Sepasang muda mudi datang ke Kantor Urusan Agama (KUA). Keduanya bermaksud buat mendaftarkan rencana pernikahan mereka. Sambil menunggu berkas pendaftaran diproses oleh petugas pelayanan keduanya meminta buat bertemu dgn penghulu, mau konsultasi.
Kepada penghulu keduanya menceritakan bahwa rencana pernikahannya ini banyak mendapat penentangan dan cibiran dari berbagai pihak, baik keluarga maupun masyarakat sekitar. Pasalnya diketahui ayah dari calon pengantin laki-laki pada masa lampau pernah melakukan hubungan zina dgn ibu dari calon pengantin perempuan. Ada yg mengatakan bahwa dapat jadi anak perempuan yg mau dinikahi itu ialah anak hasil hubungan zina tersebut, sehingga tak semestinya menikah dgn laki-laki yg juga anak dari ayah yg sama. Namun demikian keduanya tetap mau meneruskan ikatan cinta mereka dalam ikatan perkawinan.
Karenanya kepada sang penghulu keduanya menanyakan apa sebenarnya hukum fiqih yg ditetapkan oleh para ulama atas kasus yg sedang mereka lakoni ini. Apa hukumnya seorang laki-laki yg berzina menikahi perempuan pasangan zinanya atau anak perempuan dari pasangan zinanya? Apa hukumnya anak keturunan laki-laki yg berzina menikah dgn anak keturunan perempuan pasangan zinanya?
Menjawab pertanyaan tersebut para ulama kita—khususnya ulama kalangan Syafi’iyah—telah membahas dan menetapkan hukumnya. Dalam kitab Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab misalnya Imam Nawawi menuturkan sebagai berikut:
وإن زنى بامرأة لم يحرم عليه نكاحها لقوله تعالى (وأحل لكم ما وراء ذلكم) وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عن رجل زنى بامرأة فأراد أن يتزوجها أو ابنتها، فقال لا يحرم الحرام الحلال إنما يحرم ما كان بنكاح ولا تحرم بالزنا أمها ولا ابنتها ولا تحرم هي على ابنه ولا على أبيه للآية والخبر
Artinya: “Bila seorang laki-laki berzina dgn seorang perempuan maka tak haram baginya menikahi perempuan yg dizinai itu, berdasarkan firman Allah “dihalalkan bagi kalian apa-apa yg selain itu semua”. Sayidatina Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yg berzina dgn seorang perempuan. Laki-laki itu mau menikahi sang perempuan atau anak perempuannya. Maka Rasulullah bersabda “apa yg haram tak menjadikan apa yg halal menjadi haram. Yang diharamkan hanyalah apa-apa yg terjadi sebab nikah dan tak haram sebab zina menikahi ibu dan anak perempuan dari perempuan yg berzina. Juga perempuan yg berzina itu tak haram dinikahi bagi anak laki-laki dan bapaknya laki-laki yg menzinai, berdasarkan ayat dan hadis.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmȗ’ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo: Darul Hadis, 2010], juz XVI, h. 485).
Lebih lanjut kitab Al-Majmû’ menjelaskan:
إذا زنى الرجل بامرأة لم يثبت بهذا الزنى تحريم المصاهرة فلا يحرم على الزانى نكاح المرأة التي زنى بها ولا أمها ولا ابنتها ولا تحرم الزانية على أبى الزاني ولا على أبنائه
Artinya: “Apabila seorang laki-laki berzina dgn seorang perempuan maka dgn perzinaan ini tak menetapkan hukum keharaman menikah sebab hubungan mushaharah. Maka tak diharamkan bagi laki-laki yg berzina menikahi perempuan yg dizinai, ibunya, dan anak perempuannya. Tidak haram pula perempuan yg berzina dinikahi oleh bapak dan anak-anak laki-lakinya orang yg menzinainya” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmȗ’ Syarhul Muhadzdzab, juz XVI, h. 486).
