Hukum Menghias Masjid menurut Mazhab Syafii

Menghiasi masjid dgn ukiran yg terbuat dari emas dan perak menurut kalangan ulama dua mazhab sebelumnya, yaitu Hanafi dan Maliki, ialah makruh. Kemakruhan utamanya terjadi manakala hiasan tersebut ditaruh pada dinding bagian mihrab (pengimaman) atau dinding bagian arah kiblat.

Alasan yg digunakan ada dua yaitu mengganggu kekhusyukan orang yg shalat. Batas kemakruhan ialah bila proses menghiasi tersebut ada unsur takalluf (berusaha kuat buat memenuhi bagian mihrab dgn ukiran emas).

Alasan kemakruhan ialah tindakan mengukir dinding dgn emas ialah bagian dari perbuatan menyia-nyiakan harta sehingga mentasharrufkan harta tersebut ke pihak lain yg lebih membutuhkan dianggap sebagai yg lebih utama dari mengukir itu sendiri.

Nah, bagaimana dgn mazhab Syafii dalam memandang hukum ukiran dgn bahan emas yg terdapat di masjid tersebut?

Salah satu ulama otoritatif dari kalangan mazhab Syafii, yaitu Az-Zarkasy, sebagaimana dikutip dalam Kitab Hawasyi ala Multaqal Abhar, juz I, halaman 214, menyatakan: 

قَال الزَّرْكَشِيُّ: يُكْرَهُ نَقْشُ الْمَسْجِدِ، وَلاَ شَكَّ أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ صَرْفُ غَلَّةِ مَا وَقَفَ عَلَى عَمَارَتِهِ فِي ذَلِكَ 

Artinya, “Al-Zarkasy berkata, ‘Makruh hukumnya mengukir masjid (dgn bahan emas), serta tak diragukan lagi bahwa tak boleh menyalurkan hasil pengeolaan wakaf imarah masjid buat dana ukiran itu.’” (Hawasy ala Multaqal Abhar, juz I, halamn 214).

Hukum asal mengukir masjid dgn bahan emas di kalangan mazhab Syafii ialah sepakat dgn dua mazhab pendahulunya, yaitu Hanafi dan Maliki dalam hal kemakruhannya. Bahkan penggunaan hasil pengelolaan aset wakaf buat membeli hiasan ukiran emas hukumnya disebut sebagai la yajuz (tak boleh). Dalam istilah yg dipergunakan oleh Imam Al-Qadli Husain disebutkan:

لاَ يَجُوزُ صَرْفُهَا إِلَى التَّجْصِيصِ وَالتَّزْوِيقِ

Artinya, “Tidak boleh menyalurkan aset hasil pengelolan wakaf imarat masjid buat menovasi dan membuat ukiran masjid,” (Hawasy ala Multaqal Abhar, juz I, halaman 214).

Dalam Mu’jamul Wasith, disebutkan bahwa makna tajshish ialah sama dgn tahrik yg bermakna aktif menggerakkan. Sementara itu dalam Mu’jam al-Ghany disebutkan makna tajshish dihubungkan dgn tembok suatu bangunan, sehingga bermakna seolah renovasi. Maka dari itulah penulis memaknai tajshish di sini sebagai dana renovasi masjid. 

Dasar kemakruhan ini disandarkan pada sebuah riwayat yg datang dari Ibnu Mas’ud yg suatu ketika ia bepergian melewati sebuah masjid yg dipenuhi hiasan emas (muzakhraf). Demi melihat hal itu, ia lalu berkata: 

لَعَنَ اللَّهُ مَنْ زَخْرَفَهُ، أَوْ قَال: لَعَنَ اللَّهُ مَنْ فَعَل هَذَا، الْمَسَاكِينُ أَحْوَجُ مِنَ الأَْسَاطِينِ

Artinya, “Semoga Allah melaknati orang yg telah menghiasi masjid dgn emas!” Maksud dari perkataan ini ialah, ‘Semoga Allah melaknati orang yg telah melakukan perbuatan itu, sementara orang-orang miskin yg ada disekitarnya lebih membutuhkan buat dibantu dibanding membangun mercusuar-mercusuarnya.’” (Hawasy ala Multaqal Abhar, juz I, halaman 214).

Menangkap pengertian riwayat ini, pada hakikatnya membangun asathin (masjid yg dijadikan sebagai mercusuar) bukan sesuatu yg dilarang. Hanya saja konteks masyarakat yg ada disekeliling masjid dan lebih membutuhkan menjadikan membangun masjid dgn megah menjadi hal yg dibenci oleh kalangan sahabat, seperti ibnu Mas’ud di atas. Padahal ini dalam rangka membangun, apalagi dalam kerangka menambahi masjid yg telah megah dgn ukiran-ukiran yg terbuat dari bahan emas. Hukumnya jelas ialah makruh tanzih.

Terkait dgn sumber dana buat menghias, Al-Baghawy di dalam Syarhus Sunnah sebagaimana dikutip oleh pengarang Kitab ‘Umdatul Qary, juz IV, halaman 204, menyatakan bahwa:

لاَ يَجُوزُ تَنْقِيشُ الْمَسْجِدِ بِمَا لاَ إِحْكَامَ فِيهِ

Artinya, “Tidak boleh mengukir masjid dgn dana yg diambil dari dana bukan diperbuatkan buatnya.” (‘Umdatul Qary, juz IV, halaman 204).

