَلَّكÙمْ تَذَكَّرÙوْنَ وَاذْكÙرÙوااللهَ اْلعَظÙيْمَ يَذْكÙرْكÙمْ وَاشْكÙرÙوْه٠عَلىَ Ù†ÙعَمÙه٠يَزÙدْكÙمْ ÙˆÙŽÙ„ÙŽØ°Ùكْر٠الله٠اَكْبَرْ
Â
(ulil)