Dari penjelasan di atas dapat diambil satu kesimpulan bahwa perbuatan zina tak menimbulkan hubungan mushaharah yg menimbulkan status mahram bagi kedua pelaku zina dan bagi orang-orang yg bernasab dgn mereka. Karenanya seorang laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan yg dizinainya. Demikian pula ia diperbolehkan menikahi anak perempuan dari perempuan pasangan zinanya itu, meskipun dalam hal ini sebagian ulama menghukumi makruh sebab anak perempuan tersebut terlahir dari spermanya ketika menzinai sang ibu. Pun tak ada halangan bagi laki-laki tersebut buat menikahi ibunya perempuan yg dizinai.
Juga sebaliknya. Perempuan yg berzina tak ada halangan buat menikah dgn anak laki-lakinya lelaki yg menzinainya. Ia juga diperbolehkan menikah dgn ayah atau siapa saja orang yg berhubungan nasab dgn laki-laki pasangan zinanya.
Lebih dari itu, keluarga dari laki-laki yg berzina juga tak berhalangan menikah dgn keluarga perempuan yg dizinai. Itu semua sebab perbuatan zina tak menimbulkan hubungan apa pun—termasuk hubungan mushaharah dan nasab—terhadap kedua pelakunya, keluarganya dan anak keturunan mereka.
Perlu digarisbawahi bahwa kebolehan pernikahan itu semua ialah aturan hukum fiqih berdasarkan dalil-dalil yg ada. Bahwa pernikahan semacam itu menjadi tabu dan dipandang tak elok di mata masyarakat ialah hal lain yg berkaitan dgn adat dan kepantasan sosial yg ada. Wallâhu a’lam.
Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta, kini aktif sebagai penghulu di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kota Tegal
Hukum Menikahi Orang yg Dizinai & Keluarganya
Sepasang muda mudi datang ke Kantor Urusan Agama (KUA). Keduanya bermaksud buat mendaftarkan rencana pernikahan mereka. Sambil menunggu berkas pendaftaran diproses oleh petugas pelayanan keduanya meminta buat bertemu dgn penghulu, mau konsultasi.
Â
Kepada penghulu keduanya menceritakan bahwa rencana pernikahannya ini banyak mendapat penentangan dan cibiran dari berbagai pihak, baik keluarga maupun masyarakat sekitar. Pasalnya diketahui ayah dari calon pengantin laki-laki pada masa lampau pernah melakukan hubungan zina dgn ibu dari calon pengantin perempuan. Ada yg mengatakan bahwa dapat jadi anak perempuan yg mau dinikahi itu ialah anak hasil hubungan zina tersebut, sehingga tak semestinya menikah dgn laki-laki yg juga anak dari ayah yg sama. Namun demikian keduanya tetap mau meneruskan ikatan cinta mereka dalam ikatan perkawinan.
Â
Karenanya kepada sang penghulu keduanya menanyakan apa sebenarnya hukum fiqih yg ditetapkan oleh para ulama atas kasus yg sedang mereka lakoni ini. Apa hukumnya seorang laki-laki yg berzina menikahi perempuan pasangan zinanya atau anak perempuan dari pasangan zinanya? Apa hukumnya anak keturunan laki-laki yg berzina menikah dgn anak keturunan perempuan pasangan zinanya?