Maksud dari pernyataan Al-Baghawy di sini menguatkan keterangan tentang penggunaan hasil pengelolaan harta wakaf, yaitu bahwa harta wakaf tak diperkenankan dipergunakan buat tazwiqu/tanqisyul masjid (membeli ukiran emas buat masjid).

Yang diperbolehkan pemakaiannya ialah dana khusus yg disumbangkan oleh orang tertentu dan digunakan buat membuat ukiran. Al-Baghawy lebih lanjut menyatakan:

وَقَال فِي الْفَتَاوَى فَإِنْ كَانَ فِي إِحْكَامٍ فَلاَ بَأْسَ، فَإِنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَنَى الْمَسْجِدَ بِالْقَصَّةِ – الْجِصِّ وَالْجِيرِ – وَالْحِجَارَةِ الْمَنْقُوشَةِ

Artinya, “Di dalam kitab Fatawi al-Baghawi, al-Baghawy menyatakan bahwa bila aset yg dipergunakan itu memang telah dimahkumkan (diperbuatkan) oleh donaturnya buat membeli ukiran, maka hukumnya ialah la ba’sa (tak apa-apa) menyalurkannya buat keperluan membeli ukiran.” (‘Umdatul Qary, Juz IV, halaman 204).

Berkaitan dgn soal harta yg telah dikhususkan penyalurannya buat membuat ukiran ini, Ar-Rafi‘i memiliki pandangan lain, sebagamana hal ini dinukil oleh pengarang kitab Kifayatun Nabih fi Syarhit Tanbih sebagai berikut: 

قال في “الجرجانيات”: في جواز الصرف في هذه الحالة إلى نقش المسجد وتزويقه وجهان

Artinya, “Ia berkata dalam Al-Jurjaniyat tentang bolehnya menyalurkan harta dalam kondisi tertentu buat membeli ukiran masjid, menghiasnya, yg disampaikan melalui dua versi pendapat.” (Kifayatun Nabih fi Syarhit Tanbih, XII, halaman 84).

Maksud dari “kondisi tertentu” sebagaimana dimaksudkan oleh Ar-Rafi‘i di atas, ialah kondisi ketika surplus terjadi pada kas harta wakaf mutlaq akibat pengelolaan, maka surplus tersebut dapat disalurkan buat membeli ukiran atau kebutuhan menghias masjid. Namun, penyaluran kas yg surplus tersebut ada tambahan ketentuan oleh pengarang At-Tahdzib, yaitu tak boleh lebih dari separuh kas yg ada. Simak ulasan berikut ini!

ثم كلام المتولي الذي حكيناه من قبل مصرح بأن ريع الوقف على المسجد إذا خرب يصرف إلى عمارة مسجد آخر ولو وقف على المسجد مطلقا ففي “التهذيب” التسوية بينه وبين أن يقف على عمارة المسجد

Artinya, “Kemudian pendapat dari Al-Mutawally sebagaimana telah kita sampaikan sebelumnya, menjelaskan bahwa hasil pengelolaan harta wakaf atas suatu masjid, ketika ada masjid lain yg roboh, maka kas wakaf masjid tertentu itu dapat disalurkan ke masjid lain yg terancam roboh tersebut, meskipun aset yg dipergunakan berasal dari harta wakaf mutlaq buat masjid tersebut. Dalam Kitab At-Tahdzib disebutkan bahwa penyalurannya harus disamakan antara masjid yg terancam roboh itu dan masjid asal buat keperluan imarah masjid.” (Kifayatun Nabih fi Syarhit Tanbih, XII, halaman 84).

Nah, penjelasan Ar-Rafi‘i sebelum ini berlatar belakang penjelasan terakhir. Jadi, saat harta aset wakaf masjid telah surplus, dan diperlukan adanya upaya mengondisikan jamaah supaya ia merasa betah di masjid melalui upaya memperindah masjid (tazwiq), maka hukumnya boleh menggunakan aset wakaf yg telah surplus tersebut demi menarik maslahah lain bagi masjid dalam rangka imarah masjid (manajemen memakmurkan masjid). Di dalam kitab yg sama, Al-Ghazali bahkan menyatakan harta tersebut diperbolehkan buat membangun menara bila menara tersebut memang diperlukan.

Sebenarnya masih banyak pendapat yg lain yg belum penulis nukil. Tapi kiranya, tulisan ini telah cukup dalam memberikan penjelasan mengenai hukum menghias masjid dalam mazhab Syafii berikut sumber dananya yg telah ditahqiq oleh para mushannif. Terkait sumber dana ini, qaul yg muktamad ialah dana menghias masjid harus diperoleh dari sumber alokasi khusus bukan wakaf.

Harta aset wakaf hanya dapat diperbuatkan buat keperluan menghias dgn catatan ada kemaslahatan yg kembali kepada masjid, semisal memakmurkan masjid dgn jamaahnya yg betah berada di dalamnya. Itu pun juga masih dgn catatan, bila dan aset wakaf tersebut terjadi surplus, dan penggunaannya tak melebihi dari separuh dana yg ada. Wallahu a’lam bis shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.