Hukum Menghias Masjid menurut Mazhab Hanafi

Banyak yg menuduh bahwa masjid yg dibuat oleh kalangan Muslim Ahlussunnah wal jamaah, khususnya dari kalangan nahdliyah dan muhammadiyah di tanah air, bukan termasuk masjid sunnah. Tuduhan mereka didasarkan pada keberadaan ukiran yg kadang memenuhi arsitektur masjid, apalagi masjid Indonesia. Meskipun arsitektur ini terbuat berupa kaligrafi, dan lain sebagainya.

Nah, kali ini kita mau mengkajinya, bagaimana sebenarnya para ulama mazhab membahas masalah tersebut. Karena cakupan bahasannya teramat luas, dan perlu disampaikan secara detail, lengkap dgn nukilan yg perlu sebagai dasar. Pada tulisan ini, kita mengangkat salah satu mazhab terlebih dulu, yaitu mazhab Hanafi.

Dalam bahasa Arab, istilah menghias masjid ini sering dimaknai sebagai berikut:

تزويق المسجد أي تحسينه وتزيينه = mengukirnya, membagusinya dan menghiasinya

Dilihat dari pengertian terminologinya, kata yg sering digunakan buat menunjuk makna menghias masjid ialah tazwiq, yg dalam arti kamusnya diuraikan sebagai:

والأصل في التزويق أن يحعل الزاووق مع الذهب فيطلى به الشيء المراد تزيينه ثم يلقى في النار فيطير الزاووق ويبقى الذهب ثم توسعوا فيه حتى قالوا لكل منقش: مزوق وإن لم يكن فيه زاووق

Artinya, “Asal dari tazwiq ialah seseorang membikin suatu cetakan bersama dgn emas, kemudian sesuatu dilebur bersama dgnnya buat maksud menghiasnya. Lalu emas dan cetakan itu dimasukkan ke dalam sebuah tungku api, sehingga cetakan itu hilang, dan yg tersisa ialah emas. Kemudian para pengrajin mengolahnya kembali dalam bara api itu, sampai kemudian masing-masing dari para pengrajin itu berkata satu sama lain bahwa emas yg diukir tersebut sebagai telah muzawwaq (yg tercetak), meski sebenarnya telah tak ada lagi cetakan.” (Kamus Ma’any).

Dengan memperhatikan pengertian di atas, maka yg dimaksud sebagai menghias masjid di sini ialah mengukirnya dgn ukiran yg terbuat dari bahan emas, sebagaimana tertuang dari sudut pandang terminologinya.

Kalangan Hanafiyah, secara tegas memberikan batasan dalam kategori ukiran yg masuk dalam topik bahasan ini, yaitu:

وَالْمُرَادُ بِالنَّقْشِ هُنَا مَا كَانَ بِالْجِصِّ وَمَاءِ الذَّهَبِ

Artinya, “Yang dimaksud dgn mengukir di sini ialah selagi bahan yg digunakan berupa leburan yg terbuat dari bahan emas.”

Dengan batasan ini, secara otomatis, segala bentuk ukiran yg tak terbuat dari bahan emas merupakan bagian yg dikecualikan. Bagaimana lengkapnya hukum menghias masjid menurut mazhab hanafi itu? Simak ulasan detailnya!

Mengukir masjid dgn ukiran emas menurut kalangan Hanafiyah dihukumi sebagai tak apa-apa (la ba’sa). Hanya saja batasan yg disampaikan ialah selagi bukan bagian mihrab-nya. Mereka menyebut, mengukir bagian mihrab dgn emas, hukumnya ialah makruh.

Tidak jelas, apakah kemakruhan ini termasuk makruh tahrim atau makruh tanzih. Yang jelas, illat yg disampaikan oleh mereka ialah bahwa ukiran tersebut merupakan bagian malahi (mengganggu kekhusyuan orang yg shalat).

Dalam Kitab Raddul Mukhtar, dijelaskan mengenai pengertian la ba’sa di sini sebagai:

قَالَ فِي النِّهَايَةِ لِأَنَّ لَفْظَ لَا بَأْسَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْمُسْتَحَبَّ غَيْرُهُ؛ لِأَنَّ الْبَأْسَ الشِّدَّةُ

Artinya, “Disampaikan dalam Kitab An-Nihayah, sesungguhnya penggunaan lafal la ba’sa (tak apa-apa) merupakan petunjuk bahwa yg disunnahkan ialah selainnya sebab al-ba’su (apa-apa) itu yg kuat.” (Raddul Mukhtar ala Durril Mukhtar: 507).

