Hukum Membuang Jenazah ke Laut

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, sehari hari lalu kita dikejutkan dgn berita pembuangan jenazah anak buah kapal (ABK) berkebangsaan Indonesia yg bekerja pada kapal berbendera China ke laut. Terlepas dari prosedur tetap internasional terkait penanganan jenazah di sebuah kapal, bagaimana seharusnya penangan jenazah pada sebuah kapal dalam kajian fiqih? Demikian kami sampaikan, atas jawabannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Ali/Jakarta)

Jawaban

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya dan pembaca yg budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Kita cukup prihatin atas apa yg menimpa abk berkebangsaan Indonesia tesebut. Semoga Allah memberikan yg terbaik buat korban dan keluarganya.

Adapun kewajiban orang yg hidup atas jenazah muslim ialah memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkannya. Sedangkan kewajiban terhadap jenazah non-Muslim ialah mengafani dan menguburkannya saja sebagai keterangan yg kami dapat pada Hasyiyatus Syarqawi alat Tahrir.

Adapun keterangan terkait penanganan jenazah pada sebuah kapal yg sedang melaut dapat ditemukan pada Kitab Raudhatut Thalibin karya Imam An-Nawawi berikut ini:

إذا مات في سفينة إن كان بقرب الساحل أو بقرب جزيرة انتظروا ليدفنوه في البر وإلا شدوه بين لوحين لئلا ينتفخ وألقوه في البحر ليلقيه البحر إلى الساحل لعله يقع إلى قوم يدفنونه فإن كان أهل الساحل كفارا ثقل بشىء ليرسب

Artinya, “Jika seseorang meninggal di sebuah kapal–sekiranya posisi kapal di dekat pantai atau di dekat sebuah pulau–, maka penumpang kapal perlu menunda buat menguburkannya di daratan. Jika tak, mereka dapat mengikatnya pada dua lembar papan supaya jenazah tak membengkak lalu mereka melarungkannya ke laut arah pantai. Bisa jadi jenazah itu mau sampai pada sekelompok orang yg dapat menguburkannya. Tetapi bila sekiranya penduduk pantai ialah non-Muslim, maka jenazah tersebut dibanduli dgn benda berat supaya dapat tenggelam ke dasar laut,” (Lihat Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umadatul Muftin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz II, halaman 59).

Menurut Imam An-Nawawi, ulama dapat berbeda pendapat perihal kewajiban pemakaman jenazah pada sebuah kapal di laut. Tetapi mereka tak berbeda pendapat perihal kewajiban pemandian, pengafanan, dan penshalatan jenazah pada sebuah kapal.

وإذا ألقوه بين لوحين أو في البحر وجب عليهم قبل ذلك غسله وتكفينه والصلاة عليه بلا خلاف 

Artinya, “Jika penumpang kapal melarungkan jenazah dgn dua papan atau melemparnya ke laut, maka sebelum itu mereka wajib memandikan, mengafani, dan menshalatkannya tanpa ikhtilaf ulama,” (Lihat Imam An-Nawawi, 2005 M/1425-1426 H: II/60).

Pada Kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Imam An-Nawawi menyebut jenazah Muslim secara spesifik yg ditemani para sahabatnya yg juga menumpangi kapal tersebut.

 

Menurut An-Nawawi, sedapat mungkin sahabat jenazah Muslim ini mengupayakan penguburan sahabatnya di pantai atau pulau terdekat. Tetapi bila ada pertimbangan lain, maka mereka dapat menempuh jalan sebagai berikut:

قال أصحابنا رحمهم الله إذا مات مسلم في البحر ومعه رفقة فان كان بقرب الساحل وامكنهم الخروج به الي الساحل وجب عليهم الخروج به وغسله وتكفينه والصلاة عليه ودفنه قالوا فان لم يمكنهم لبعدهم من الساحل أو لخوف عدو أو سبع أو غير ذلك لم يجب الدفن في الساحل بل يجب غسله وتكفينه والصلاة عليه ثم يجعل بين لوحين ويلقى في البحر ليلقيه الي الساحل فلعله يصادفه من يدفنه

Artinya, “Sahabat kami dari Mazhab Syafi’i berkata, bila seorang Muslim meninggal di laut dan ada bersamanya sahabat–bila posisinya di dekat pantai dan memungkinkan mereka buat membawanya ke tepi pantai–maka mereka wajib membawa, memandikan, mengafani, menshalatkan, dan memakamkannya. Menurut sahabat kami, bila kondisi tak memungkinkan mereka buat membawa jenazah ke pantai sebab posisi kapalnya yg terlalu jauh dari bibir pantai, khawatir serangan musuh, binatang buas, atau uzur lainnya, maka mereka tak wajib menguburkannya di pantai. Mereka hanya wajib memandikan, mengafani, dan menshalatkannya. Jenazah kemudian ditempatkan pada dua papan, lalu dilarung buat dibawa ombak ke pantai. Bisa jadi jenazah mau ditemukan oleh orang yg dapat menguburkannya,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu‘ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz V, halaman 223).

Demikian jawaban singkat kami. Semoga dapat dipahami dgn baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

 

(Alhafiz Kurniawan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.