Â
Menjawab pertanyaan tersebut para ulama kita—khususnya ulama kalangan Syafi’iyah—telah membahas dan menetapkan hukumnya. Dalam kitab Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab misalnya Imam Nawawi menuturkan sebagai berikut:
Â
وإن زنى بامرأة لم ÙŠØرم عليه نكاØها لقوله تعالى (وأØÙ„ لكم ما وراء ذلكم) وَرَوَتْ عَائÙشَة٠رَضÙÙŠÙŽ اللَّه٠عَنْهَا أَنَّ النَّبÙيَّ صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ سÙئÙÙ„ÙŽ عن رجل زنى بامرأة Ùأراد أن يتزوجها أو ابنتها، Ùقال لا ÙŠØرم الØرام الØلال إنما ÙŠØرم ما كان Ø¨Ù†ÙƒØ§Ø ÙˆÙ„Ø§ تØرم بالزنا أمها ولا ابنتها ولا تØرم هي على ابنه ولا على أبيه للآية والخبر
Â
Artinya: “Bila seorang laki-laki berzina dgn seorang perempuan maka tak haram baginya menikahi perempuan yg dizinai itu, berdasarkan firman Allah “dihalalkan bagi kalian apa-apa yg selain itu semuaâ€. Sayidatina Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yg berzina dgn seorang perempuan. Laki-laki itu mau menikahi sang perempuan atau anak perempuannya. Maka Rasulullah bersabda “apa yg haram tak menjadikan apa yg halal menjadi haram. Yang diharamkan hanyalah apa-apa yg terjadi sebab nikah dan tak haram sebab zina menikahi ibu dan anak perempuan dari perempuan yg berzina. Juga perempuan yg berzina itu tak haram dinikahi bagi anak laki-laki dan bapaknya laki-laki yg menzinai, berdasarkan ayat dan hadis.†(Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmȗ’ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo: Darul Hadis, 2010], juz XVI, h. 485).
Â
Lebih lanjut kitab Al-Majmû’ menjelaskan:
Â
إذا زنى الرجل بامرأة لم يثبت بهذا الزنى تØريم المصاهرة Ùلا ÙŠØرم على الزانى Ù†ÙƒØ§Ø Ø§Ù„Ù…Ø±Ø£Ø© التي زنى بها ولا أمها ولا ابنتها ولا تØرم الزانية على أبى الزاني ولا على أبنائه
Â
Artinya: “Apabila seorang laki-laki berzina dgn seorang perempuan maka dgn perzinaan ini tak menetapkan hukum keharaman menikah sebab hubungan mushaharah. Maka tak diharamkan bagi laki-laki yg berzina menikahi perempuan yg dizinai, ibunya, dan anak perempuannya. Tidak haram pula perempuan yg berzina dinikahi oleh bapak dan anak-anak laki-lakinya orang yg menzinainya†(Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmȗ’ Syarhul Muhadzdzab, juz XVI, h. 486).
Â
Dari penjelasan di atas dapat diambil satu kesimpulan bahwa perbuatan zina tak menimbulkan hubungan mushaharah yg menimbulkan status mahram bagi kedua pelaku zina dan bagi orang-orang yg bernasab dgn mereka. Karenanya seorang laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan yg dizinainya. Demikian pula ia diperbolehkan menikahi anak perempuan dari perempuan pasangan zinanya itu, meskipun dalam hal ini sebagian ulama menghukumi makruh sebab anak perempuan tersebut terlahir dari spermanya saat menzinai sang ibu. Pun tak ada halangan bagi laki-laki tersebut buat menikahi ibunya perempuan yg dizinai.
Â
Juga sebaliknya. Perempuan yg berzina tak ada halangan buat menikah dgn anak laki-lakinya lelaki yg menzinainya. Ia juga diperbolehkan menikah dgn ayah atau siapa saja orang yg berhubungan nasab dgn laki-laki pasangan zinanya.
Â
Lebih dari itu, keluarga dari laki-laki yg berzina juga tak berhalangan menikah dgn keluarga perempuan yg dizinai. Itu semua sebab perbuatan zina tak menimbulkan hubungan apa pun—termasuk hubungan mushaharah dan nasab—terhadap kedua pelakunya, keluarganya dan anak keturunan mereka.
Â
Perlu digarisbawahi bahwa kebolehan pernikahan itu semua ialah aturan hukum fiqih berdasarkan dalil-dalil yg ada. Bahwa pernikahan semacam itu menjadi tabu dan dipandang tak elok di mata masyarakat ialah hal lain yg berkaitan dgn adat dan kepantasan sosial yg ada. Wallâhu a’lam.
Â
Â
Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta, kini aktif sebagai penghulu di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kota Tegal
Â
Uncategorized