Ibnu Abidin memberi tambahan penjelasan mengenai disunnahkannya penasarufan harta buat selain menghias masjid dgn emas tersebut, sebagai berikut:

وَالصَّرْفُ إلَى الْفُقَرَاءِ أَفْضَلُ وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى

Artinya, “Mengalihkan penggunaannya buat menyantuni fakir miskin ialah lebih utama. Dan atas keutamaan ini, fatwa dilakukan.” (Raddul Mukhtar ala Durril Mukhtar: 507).

Hukum kemakruhan juga berlaku buat semua tembok yg berada di sisi kiblat. Kemakruhan ini disampaikan dgn batasan bila terjadi upaya takalluf, yaitu segala tindakan yg mengarah pada upaya memenuhi bagian dinding kiblat dgn ukiran. Sifat kemakruhan ini ialah makruh tanzih Jika sekedar ukiran sederhana dan tak berbahan emas, maka kembali pada hukum asal ialah tak apa-apa. Misalnya, kaligrafi di bagian atas masjid, yg kiranya jauh dari unsur malahi. 

قَالَ فِي الْفَتْحِ: وَعِنْدَنَا لَا بَأْسَ بِهِ، وَمَحْمَلُ الْكَرَاهَةِ التَّكَلُّفُ بِدَقَائِقِ النُّقُوشِ وَنَحْوِهِ خُصُوصًا فِي الْمِحْرَابِ

Artinya, “Disampaikan dalam Kitab Al-Fath: Menurut kami tak apa-apa menghias masjid. Sifat karahah terjadi disebabkan unsur takalluf (berupaya dgn segala cara) dgn menghadirkan ukiran-ukiran atau yg semisalnya, khususnya pada bagian mihrab.” (Al-Fatawy al-Hindiyah: juz I, halaman 109 dan 461).

Adapun ukiran yg dilakukan pada bagian atap masjid dan tembok bagian luar, maka disepakati hukumnya tak apa-apa.

يُكْرَهُ فِي الْمِحْرَابِ دُونَ السَّقْفِ وَظَاهِرُهُ

Artinya, “Makruh mengukir bagian mihrab masjid, namun tak pada bagian atap atau bagian luarnya.” (Raddul Mukhtar ala Durril Mukhtar: juz I, 461).

Ada catatan menarik dari mazhab hanafi, mengenai asal dana buat membuat ukiran. Ibnu Abidin menyampaikan bila dana tersebut berasal dari pribadi orang yg mengukir, atau berasal dari sumbangan yg dikhususkan buat menyiapkan ukiran itu saja, maka hukumnya ialah boleh.

Keharaman ukiran berbahan emas ini terjadi manakala sumber dana berasal dari dana wakaf. Bahkan disampaikan, bila nadhir wakaf atau orang yg diserahi mengelola harta wakaf tersebut menyalurkannya buat kebutuhan dekorasi emas ini, maka ia wajib menanggung gantinya (dhaman).

Catatan yg menarik lagi ialah bila nadhir merasa perlu penyalurannya supaya harta masjid yg telah terkumpul tak tersia-siakan sehingga rusak, maka boleh ia menyalurkan harta tersebut buat mendekorasi masjid dgn emas itu. Jadi, dalam hal ini, ada istihsan yg dipergunakan oleh mazhab tersebut seiring keperluan menjaga harta (hifzhul mal) supaya tak rusak sia-sia.

Batasan lain juga disampaikan bahwa, penyaluran itu hanya diperbolehkan buat kategori dekorasi yg tak memuat lafal Al-Qur’an yg dikhawatirkan sewaktu-waktu dapat jatuh dan terinjak sehingga mengurangi kemuliaannya. Kecuali bila dapat dipastikan tak mungkin jatuhnya, maka hal itu diperbolehkan. Wallahu a’lam bis shawab.

 

Muhammad Syamsudin al-Baweany, Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.