Hukum Mengganggu Orang Lain dgn Pengeras Suara Masjid (Polusi Suara)

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, rumah saya tak jauh dari masjid. Pada Ramadhan lalu pengurus masjid memutar kaset pengajian dgn durasi hampir sepanjang malam. Karena merasa terganggu, saya mengajukan keberatan dgn pengurus masjid, tetapi mereka menanggapi keberatan saya dgn marah. Saya sendiri tak mengerti dalil agama. Tetapi saya yakin agama Islam tak mau sejauh itu meminta umatnya buat membuat kebisingan yg mengganggu. Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Hamdani/Tangsel)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yg budiman, semoga Allah selalu menurunkan rahmat-Nya buat kita semua. Pemutaran kaset pengajian melalui pengeras suara masjid atau mushalla memang dilakukan buat sejumlah tujuan dan waktu yg berbeda.

Ada masjid yg memutar kaset pengajian pada Jumat pagi dgn durasi setengah sampai satu jam buat mengingatkan masyarakat. Ada juga yg memutar kaset shalawat setengah jam sebelum subuh buat membangunkan masyarakat. Tetapi ada juga pengurus masjid yg memutar kaset pengajian dgn durasi lebih lama dari satu jam itu. Ada juga anggota masyarakat yg bertadarus menggunakan mikrofon.

Sebenarnya tadarus atau pemutaran kaset pengajian dgn pengeras suara masjid atau mushalla buat sejumlah keperluan tersebut boleh saja. Tetapi pemutaran kaset itu atau tadarus Al-Quran dgn durasi panjang misalnya lebih dari satu jam juga tak baik sebab dapat mengganggu orang yg memerlukan kondisi tenang. Pemutaran kaset terlalu lama hanya membuat bising atau polusi suara hingga menggangu aktivitas sebagian masyarakat.

Kebisingan atau polusi suara ini yg dilarang dalam agama. Jangankan pakai pengeras suara. Tadarus tanpa pengeras suara lalu mengacaukan konsenstrasi orang sembahyg jelas dilarang agama sebagai keterangan Sayyid Abdurrahman Ba’alawi dalam Bughyatul Mustarsyidin berikut ini:

 

 

فائدة: جماعة يقرأون القرآن في المسجد جهراً، وينتفع بقراءتهم أناس، ويتشوّش آخرون، فإن كانت المصلحة أكثر من المفسدة فالقراءة أفضل، وإن كانت بالعكس كرهت اهـ فتاوى النووي

Artinya, “(Pemberitahuan) sekelompok orang membaca Al-Quran dgn lantang di masjid. Sebagian orang mengambil manfaat dari pengajian mereka. Tetapi sebagian orang lainnya terganggu. Jika maslahatnya lebih banyak dari mafsadatnya, maka baca Al-Quran itu lebih utama (afdhal). Tetapi bila sebaliknya yg terjadi, maka baca Al-Quran itu menjadi makruh. Selesai. Fatwa An-Nawawi,” (Lihat Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Fikr, 1994 M/1414 H], halaman 108).

Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menjelaskan lebih lanjut bahwa tadarus Al-Quran, zikir, atau semacamnya hingga membuat polusi suara bukan saja dilarang sebab dapat mengganggu orang yg sedang bersembahyg. Semua itu dilarang dan sebabnya harus dihentikan atau dikurangi volume suaranya sebab dapat mengganggu sebagian orang lain bahkan mengganggu orang istirahat.

 

 

 

 

لا يكره في المسجد الجهر بالذكر بأنواعه ، ومنه قراءة القرآن إلا إن شوّش على مصلّ أو أذى نائماً ، بل إن كثر التأذي حرم فيمنع منه حينئذ ، كما لو جلس بعد الأذان يذكر الله تعالى ، وكل من أتى للصلاة جلس معه وشوّش على المصلين ، فإن لم يكن ثم تشويش أبيح بل ندب لنحو تعليم إن لم يخف رياء

Artinya, “Zikir dan sejenisnya antara lain membaca Al-Quran dgn lantang di masjid tak makruh kecuali bila menggangu konsentrasi orang yg sedang sembahyg atau mengusik orang yg sedang tidur. Tetapi bila bacaan Al-Quran dgn lantang itu lebih banyak mengganggu (menyakiti orang lain), maka saat itu bacaan Al-Quran dgn lantang mesti dihentikan. Sama halnya adgn orang yg duduk setelah azan dan berzikir. Demikian halnya dgn setiap orang yg datang buat shalat ke masjid, lalu duduk bersamanya, kemudian mengganggu konsentrasi orang yg sedang sembahyg. Kalau di sana tak memunculkan suara yg mengganggu, maka zikir atau tadarus Al-Quran itu itu hukumnya mubah bahkan dianjurkan buat kepentingan seperti taklim bila tak dikhawatirkan riya,” (Lihat Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Fikr, 1994 M/1414 H], halaman 108).

Pandangan Sayyid Abdurrahman Ba’alawi ini bukan tanpa dasar. Sebuah riwayat menceritakan bagaimana Rasulullah yg sedang beritikaf menegur orang yg membaca Al-Quran dgn suara lantang sehingga ibadah itikafnya terganggu sebagaimana kami kutip berikut ini:

 

 

 

 

عن أبي سعيد قال اعتكف رسول الله صلى الله عليه وسلم في المسجد فسمعهم يجهرون بالقراءة فكشف الستر وقال ألا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة

Artinya, “Dari Abu Said, ia bercerita bahwa Rasulullah SAW melakukan itikaf di masjid. Di tengah itikaf ia mendengar mereka (jamaah) membaca Al-Quran dgn lantang. Rasulullah kemudian menyingkap tirai dan berkata, ‘Ketahuilah, setiap kamu bermunajat kepada Tuhan. Jangan sebagian kamu menyakiti sebagian yg lain. Jangan juga sebagian kamu meninggikan atas sebagian lainnya dalam membaca.’ Atau ia berkata, ‘dalam shalat,’” (HR Abu Dawud).

Hadits riwayat Abu Dawud ini secara jelas mengangkat persoalan polusi suara. Keterangan ini dapat didapat dari Syarah Abu Dawud sebagai berikut:

 

 

 

 

عن أبي سعيد) وهو الخدري (ولا يرفع بعضكم على بعض) أي صوته (أو قال في الصلاة) شك من الراوي. قال المنذري: وأخرجه النسائ

Artinya, “(Dari Abu Said) ia ialah Al-Khudri. (Jangan juga sebagian kamu meninggikan) suaranya (atas sebagian lainnya). (Atau ia berkata, ‘dalam shalat.’) keraguan datang dari perawi. Al-Mundziri berkata, ‘Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasai,’” (Lihat Abu Abdirrahman Abadi, Aunul Ma‘bud ala Sunan Abi Dawud, [Yordan: Baitul Afkar Ad-Dauliyyah, tanpa catatan tahun], halaman 626).

Oleh sebab itu, pengurus masjid yg mau memutar kaset pengajian atau jamaah yg hendak tadarus Al-Quran dgn pengeras suara masjid atau mushalla perlu mengukur durasi dan memiliki tujuan jelas, yaitu mengingatkan masyarakat mau masuknya waktu shalat atau syiar.

Tetapi pertimbangan durasi ini menjadi penting supaya tak menimbulkan polusi suara atau kebisingan yg tak perlu. Artinya, pengurus masjid perlu mempertimbangkan sebagian masyarakat yg sedang sakit, orang perlu istirahat, lansia yg membutuhkan ketenangan, pelajar yg membutuhkan konsentrasi buat belajar, atau pekerja yg memerlukan suasana kondusif tanpa polusi suara. Tentu saja ini tak hanya berlaku buat pengeras suara masjid, tetapi juga anggota masyarakat, instansi negara maupun swasta yg mau menggunakan pengeras buat pelbagai kepentingan. Pada prinsipnya, boleh saja asal tak mengganggu orang lain.

Demikian jawaban yg dapat kami kemukakan. Semoga dapat dipahami dgn baik. Kami selalu terbuka buat menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

(Alhafiz Kurniawan)

 

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.